8

992 Kata
"Nayya ikut pulang ke tempat Affif Bunda" gue yang memang berdiri tepat dibelakang Kak Affif udah ngedeprak pundak Kak Affif cukup keras.         Kak Affif keliatan kaget dan natap gue gak percaya dengan apa yang barusan gue lakuin sekarang, Kak Affif bahkan terlihat meringis sembari mengusap pundaknya yang gue pukul barusan. "Nayya, kamu apa-apaan main pukul suami kaya gitu?" ucap Bunda dengan suara meninggi, jujur gue gak sengaja, beneran tadi itu cuma karena gue kaget, gue capek, kenapa Bunda selalu ngelakuin apapun tanpa nanya pendapat gue lebih dulu? "Maaf" ucap gue tertunduk dan beralih ninggalin semua orang yang udah natap gue dengan tatapan aneh mereka, terserahlah, mau mereka mikir apapun gue lagi gak mau peduli. Dikamar, gue mulai melepas satu persatu semua atribut yang nyangkut dikepala gue sekarang, mulai dari pernak-perniknya sampai berakhir dengan hijab gue, gue cuma natap pantulan wajah gue di depan cermin sembari narik napas panjang, sifat Bunda yang selalu semaunya itu bener-bener ngebuat gue capek, gue tahu Bunda kaya gini karena mau yang terbaik untuk gue tapi gak kaya gini juga caranya. "Boleh saya masuk?" mendengar suara Kak Affif dari balik pintu, secepatnya kilat gue ngusap air mata gue dan meraih jelbab instan sembarangan. "Masuk aja" dan beberapa detik kemudian Kak Affif berdiri tepat dihadapan gue. "Maaf, Nayya beneran gak sengaja mukul Kakak sekenceng itu" ucap gue memberanikan diri natap Kak Affif. "Saya tahu, seharusnya saya yang minta maaf, maaf saya memutuskan sesuatu tanpa menanyakan pendapat kamu dulu dan berakhir dengan membuat kamu tidak nyaman"  balas Kak Affif yang malah ngebuat gue jadinya gak enak. "Gak gitu Kak, Nayya cuma kaget karena Bunda gak ngasih tahu apapun sama Nayya sebelumnya jadi Kakak juga gak perlu minta maaf" dan kami berdua hanya terdiam canggung dengan mata yang saling menatap cukup lama, aneh, biasanya nunduk terus batin gue. "Kenapa?" tanya Kak Affif yang membuat gue hilang fokus untuk sesaat. "Heumm? Biasanya selalu nunduk kalau ketemu Nayya" bukannya ngejawab, Kak Affif cuma tersenyum sekilas yang ngebuat gue makin kaget, seorang Affif senyum? Gak salah? "Eheummm, Kakak mau beberes duluan apa Nayya duluan?" tanya gue canggung. "Kamu duluan, saya tunggu dibawah, kita pulang ke rumah kita" lagi dan lagi, gue cuma bisa diam mematung ditempat sama ucapan Kak Affif, harus banget malam ini langsung pindahannya? Besok kan masih bisa? Gue juga harus masuk kuliah jadi gak mungkin pindah tanpa persiapan apapun. "Kamu keberatan kita pindah malam ini?" tanya Kak Affif seolah tahu maksud tatapan gak terima gue sekarang. "Iya, Nayya gak punya persiapan apapun untuk pindah malam ini" jawab gue mencoba sejujur mungkin. "Mama udah nyiapin semua keperluan kamu jadi tinggal pindah" "Yaudah kalau gitu Nayya beberes dulu" . . . Setelah beberes, gue turun dan mendapati Kak Affif udah rapi dengan kemeja dan celana bahan kainnya, Kak Affif beberes dimana? "Sudah?" tanya Kak Affif melihat gue turun, gue mengangguk pelan sebagai jawaban dari pertanyaannya, gue cuma mengikuti langkah Kak Affif pamit ke Bunda sama keluarga yang lain. "Bunda, Nayya minta maaf" ucap gue memeluk Bunda, Bunda hanya