2

1188 Kata
"Pakai jaket saya dan julurkan lengannya, maaf kalau saya menyentuh kamu" dan beberapa detik kemudian Kak Affif menggendong tubuh gue yang memang udah gak memungkinkan untuk di ajak berjalan lagi. Dalam gendongan Kak Affif, gue hanya menunduk pasrah dan tanpa terasa air mata gue ngalir gitu aja, apa gue masih bisa bertahan berada di dekat Mas Affan kalau harus terus terluka kaya gini? Gue nyerah, gue udah gak sanggup. "Zam, bagian kesehatan dimana?" tanya Kak Affif ke Kak Azzam yang memang bertugas jaga malam ini, seketika semua pandangan tertuju ke Kak Affif dan gue yang ada di dalam gendongannya sekarang. "Loh Fif, ini Nayya kenapa? Tenda paling ujung" jawab Kak Azzam ikutan panik. "Tanganin ini dulu, nanti gue jelasin" mengabaikan tatapan orang-orang di sini, gue balik menunduk dan sekilas tatapan gue bertemu sama Mas Affan, Mas Affan kaget? Udah pasti iya, gue gak pernah nyangka kalau gue bakalan di tolongin sama laki-laki lain kaya gini.  Di dalam tenda kesehatan, gue bahkan gak berani ngelirik darah yang udah ngalir di kaki gue, gue lebih milih buang muka dan tanpa sadar mulai memilin lengan kemeja seseorang yang sekarang memang berdiri tepat di sebelah gue. "Apa begitu sakit?" reflek gue mendongak dan untuk beberapa detik tatapan gue bertemu dengan Kak Affif, gue mah biasanya tapi ekspresi Kak Affif sekarang udah ngucap-ngucap banget kayanya. "Maaf Kak, Nayya merepotkan" cicit gue sembari melepaskan pilinan gue dari lengan kemeja Kak Affif. "Tidak papa, lain kali harus lebih hati-hati" gue mengangguk pelan, setelah kaki gue selesai di perban, Kak Azzam sama Kak Affif tetap minta gue untuk istirahat di tenda kesehatan jadi lebih gampang diawasinnya kalau tiba-tiba ada yang sakit lagi. "Nayya" tiba-tiba Mas Affan masuk dengan nafas ngos-ngosan lengkap dengan raut wajah khawatirnya, baru sekarang khawatir sama gue? Telat. "Nay, maafin Mas, harusnya Mas berterimakasih bukannya malah nuduh kamu, seharusnya Mas yang ngejagain kamu bukan malah ngebiarin kamu luka kaya gini, maafin Mas Nay" ucap Mas Affan mulai menggenggam tangan gue. "Lepas" dan Mas Affan sama sekali gak bergeming, "lepas Nayya bilang, apa Mas pikir Nayya sejahat itu? Mas kenal Nayya udah berapa lama sampai tega nuduh Nayya?" lirih gue dengan isak tangis tertahan. "Maafin Mas Nay, Mas yang salah,  Mas yang teledor ngejagain kamu" pada akhirnya air mata gue gak bisa di tahan, air mata gue ngalir gitu aja dan berakhir dengan menangis sesegukan di depan Mas Affan. "Mulai sekarang jauhin Nayya Mas, kalau ikut kesini adalah permintaan terakhir Mas untuk Nayya, jauhin Nayya adalah permintaan terakhir Nayya untuk Mas" . . . Acara camping kali ini beneran kacau karena gue, mendadak gosip Kak Affif yang ngegendong gue semalem juga udah nyebar kemana-mana, "seorang Affif yang terkenal sholeh tapi bisa-bisanya nyentuh perempuan yang bukan mahramnya kaya gitu?" ucapan kaya gini bahkan udah sampai ke telinga gue. Kalau boleh jujur, sekarang gue baru sadar kenapa Kak Affif minta gue menjulurkan lengan jaketnya sampai menutupi seluruh lengan gue, ini supaya kulit gue sama Kak Affif gak bersentuhan, lagian apa yang harus di omongin coba? Kak Affif ngegendong gue itu juga karena alasan yang mendesak, gue udah gak bisa dibawa jalan lagi. Tapi memang dasarnya udah jadi bahan omongan, mau di jelasin baik-baikpun udah gak guna, mereka semua akan tetap kekeh dengan pemikiran mereka, kalau nyari kesalahan orang mah gampang, yang salah sendiri gak pernah keliatan, bukannya apa-apa, gue jadi gak enak sama Kak Affif, dia diomongin juga karena nolongin gue. Sekarang gue udah naik ke bus dengan di bantu Kak Azzam, gue mulai melirik beberapa kursi yang masih kosong di bus sekarang dan di satu sisi gue ngeliat Kak Reina yang udah duduk sendirian, paling nunggu Mas Affan. "Kemana aja Fan?" tanya Kak Reina begitu mendapati Mas Affan yang baru naik bus dan berdiri tepat di belakang gue. "Aku duduk sama Nayya ya Rei?" pertanyaan Mas Affan yang membuat gue melotot gak percaya, Kak Reina juga mulai tertunduk setelah pertanyaan Mas Affan. "Nay, belum dapet tempat duduk ya? Bentar Kakak cariin" tawar Kak Azzam dan mulai nyari kursi yang kosong di bus sekarang. "Fif, sebelah loe kosong kan? Woi Fif" teriak Kak Azzam untuk Kak Affif yang memang terlihat sedang tertidur dengan earphone ditelinganya.         Kak Azzam yang keliatan kesal gak dapat respon apapun udah ngelempar pulpen ke arah tempat duduk Kak Affif sekarang, gue cuma bisa nahan senyuman gue dan beberapa detik kemudian gue ngeliat Kak Affif mulai membuka matanya dan setelahnya mengangguk pelan. "Nay, sebelah Affif aja" mendengar ucapan Kak Azzam, gue langsung ninggalin Mas Affan dan Kak Azzam yang ngebantu gue berjalan duduk di sebelah Kak Affif. Selama perjalanan suasana ramai di dalam mobil tapi begitu hening antara gue dan Kak Affif, gue yang mulai make earphone gue dan Kak Affif yang tidur bersandar dengan muka yang ditutupi buku bacaannya. Mengabaikan keributan di dalam bus sekarang, gue juga mulai memperhatikan ke luar jalan dan mulai menikmati beberapa lagu favorit gue, gue yang masih berlarut dengan nyanyian gue aslian kaget begitu mendapati kepala Kak Affif sekarang jatuh bersandar di bahu gue. Lah ini harus gimana? Mau di pindahin tar orangnya bangun, gak di pindahin, ini orang-orang mulai ngeliatin lagi, tar yang ada omongan mengenai gue sama Kak Affif makin menjadi-jadi. "Kak, Kak Affif" panggil gue masih pelan, gue berharap orang yang menyandar kepalanya di bahu gue sekarang bakalan bangun, "Kak Affif" ulang gue sembari memalingkan wajah natap Kak Affif kesal, gue yang tadinya kesal malah mendadak kaget karena tiba-tiba Kak Affif juga ikut memalingkan wajahnya merespon panggilan gue, "Astagfirullah" ucap Kak Affif kaget karena gak sengaja hidung gue sama Kak Affif bersentuhan menghapus jarak antara wajah kita berdua. "Maaf, saya tidak sengaja" ucap Kak Affif mulai panik, kenapa Kak Affif harus sepanik itu? Gak sengaja jugakan? "Gak papa Kak, Nayya barusan juga niatnya cuma mau ngebangunin kakak, lagian Kakak gak sengaja juga kan?" balas gue dengan raut jauh lebih santai.  Setelahnya kami berdua membenarkan posisi duduk kami dan suasana kembali hening, aneh banget? Ternyata yang diomongin mahasiswi kampus memang bener, Kak Affif itu dinginnya minta ampun kalau sama perempuan, natap aja udah ngucap, bersentuhan udah panik kaya maling jemuran. Ngebayangin ekspresi Kak Affif barusan entah kenapa gue malah mengulum senyum, siapapun perempuan yang jadi jodohnya Kak Affif nanti gue rasa bisa jadi kandidat perempuan yang bakalan bahagia dunia akhiratnya. . . . Sesampainya di gerbang kampus, hampir semua mahasiswa/i mulai menunggu jemputan mereka, gue juga lagi nunggu jemputan Mas Abi, Mas Abi udah janji ngejemput hari ini. "Adek" tepukan seseorang yang membuat gue membalikkan badan. "Mas Abi" pangil gue semangat, ngeliat Mas Abi berdiri tepat di hadapan gue itu rasanya ada beberapa beban yang lepas gitu aja,  gue membalas senyum Mas Abi dan berjalan tertatih memeluk Mas gue. "Astagfirullah Dek, ini kaki kenapa? Affan mana? Mas udah ingetin dia untuk ngejagain Adek bener-bener kan?" tanya Mas Abi begitu melirik ke arah kaki gue. "Lecet dikit Mas, ngapain Mas nanya tu orang? Gak penting dan gak ada hubungannya juga" "Ini salah Affan Mas, maaf Affan teledor ngejagain Nayya" tiba-tiba udah ada Mas Affan yang ikut nimprung. "Udah kalian berdua pada kenapa? Berantem lagi?" tanya Mas Abi mulai memicingkan mata. "Kurang kerjaan banget berantem sama ni orang" jawab gue ketus dan masuk kedalam mobil gitu aja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN