PERTEMUAN SENJA
“Dan aku terjebak dalam labirin rindu yang tak pernah kau tahu”
Gerimis senja ini membuat Indira sedikit malas keluar dari rumah kost yang telah ditempatinya selama lima tahun ini. Mungkin sebagian orang akan jenuh dengan suasana yang sama selama lima tahun. Dan kalau boleh jujur, Indira juga jenuh dengan tempat ini. Tapi dia tak punya pilihan, karena hanya ini yang bisa dia usahakan dengan uangnya yang nyaris selalu pas-pasan.
Namun dering di ponsel usangnya membuat dia tak bisa mengelak dari rutinitasnya setiap malam. Menjadi pelayan sebuah kafe di sebuah mall. Pekerjaan yang sudah ditekuninya semenjak dia berada di tahun kedua kuliahnya.
‘Jangan lupa untuk datang ke kafe, Yuna hari ini libur’ itu bunyi pesan singkat yang ditulis oleh Mbak Riris, manajer kafe Ozone.
Indira mendesah, padahal badannya seperti remuk karena beberapa minggu ini dia harus lembur menggantikan temannya yang sering mangkir. Memang sih ada tips lebih, tapi Indira bukan manusia super yang bekerja seperti robot.
“Jangan melamun saja, itu ojek langganan kamu sudah menunggu” Nurma, teman kost yang tinggal di kamar sebelahnya menyadarkannya dari lamunan.
Indira hanya tersenyum dan mengangguk. Kemudian langsung bergegas menuju ojek yang sudah menunggunya.
“Kelihatannya lembur terus, Mbak ?” tukang ojek usil bertanya.
“Gantikan teman yang mangkir, Bang” Indira menjawab singkat.
Kemudian ojek melaju, menembus gerimis yang membuat Indira terpaksa mengatupkan bibirnya kuat-kuat untuk menghalau dingin yang meretas.
“Maaf, In ... Mbak terpaksa nyuruh kamu lembur lagi. Yuna tadi ngasih tahunya juga mendadak,” Mbak Riris langsung menyela begitu Indiratiba di kafe.
Indira hanya tersenyum sambil berganti pakaian dengan kostum kerjanya. Sebuah kaos jankies warna biru dengan rok putih selutut menjadi kostum kerjanya selama ini.
“Mbak janji akan mengajukan cuti untukmu di akhir tahun ini” Mbak Riris masih menungguinya di dekat locker.
“Nggak pa-pa kok, Mbak. Lagian saya juga nganggur meski malam minggu” Indira mencoba tersenyum.
“Cowok kamu ?”
Indira tertawa lucu dengan ungkapan Mbak Riris tentang seorang cowok.
“Kok tertawa ? Memang ada yang lucu ?”
“Mbak Riris ini aneh. Selama ini, di hampir usia saya yang nyaris dua puluh empat tahun, belum ada yang naksir sama saya” jawab Indira membuat Riris tertawa dalam kejutnya.
“Ah, masa iya ? Lalu ... laki-laki yang kadang suka nungguin kamu kalau jum’at sore itu siapa ?”
Indira mengerutkan dahinya, kemudian menatap Mbak Riris masih dengan tawanya.
“Darius ?”
Mbak Riris angkat bahu.
“Dia teman terbaik yang pernah saya punya” kata Indira sambil mengambil celemek di kapstok khusus celemek, kemudian memakainya.
“Masa iya cewek secantik kamu nggak ada yang naksir ?”
Indira hanya tersenyum sambil membenahi rambutnya yang diikat. Kemudian bersiap di tempat biasa dia berada, menunggu tamu kafe yang sore ini sedikit sepi karena hujan.
Tapi kedatangan sepasang laki-laki dan perempuan di kafe Ozone membuat Indira nyaris tersedak kehabisan nafas. Wajah yang sangat Indira kenal itu kini datang dalam penampilan yang berbeda. Tentu saja, karena terakhir mereka bertemu adalah tujuh tahun lalu.
“Hei, tuh ada tamu” Mbak Riris mengagetkan Indira yang sedang menata jantungnya.
“I ... iya, Mbak” kata Indira tergagap kemudian mengambul buku menu dan mendatangi tamu yang telah duduk di kursi di sudut kafe.
Dengan langkah yang sangat kikuk, Indira mendatangi tamu dan menawarkan menu, berharap bahwa itu bukan laki-laki yang sama yang ada di dalam otaknya bertahun-tahun ini.
“Silahkan, Pak ... pilih menunya” Indira berkata santun sambil menunduk.
Si tamu lelaki terlihat memilih menu, begitupun dengan yang perempuan. Dalam menunggunya, Indira tak mampu meredam gejolak dadanya yang berdebum kencang.
Lalu setelah menemukan menu yang dipilihnya, si lelaki lantas mengatakan menunya sambil menatap Indira sekilas. Namun setelah menatap sekilas, si lelaki kembali menatap Indira dengan pandangan sedikit bertanya.
Namun keseriusan Indira membuatnya tak menyadari bahwa lelaki itu memperhatikannya dengan pandangan bertanya.
“Aku minta mie hot plate saja, Ibra. Kamu ?” Livi, si tamu perempuan berkata.
Tak ada jawaban karena Ibra, lelaki itu masih larut dalam pertanyaannya yang berkecamuk dalam otaknya.
“Ibra ?” Livi kembali memanggil laki-laki itu.
Deg !!
Dan ternyata instink Indira tak salah kali ini. Karena laki-laki itu memang benar Ibra. Ibra Asmawirdja. Laki-laki yang sama, meski dalam keadaan yang jauh berbeda dari apa yang ada dalam pikiran Indira selama ini.
“Aku sudah memesan” jawab Ibra singkat.
Livi mengangguk lalu menyebutkan pesanannya.
“Baiklah, Pak ... Bu ... pesanan akan segera kami antar” Indira lalu beranjak, masih dengan kesantunan yang sama.
Tapi Ibra masih tak juga fokus dengan apa yang ada di depannya. Karena dalam hatinya masih melintas banyak sekali kilasan-kilasan kisah sejenak yang tak juga lepas dari benaknya, bahkan setelah sekian tahun. Meski ada banyak keraguan, akankah benar ini orang yang sama ?
“Ada apa, Ibra ?” Livi bertanya heran.
Ibra menggeleng.
“Sepertinya aku mengenali pelayan tadi” kata Livi sambil melirik Ibra yang lantas menanggapi dengan antusias,
“Nah ... itu yang ingin aku katakan. Tapi di mana ya ?” Ibra mencoba bersikap netral.
Livi diam, begitupun Ibra.
“Aku ingat !!!” Livi tiba-tiba berseru.
“Siapa ?”
“Dia teman seangkatan aku di SMA, tapi beda kelas. Namanya aku nggak ingat, tapi tahi lalat di dagunya itu yang aku nggak lupa”
Ibra manggut-manggut.
‘Tak salah lagi ! Dia gadis yang waktu itu dibully sama teman-teman karena terlalu lugu dan juga meninggalkan bekas dihatiku’ Ibra membatin.
Dia ingat sekarang, bahwa dia yang menolong gadis itu saat teman-teman Ibra membully-nya di toilet sekolah. Memercikkan air hingga bajunya nyaris basah kuyub. Tentu saja menciptakan pemandangan yang mengenaskan karena bagian tubuhnya sedikit menerawang.
Dan Ibra, entah mengapa rasa iba nya muncul begitu saja. Lalu dia melepas jas sekolahnya dan memakaikannya pada perempuan adik kelasnya itu lalu menggiring perempuan itu keluar dari toilet.
“Silahkan, Pak ... Bu ...” tiba-tiba pelayan tadi sudah berada di hadapan Livi dan Ibra, bahkan telah selesai menyajikan pesanan mereka.
“Mbak, tunggu ... !!” Livi memanggil Indira yang hendak beranjak.
“Ya ?” Indira berbalik.
“Maaf ya, kamu dulu sekolah di SMA 2 ya ?”
Deg !!
Indira terkejut karena mereka masih mengenalinya. Indira lantas hanya bisa mengangguk.
“Nggak nyangka ya, ada lulusan SMA 2 yang jadi pelayan kafe begini ?” Livi berkata dengan nada mengejek membuat Indira terkejut dan merasa tersinggung.
Tapi tentu saja dia hanya diam, sama sekali tak bermaksud untuk menjawab, karena akan menurunkan reputasi kafe jika Indira ikutan terpancing suasana.
“Livi ?” Ibra mengingatkan agar perempuan itu tak terlalu mengejek Indira.
“Kenyataan kan, Ibra ? Biasanya nggak ada kan alumnus sekolah kita yang jadi pelayan kafe ? Semuanya nyaris menjadi pengusaha atau pekerja kantoran seperti kita ini kan ?”
Ibra hanya geleng kepala dan segera menyuruh Indira untuk kembali ke tempatnya sebagai pelayan. Indira mengangguk santun dan berjalan ke belakang.
“Seharusnya kamu tak mengatakan hal itu didepan perempuan tadi” kata Ibra sambil mulai menyantap makanannya.
“Aku hanya mengatakan yang sebenarnya kan ? Kurasa tak ada yang salah” Livi masih saja ngotot dengan sikapnya.
“Tapi tidak harus blak-blakan begini kan ?”
“Kok kamu membela dia ?”
“Bukan membela, Livi ...”
“Sudah ! Jadi hilang selera makanku !” Livi menyudahi acara makannya dengan wajah cemberut.
Ibra hanya geleng kepala tanpa mempedulikan Livi yang marah karena ucapannya. Selesai makan, sesekali Ibra melirik ke belakang, mencari sosok Indira. Namun sepertinya dia kecewa karena perempuan itu tak lagi kelihatan batang hidungnya.
“Mencari gadis itu ?” Livi kembali bertanya dengan nada ketus. Ibra hanya tersenyum tak menjawab membuat Livi sewot sendiri.
“Kita pulang ?” Ibra menawarkan.
Tanpa menjawab, Livi berdiri dan segera berjalan keluar dari kafe.
Sementara Ibra yang membayar ke kasir, sesekali masih melirik dan mencari siapa tahu gadis pelayan kafe itu kelihatan. Tapi lagi-lagi Ibra kecewa, karena perempuan itu tak ada.
Bahkan hingga Ibra masuk ke dalam mobilnya, sementara Livi sudah terlebih dahulu duduk mematung dengan wajah masamnya.
Dan Ibra sudah sangat terbiasa dengan raut Livi yang seperti ini, karena seringkali perempuan itu mengumbar rasa cemburunya tanpa tahu tempat dan situasi.
* * * * *
Sepeninggal laki-laki itu, entah mengapa Indira menjadi kehilangan semangatnya bekerja malam ini. Karena jujur saja, dia masih merasakan debar yang sama, gelenyar yang sama, dan pasti ... perasaan yang juga tak berubah meski sudah tujuh tahun berlalu.
Flash back ...
Masih terekam jelas di kepala Indira ketika siang itu, saat dia masih menjadi murid baru di SMA 2. Wajahnya yang tanpa ekspresi jelas membuat kakak-kakak kelasnya gemas bahkan sedikit jengkel. Maka ketika sekelompok anak yang terkenal usil melihat Indira ke arah toilet, mereka mengikutinya.
Semula berjalan lancar, ketika akhirnya Indira keluar dari salah satu bilik toilet, dia terkejut.
Bagaimana tidak ? Di luar telah menunggu beberapa anak lelaki dan dua orang perempuan berdiri dengan bersedekap, menatapnya dengan pandangan mengejek.
Indira bersikap seolah tak tahu dan berniat keluar dengan baik-baik. Tapi setiap langkahnya, selalu di halangi oleh beberapa diantaranya. Tapi Indira hanya diam, tidak bicara apapun. Bahkan ketika salah satu perempuan diantara mereka dengan sengaja memercikkan air ke mukanya, indira yang terkejut juga hanya diam.
Tapi diamnya kali ini bukan menimbulkan rasa kasihan, malah menimbulkan rasa jengkel di hati gerombolan anak yang suka usil itu. Karena aksi mereka tak mendapat sambutan, maka mereka mencoba membully Indira dengan percikan air yang nyaris berupa guyuran.
“Hei, kamu bisu ya ?” seorang perempuan yang memiliki name tag Lusi, Indira masih sangat ingat nama itu, bertanya dengan membentak.