tersenyum dan mengusap kepala gue pelan, "Hati-hati dan baik-baik sama Affif" ucap Bunda yang gue angguki. "Fif, jagain Nayya" kali ini malah Mas Abi yang ngewanti-wanti Kak Affif untuk ngejagain gue. "Insyaallah Mas" dan yah pada akhirnya gue beneran pindah malam ini. Selama perjalanan gue cuma diem gak tahu harus ngomong apapun, gue sendiri beneran belum percaya kalau Kak Affif yang sekarang jadi suami gue, gue bahkan mikirnya suami gue udah kerja dan udah tua tapi ternyata masih mahasiswa kaya gini, apa gue bisa hidup bareng Kak Affif dengan usia kami berdua yang masih terbilang cukup muda? "Jangan ngelamun, tanya kalau memang ada yang mengganggu pikiran kamu" "Kenapa harus Kakak?" dan pertanyaan itu akhirnya terucap gitu aja dari bibir gue tapi gue beneran gak habis pikir kenapa Kak Affif? "Takdir, apa itu menjawab pertanyaan kamu?" jawaban Kak Affif yang sama sekali bukan jawaban menurut gue, kalau takdir gak usah di kasih tahu gue juga ngerti. "Perjodohan, dikeluarga saya cuma ada satu orang putra jadi tidak mungkin dinikahkan dengan Mas Abi?" jadi beneran cuma karena perjodohan? "Terus kenapa Kakak mau aja pas dijodohin? Gak nolak gitu? Gak terpaksa memangnya? Pacar Kakak gak sayang memangnya Kakak tinggal gitu aja?" masa iya Kak Affif terima gitu aja dijodohin? Gak mungkin juga Kak Affif gak punya seseorang yang dia suka. "Jadi itu yang ada dipikiran kamu dari tadi?" dan gue mengangguk mengiyakan. "Saya tidak menolak perjodohan ini karena saya percaya, seberapa baguspun rencana keluarga kita ingin menjodohkan kalau memang bukan jodoh saya semuanya gak akan terjadi, satu lagi, saya tidak punya pacar, yang saya punya sekarang cuma seorang istri" "Oh" balas gue gak mau menanggapi lebih lanjut, dengar kata istri dari mulut Kak Affif itu aslian ngebuat gue merinding sendiri. "Apa kamu menolak waktu dijodohkan?" "Awalnya iya" jawab gue jujur, ya memang awalnya gue keberatan bahkan menolak keras dijodohin. "Kenapa?" karena gue punya seseorang yang selama ini udah milikin hati gue, itu jawabannya tapi gue juga gak mungkin jujur ke Kak Affif dengan ngomong kaya gitu. "Bisa berhenti di minimarket depan sebentar? Nayya haus" bukannya menjawab, Kak Affif hanya natap gue dengan tatapan penuh tanyanya tapi berusaha keras gue abaikan. Kak Affif memberhentikan mobilnya dan minta gue nunggu didalam sedangkan Kak Affif yang beli minuman untuk gue, gue cuma nurut gak mau ngebantah apapun, belum juga semalam, gue udah ngerasa bersalah sampai kaya gini sama Kak Affif, apa gue bisa bertahan dengan rasa bersalah yang semakin menjadi? Gue harus gimana sekarang? Gue harus gimana ngadepin Kak Affif? Gue gak seharusnya kaya gini, orang yang gue suka mungkin udah bahagia dengan pilihannya sendiri tapi kenapa gue gak bisa bahagia bahkan dihari pernikahan gue sendiri? Apa Mas Affan akan ikut bahagia kalau tahu gue udah nikah? Apa dia bahagia tanpa kehadiran gue disampingnya? Tapi maksud Mas Affan ngasih gue cincin waktu itu apa? "Minumannya" gue menepuk d**a pelan begitu sadar kalau Kak Affif udah balik masuk ke mobil sembari menyodorkan seplastik belanjaan ke arah gue. "Apa kamu menyesel karena saya orangnya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN