7

1018 Kata
"Tunangan dulu atau langsung nikah? Adek cuma punya dua pilihan itu" "Bunda kenapa jadi maksa gini?" tanya gue gak terima. "Maksa itu adalah kelebihan keluarga kita bukannya adek gak tahu" jawab Bunda sembari menyunggingkan senyumannya, Bunda masih bisa senyum? Beneran senyum? Luar biasa. "Jadi beneran gak mau tunangan dulu? Mau langsung nikah?" "Yaudah iya tunangan dulu, tapi nikahnya pas Nayya udah cinta dan itu syarat yang harus Bunda setujui" gue melangkahkan kaki gue naik ke atas dan masuk ke kamar, sikap pemaksa keluarga gue itu memang udah turun-temurun, udah gak bisa diapa-apain lagi, lebih baik ikut alur permainan dan biarin gue sendiri yang nentuin cara mainnya, ide boleh dari Bunda tapi untuk alur gue penentunya. Gue mulai beberes diri dan menjalankan kewajiban gue sebagai umat islam, gue butuh penenang dan penenang gue adalah ketika gue shalat, ide memang dari Bunda sedangkan alur dari gue, tapi gue dan Bunda gak akan bisa berbuat apapun tanpa seizin Allah. Gue memang gak sepaham itu masalah agama tapi gue juga gak sebuta itu, gue cuma menutup mata akan semua hal yang gue tahu, gue berdosa? Ya gue berdosa, mengabaikan cara berpakaian gue, bersentuhan dengan yang bukan mahram gue dan masih memikirkan lelaki yang mungkin sekarang sudah menjadi milik orang lain, semua itu berdosa dan semakin bodohnya gue karena masih melakukan semua itu. Bisakah gue berubah? Mengubah hidup gue, mengubah hati gue, Allahlah jawabannya, bagaimana mungkin gue mengharapkan sesorang yang baik kalau gue aja gak baik? Bagaimana mungkin gue berharap Allah mendengarkan do'a gue kalau gue aja masih sangat jauh dari-Nya? Bodoh, itulah satu kalimat yang pantas untuk gue sekarang. Berapa usia gue sekarang? Gue terlalu sibuk mengejar dunia tapi gue lupa kalau itu semua gak satupun bisa gue bawa ketika gue udah gak ada, dan kalau saat itu tiba barulah gue sadar kalau amalan akhirat gue terlupakan gitu aja. Gue ngusap kasar wajah gue sembari tersenyum miris, jauh sudah kaki gue melangkah untuk hal-hal yang gak berguna, membuang waktu gue untuk memikirkan sesuatu yang gak pernah memikirkan gue, dan apa yang gue lakukan disini? Gue hanya berlari, berlari dari kenyataan yang seharusnya gue hadapi, gue hanya perlu berlapang d**a dengan takdir Allah dan percaya Allah tahu segala sesuatu yang terbaik untuk Hamba-Nya. . . . Pertunangan? Beberapa hari yang lalu gue membatalkan dan memilih untuk langsung menikah dan anehnya calon suami gue juga setuju, bukankah jodoh gak akan tertukar? Kalau memang dia yang jadi jodoh gue, mau sekarang ataupun nanti itu gak akan ngubah apapun, tetap dia orangnya dan ikatan yang halal itu selalu lebih baik. "Nay, udah siap?" tanya Bunda begitu masuk ke kamar gue, akad nikah gue dilaksanakan di Jogya seminggu setelah persetujuan gue dan si calon suami. "Udah Bunda, akadnya udah dimulai ya?" tanya gue gugup. "Belum sayang, kan nungguin Nayya turun dulu" Bunda mengusap kepala gue pelan dan yang memang tertutupi khimar yang cukup panjang. "Bun, Nayya disini aja ya? Gak papakan?" Bunda menatap gue cukup lama sebelum pada akhirnya mengiyakan permintaan gue, Bunda turun kebawah dan kembali meninggalkan gue dengan perasaan yang semakin gak karuan, sebentar lagi Nayya, sebantar lagi status lo bakalan berubah. Karena memang kamar gue ini cuma kamar biasa, jadi suara riuh di bawah masih bisa kedengaran sampai ke kamar kaya gini, gue udah ngusap d**a pelan begitu akad nikahnya berlangsung, ngebayangin seseorang laki-laki sedang menyebutkan nama gue dalam sebuah akad benar-benar membuat perasaan gue bercampur aduk, dan mendengar kata sah entah kenapa air mata gue jatuh, cinta yang selama ini gue simpan pada akhirnya berakhir gitu aja, lagi-lagi gue hanya bisa menangis, menangisi kebodohan gue, Allah lebih tahu, Allah tahu kalau apa yang selama ini gue perjuangkan bukan itu yang terbaik untuk gue. "Assalamualaikum, Dek ayo turun, loh kok nangis? Adek kenapa?" "Wa'alaikumussallam, gak kenapa-napa Bunda, cuma ngerasa terharu aja" jawab gue disela isak tangis tertahan. "Udah jangan nangis lagi, tar cantiknya hilang, ayo turun, semuanya udah nunggu Adek dibawah" Setelah yakin air mata gue udah bersih semua, gue menggandeng lengan Bunda ikut turun kebawah, jangan liat kearah suami lo Nay, tar berabe. "Dek, Adek, duduk" gue yang kaget cuma bisa natap kikuk orang-orang yang udah ngejadiin gue pusat perhatian sekarang, bukan gue aja sih, lelaki yang duduk tepat dihadapan gue sekarang juga. Masih dengan kepala tertunduk, gue ngerasa ada tangan yang nyentuh ubun-ubun gue sembari berdo'a, gue yang menyadarinya hanya diam mengkaku ditempat. "Kamu?" tanya gue gak percaya dengan siapa yang duduk dan lagi masangin cincin nikah dijari manis gue sekarang. Lelaki tersebut cuma natap gue datar tanpa berniat ngejawab apapun, jadi dia? Apa mungkin dia yang menjadi suami gue sekarang? Gimana mungkin? Nama ni orang sama sekali gak ada dalam daftar tebakan gue. "Kenapa?" tanyanya sembari bangkit masih dengan tatapan datar itu. "Yang akad nikah barusan itu? Barusan?" tanya gue sedikit gak yakin. "Saya orangnya" "Allahuakbar" jawaban tu orang barusan sukses besar ngebuat gue semakin menatapnya gak percaya, kenapa harus dia? "Kenapa?" tanyanya lagi, gue menatapnya aneh sebelum mengecup tangannya sekilas. Suasana dirumah sekarang cukup rame, walaupun akad nikahnya sederhana, tapi kehadiran anak kos-kosan tante Lira sama om Hanif aja jadinya udah rame gini, gue juga gak ngundang siapapun, gue belum berniat cerita sama siapapun. Dibawah, gue nyalim ke mertua dan meluk Bunda sama Mas Abi bergantian, gue cuma mempererat pelukan gue ditubuh Mas Abi ketika Bunda masih sibuk ngasih wanti-wanti ke suami gue sekarang, puas-puasin dah denger ceramah Bunda. "Mas, kenapa Mas gak pernah bilang sama Nayya kalau calonnya itu dia? Mas sengaja ya? Mas mainnya curang" "Lah kenapa nyalahin Mas? Kamu sendiri yang gak pernah nanya sama Maskan? Kamu nanyanya itu sama Bunda terus jadi apa yang mau Mas kasih tahu?" Mas Abi kenapa selalu ngeselin? Gue udah nanya sampai meledak-ledak tapi dianya malah santai pura-pura bego sok-sokan gak tahu apapun, padahal perjodohan gue ini dia juga ambil andil banyak. "Udah gak papa, yang penting sekarang kamu udah tahu siapakan? Mas yakin dia bisa ngejagain kamu Dek" gue melenguh pasrah dengan jawaban Mas Abi, lain mau bilang apa? Dasarnya memang modelan begitu semua. "Kalian mau nginep disini apa mau langsung pulang kerumah kalian?" tanya Bunda yang membuat gue menatap Bunda penuh protes. "Nayya ikut pulang ke tempat Affif Bunda"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN