"Siapa Dek? Mas baru liat" tanya Mas Abi yang membuat gue mengalihkan pandangan mengikuti arah pandangan Mas Abi sekarang.
"Siapa apanya Mas?"
"Laki-laki yang turun dari bus setelah kamu, laki-laki pertama yang tersenyum hanya karena ngeliat Mas meluk kamu"
"Siapa? Laki-laki yang turun setelah Nayya? Kak Affif? Oh itu temen, eh eh bukan temen, cuma kenalan Kakak lettingnya Nayya, temen sekelasnya Mas Affan lebih tepatnya"
"Oh, kirain udah move on dari cinta yang tak terbalaskan" lanjut Mas Abi yang gue balas dengan tatapan membunuh, ini ni gak enaknya kalau kita suka sama seseorang dan Mas kita itu tahu, jadi bahan ejekan mulu.
"Gak lucu ya Mas, Mas sendiri juga bertepuk pake tembokkan? Yaudah sama aja" balas gue gak mau kalah.
"Nay, jangan terlalu deket sama Affif, dia terkenal gak suka sama perempuan" tetiba Mas Affan nyelutuk kaya gitu, apaan tu ucapannya? Aneh banget.
"Laki-laki yang gak suka sama perempuan sama laki-laki yang ngejaga diri dan pandangan dari perempuan itu beda ya, lagian mau Nayya deket sama siapapun Mas kenapa? Selama orangnya baik itu bukan masalahkan?" balas gue sedikit tidak suka dengan ucapan Mas Affan barusan, gue memang menyukai Mas Affan tapi bukan berarti setiap ucapannya gue benarkan.
"Kamu kenapa nyolot Nay? Memang Affif sebegitu bagusnya di mata kamu?" lah kenapa gue yang dikata nyolot? Yang nyolot sebenarnya siapa? Gue apa Mas Affan? Marah-marah gak jelas.
"Yang nyolot duluan siapa? Lagian mau Nayya deket sama Kak Affif atau siapapun Mas punya masalah apa? Sana urusin calon istrinya, gak usah sibuk marah-marah dan ngurusin urusan Nayya, udah Nayya ingetinkan? Jangan ikut campur lagi dengan urusan pribadi Nayya" Mas Affan bahkan udah natap gue gak santai, gue yang ditatap kaya gitu juga udah mulai melotot gak terima, apa liat-liat? Dianya bebas bilang suka ke cewek lain sama gue tapi gue sendiri gak boleh deket sama cowok lain, situ sehat Mas?
"Hush kalian berdua bener-bener ya? Kalau jauh pada ngadu kangen, giliran deket pada ngajak berantem, pusing Mas mikirin kalian berdua tahu gak, duduk diem atau turun pulang sama bus sana, lama-lama kalian berdua yang ngeselin" Mas Abi udah ngusap kasar wajahnya gak habis pikir sama kelakuan gue sama Mas Affan tapi ya bodo, siapa suruh Mas Affan marah-marah gak jelas?
Setelah gue sama Mas Affan pada diem baru Mas Abi ngelajuin mobilnya dan kita langsung pulang, Kak Reina udah dijemput supir katanya, sampai di rumah, Mas Affan juga langsung pamit pulang, orang tuanya udah nanyain.
"Nay, Mas minta maaf, Mas cuma gak mau kamu kecewa apalagi sakit hati cuma karena laki-laki Nay" Mas Affan sempat ngomong begitu Mas Abi udah masuk ke rumah duluan.
"Trus Mas pikir yang selama ini Mas lakuin itu apa ke Nayya? Nayya memang udah jauh terluka karena Mas dan Mas gak perlu bersikap seolah Mas gak tahu apapun" gue tersenyum paksa dan melangkah masuk ke dalam rumah meninggalkan Mas Affan yang masih terpaku di tempat dengan pemikirannya.
Gue masuk nyalim sama Bunda dan berlalu masuk ke kamar, gue perempuan dan gue yakin kalau Mas Affan sebenernya juga tahu apa yang selama ini gue rasain ke dia, dia nuduh gue kaya kemarin bisa, dia masih berlagak kaya gak terjadi apapun? Rasa yang gue punya ke Mas Affan itu lebih dari seorang sahabat dan Mas Affan gak sebodoh itu sampai gak peka dengan perasaan gue.
Mas Affan seolah mendiamkan perasaan gue dengan embel persahabatan yang semakin lama semakin gak jelas, Mas Affan tahu gue cinta dan gue yang selalu berusaha sebaik mungkin untuk nurutin semua yang dia mau tapi dengan mudahnya Mas Affan ngabain semua perasaan gue bahkan milih perempuan lain.
Dia bahkan minta izin gue untuk ngungkapin perasaan ke perempuan lain tanpa sedikitpun mikirin perasaan gue, apa gue gak layak sedikitpun untuk bahagia? Apa gue harus semakin jauh terluka cuma karena embel persahabatan kita berdua?
"Dek, Adek di dalam kan?" gue mengusap kasar wajah gue mendengar pertanyaan Bunda.
"Iya Bunda, masuk aja, pintunya gak Nayya kunci" beberapa detik kemudian Bunda masuk dengan segelas jus jeruk kesukaan gue di tangannya.
"Minum dulu sayang, Adek kenapa? Kakinya kenapa bisa luka kaya gitu? Cerita sama Bunda" gue menatap Bunda dengan pandangan mengabur karena air mata yang mulai mengenang di pelupuk mata gue sekarang.
"Bunda, Nayya gak mau kaya gini lagi, Nayya gak akan bisa bersahabat lagi sama Mas Affan, Nayya gak bisa Bunda dan Nayya gak mau, Nayya harus gimana?"
Bunda memeluk tubuh gue erat sembari ikut menenangkan, Bunda gak ngejawab apapun hanya diam dengan tangan yang masih setia ngusap kepala gue.
"Nayya gak bisa ngeliat Mas Affan sama perempuan lain, Nayya gak mau ngebuat hati Nayya makin hancur"
Apa gue bisa bertahan dengan ikut menghadiri pernikahan Mas Affan yang akan di adain dalam waktu kurang lebih sebulan lagi? Apa gue sanggup ngeliat Mas Affan bersanding dengan perempuan lain? Apa gue bisa?
"Apa Adek mau pindah ke Jogja? Adek bisa tinggal bareng Menek dan Om Hanif di sana?" penawaran Bunda yang membuat gue sukses menatap Bunda gak percaya.
"Adek bisa tinggal dan ngelanjutin kuliah di sana, cuma ini saran yang bisa Bunda kasih sayang, Bunda juga gak mau ngeliat Adek terus-terusan nangis kaya gini"
"Pikirkan baik-baik penawaran Bunda sayang, sekarang Adek beberes dulu, shalat dan setelahnya istirahat, nanti Bunda bantu ganti perban kakinya" Bunda ngecup kening gue sekilas sebelum keluar berlalu ninggalin kamar gue.
Apa lebih baik gue pindah? Gue gak harus ngasih alasan apapun untuk ngehindarin Mas Affan, gue gak harus ada di hari bahagianya, memang terdengar berat ninggalin Mas Affan tapi akan jauh lebih berat kalau gue harus hadir dipernikahannya, berpura-pura bahagia dengan hati yang semakin terluka.
Gak lama Bunda keluar, gue juga mulai beberes dan setelahnya tidur, gue butuh istirahat, butuh ketenangan untuk mikirin semuanya, mikirin kebaikan untuk diriku sendiri
"Dek, bangun udah magrib juga, bangun woi Dek bangun" gak usah di jelasin, gue juga udah tahu yang teriak-teriak barusan itu siapa? Ngebangunin Adeknya gak pernah pake cara lembut dan manusiawi sedikit, udah iya Mas Abi orangnya
"Woi Dek magrib"
"Iya Mas iya Nayya tahu, Nayya belum budek jadi masih bisa denger azan" jawab gue sambil geleng-geleng kepala gak habis pikir.
Gue bangkit dan berlalu ke kamar mandi, berberes diri setelahnya shalat, gue memang tidak terlalu ditekankan mengenai pengetahuan agama tapi untuk shalat alhamdulillah masih selalu diingatkan.
"Nay, Nay, Nayya buka pintunya" Mas Affan masuk dengan raut wajah memerah setelah tadi ngegedor-gedor pintu kamar gue gak sabaran.
"Mas kenapa? Ngapain Mas masuk ke kamar Nayya? Kita ngomong di halaman belakang aja" gak nunggu apapun, Mas Affan udah narik tangan gue turun dan langsung ngeboyong gue ke halaman belakang rumah.
"Apa maksud kamu pindah sebelum akad nikah Mas? Apa Mas gak seberarti itu untuk kamu Nay? Apa kamu gak mau hadir di hari bahagia Mas?" tanya Mas Affan marah seolah gak terima dengan keputusan gue, ya gue memang udah ngasih tahu Bunda kalau gue setuju untuk pindah, gue rasa pindah memang pilihan yang jauh lebih baik.
"Mas, sekarang Nayya yang tanya, apa Nayya gak berarti sedikitpun bagi Mas? Seberapa jauh lagi Mas mau Nayya terluka? Apa Mas terlalu bodoh sampai Mas sama sekali gak ngerti sama perasaan Nayya? Kalau Mas udah milih pilihan Mas, lepasin dan biarin Nayya milih pilihan Nayya sendiri, kalau Mas gak bisa ngebahagiain Nayya, tolong jangan siksa Nayya dengan terus-terusan jadi bayang-bayangnya Mas kaya gini, Mas gak akan bisa milikin dua wanita sekaligus dalam hidup Mas, di saat Mas milih pilihan Mas, di saat itu pula Mas kehilangan Nayya"
"Apa selama ini Mas gak pernah mikir? Suatu saat Nayya juga akan punya kehidupan Nayya sendiri, keluarga Nayya sendiri sama kaya Mas dan saat waktu itu tiba, gak akan pernah ada alasan yang membenarkan persahabatan gak jelas kita berdua Mas, gak akan ada"
"Nay, kita berdua sahabat, Mas udah nganggep kamu kaya Adek Mas sendiri, Mas beneran sayang sama kamu" gue tersenyum miris dengan ucapan Mas Affan, apa Mas Affan yakin dengan ucapannya barusan? Katakanlah Mas Affan yakin tapi apa gue bisa memandang persahabatan itu tulus adanya? Semuanya bohong, gue hanya berpura-pura buta dengan sikap baik Mas Affan, buta dan menganggap semua sikap baik Mas Affan karena dia juga mempunyai perasaan yang sama ke gue.
"Kalau Mas sayang sama Nayya biarin Nayya pindah, Mas bisa bahagia dan Nayya juga"
"Apa dengan ninggalin Mas bisa ngebuat kamu bahagia?" ekspresi Mas Affan berubah setelah nanyak kaya gitu.
"Maafin kalau pilihan Nayya ngebuat Mas kecewa tapi ini yang terbaik Mas, untuk Mas, untuk Nayya juga" gue gak bisa ngomong apapun lagi, walaupun berat tapi begini lebih baik, gue berbalik dengan tangis tertahan dan berniat ninggalin Mas Affan sendirian, gak ada lagi yang harus di perpanjang.
"Mas butuh kamu Nay, jangan pergi dan ngebawa separuh hati Mas ikut pergi bareng kamu"