Indira hanya menggeleng.
“Kenapa tak ngomong ?”
Tapi Indira juga hanya diam. Karena gemas, akhirnya Lusi mengguyurnya dengan air setengah gayung, membuat rambut Indira yang legam sebahu menjadi basah dan lepek.
Tapi Indira lagi-lagi hanya diam.
Beberapa teman lainnya malah menertawakan ulah Lusi yang menurut mereka demikian asyik untuk dinikmati.
“Apa yang kalian lakukan ?” tiba-tiba seorang lelaki dengan perawakan tinggi dengan kulitnya yang coklat dan rambut yang cepak rapi, datang.
Gerombolan si usil terdiam bahkan mulai menyingkir satu demi satu. Lalu ketika hanya tinggal Lusi, perempuyan itu menatap laki-laki yang menolong itu dengan pandangan marah karena mengganggu kesenangannya.
“Jangan pikir kami akan berhenti sampai disini” Lusi berbisik lirih di telinga Indira, membuat Indira bergidik ngeri dengan ancaman itu.
Lalu Lusi berlalu dari hadapan mereka.
“Kamu tak apa-apa ?” laki-laki itu, yang dari name tag nya Indira tahu bahwa dia bernama Ibra, bertanya pada Indira.
Indira hanya mengangguk.
Dan ketika Ibra melepas jas sekolahnya kemudian memakaikannya pada Indira, dia terkejut. Indira tak menyangka bahwa lelaki setampan Ibra akan bersedia memberinya pinjaman jas sekolah.
“Pakailah ! Bajumu basah, tak baik jika dilihat orang lain” Ibra berkata sopan dan menghela Indira segera keluar dari toilet itu.
Indira hanya mengikuti Ibra ke ruang BP.
“Ada apa, Ibra ?” seorang guru BP bertanya karena tak biasanya Ibra berurusan dengan BP.
“Maaf, Bu. Tadi tak sengaja dia terpeleset di toilet, jadi bajunya basah. Bolehkan dia ijin untuk pulang lebih awal ?”
Guru BP mengamati Indira yang menunduk dengan pakaian yang nyaris basah semua itu. Guru BP tahu, ini pasti bukan karena terpeleset, melainkan ulah anak muridnya. Lalu guru BP mengangguk.
Beliau menuliskan secarik kertas keterangan.
“Nama kamu ?” tanya guru BP.
Ibra menoleh ke arah Indira.
“Indira, Bu” Ibra menjawab setelah melihat name tag gadis itu.
Guru BP mencatat lalu memberikan kertas tersebut kepada Ibra.
“Terima kasih, Bu”
Guru BP mengangguk. Ibra lantas membawa Indira keluar dari ruang BP.
“Mau aku antar ke kelasmu ?” tanya Ibra sambil menyodorkan surat keterangan dari guru BP.
“Tidak, terima kasih” akhirnya Indira bicara juga. Dan sungguh, suara Indira terdengar demikian merdu di telinga Ibra, membuat laki-laki itu tersenyum senang. Sangat senang.
“Besuk saya akan mengembalikan jas kakak”
Ibra tersenyum.
“Terserah kamu akan mengembalikannya kapan. Sekarang lebih baik kamu pulang”
Indira mengangguk. Kemudian dia berjalan meninggalkan Ibra untuk menuju ke kelasnya, mengambil tas sekolahnya untuk kemudian pamit pulang.
Sepeninggal gadis itu, Ibra hanya menatap gadis itu dari belakang. Entah mengapa, seiring berlalunya gadis itu, seperti ada yang kurang dia rasakan. Ada yang tak lengkap. Dan ada satu ruang yang selama ini kosong, kini tiba-tiba terisi.
Ruang rindu. Karena Ibra merasa ingin kembali bertemu.
Flash back off.
“Melamun, Indira ?” suara Mbak Riris mengejutkan Indira.
“Ah, tidak” jawab Indira sedikit gugup. Gadis itu kemudian beranjak dari lamunannya, berharap pula bisa beranjak dari labirin rindu yang mengurungnya, tanpa sedikitpun Ibra tahu.
Mbak Riris tersenyum.
* * * * *