Mulai terbuka satu persatu misteri Shiela. Sean mengumpulkan semua informasi dan menganalisanya. Yang jelas, Shiela mengalami tindakan kekerasan, tapi kekerasan seperti apa? oleh siapa? dan kenapa? Semua pertanyaan itu tidak dapat dijawab Sean. Dilempar semua informasi tak berguna itu ke meja kerjanya dan menarik napas dalam dalam lalu membuangnya dengan kasar.
Sebuah pesan masuk, dengan enggan Sean membacanya. "Can I call?" pesan dari Tony. Tanpa menunggu lagi, Sean segera menghubunginya, "Hello friend" sapa Tony "I found Dita." tambahnya.
"Ohh yeah...got any information from her?"
Awalnya Dita bungkam, dia bahkan menyanggah kalau mengenal Shiela, tapi setelah kuperlihatkan fotonya dengan Shiela dia tidak bisa berkelit. Kukatakan kalau aku adalah temanmu. Dia langsung sedikit terbuka. Sepertinya dia mengenalmu my friend?" tanya Tony.
"Tidak, aku tidak mengenalnya, mungkin Shiela menceritakan hubungan kami pada Dita" terka Sean.
"Hmmm....maybe.." lanjutnya "So, setelah berbincang lama dan meyakinkan Dita kalau aku berada dipihak Shiela dan tidak akan menggunakan informasi itu untuk membahayakan Shiela akhirnya Dita menceritakan kejadian itu" ujar Tony. "Sorry My Man, I'm so sorry to let you know that Dita and Shilea mengalami kejadian yang sangat mengerikan."lanjutnya.
"Hmm...ok..I see.....thank you Tony for your help." Ditutupnya sambungan telepon dari Tony dan seketika hati Sean hancur berkeping.
"Maafkan aku Shiela" batin Sean "Aku tidak ada disaat kamu membutuhkan perlindungan"
Perasaan bersalah menghantui Sean, dia tidak menyangka dibalik keceriaan Shiela ternyata wanita itu menyimpan trauma yang tidak mungkin dapat dilupakan seumur hidup.
Ingin sekali Sean menanyakan guna memastikan kebenaran dari informasi yang didapatnya, tapi keinginan itu dibatalkan, khawatir Sheila teringat kembali dengan kejadian tersebut. Akhirnya ia putuskan mengiriman sebuah pesan singkat yang mewakili perasaan hatinya pada Shiela. Sean mengetik sebuah kalimat 'Dear my Shiela, I just want you to know that no metter what happened to you I still love you just the way you are.' lalu mengirimkannya. Jantung nya berdebar keras, harap harap cemas apakah Shiela menerima ungkapan cintanya atau malah sebaliknya.
Shiela yang kebetulan belum tidur meraih telepon genggamnya dan membaca pesan singkat tersebut. Dia berpikir keras maksud kalimat awal dari Sean. "Mengapa mendadak dia mengatakan demikian? Apakah Sean mengetahui apa yang telah menimpanya dulu?"Segudang pertanyaan memenuhi benaknya namun enggan untuk mengutarakan kekhawatiran tersebut.
Shiela tidak menjawab pesan tersebut, ragu menyergap hatinya. "Lihat saja nanti, jika kamu tahu kalau aku bukan Shielanya yang dulu lagi pasti kamu akan mundur teratur" sinis Shiela.
Kecewa, itulah yang dirasakan oleh Sean ketika hampir sejam lamanya menunggu balasan pesannya. Dia tahu kalau Shiela telah membaca ungkapan hatinya," Kenapa dia tidak menjawab?"
Sean tidak besabar menunggu pagi agar dapat bertemu dengan kekasih hatinya, semalaman dia tidak dapat tidur nyenyak, menunggu Shiela menjawab pesannya.
Tepat pukul tujuh pagi, pria itu telah mengetuk pintu rumah Shiela. Disambut oleh mamanya, Sean yang memang telah dikenal oleh kedua orang tua Shiela dipersilahkan masuk dan menunggu putri mereka.
Pagi itu, Shiela mengenakan celana khaki berbahan katun dipadukan dengan kemeja putih lengan pendek.Shiela terkejut dengan kehadiran Sean.
"Loh, kamu kok bisa kesini? Kita tidak ada janji bukan?" tanya Shiela sambil mengingat kembali apakah kemungkinan dia telah berjanji untuk bertemu.
Sean menggelengkan kepala, "Tidak, tapi hari ini aku datang karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Sangat sangat penting. Jadi, lebih baik kamu menghubungi atasanmu dan minta ijin untuk tidak masuk hari ini."
"Mana bisa mendadak? Bisa digantung sama atasanku nanti" protes Shiela dengan wajah cemberut.
"Ihh..kalau saja aku berduaan saja dengannya sekarang......sudah habis bibir itu kucium" batin Sean.
"Bisa, bilang saja kamu sakit perut. Beres kan." bujuk Sean sambil tersenyum sendiri membayangkan adegan ciuman yang baru saja dia pikirkan.
"Kenapa senyum senyum? IhhPemaksaan" omel Shiela dengan judesnya, tetapi dia menuruti perkataan pria itu lalu mengirimkan pesan singkat. Tak lama kemudian atasnnya membalas dan memberikan ijin tersebut.
"Gimana?" tanya Sean.
"Apanya gimana? Memang kamu mau bicara apaan sih? Segitu pentingnya?" judesnya belum selesai rupanya.
"Shiela..." tegur Hanny, mamanya.
"Pergilah memang jika ada yang harus dibicarakan, tidak baik menunda sesuatu. Selesaikanlah dengan baik baik" nasihat Handoko, papanya sekaligus menandakan kalau pria itu memberikan ijin pada putrinya untuk pergi dengan Sean.
Dengan sedikit tidak rela, Shiela menyetujui untuk mengikut Sean. Ada rasa penasaran juga dengan apa yang hendak dibicarakan oleh pria itu.
Sean mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang membelah jalanan Jakarta yang belum terlalu padat menuju Kota Bogor. Dia berencana mengajak Shiela untuk menikmati hari itu berdua saja mengenang masa dimana mereka sering berkencan ke kota hujan hanya sekedar menikmati kuliner disana.
Kota Bogor kini basah oleh hujan yang baru saja turun, hawa dingin mulai terasa ketika Sean membukakan pintu untuk Shiela. Sebuah restoran dengan pemandangan berupa hamparan sawah berlatar belakang pegunungan menjadi pilihan Sean untuk memulai kencannya.
"Enak gak makanannya Shiel?" Wanita itu mengangguk, "Kamu masih ingat saja kalau aku suka masakan sunda?"
"Tentu saja, semua yang ada padamu aku masih ingat kok. Hmm...kamu tuh takut sama laba laba, trus...enggak suka sama bakso ..."
"Sudah..cukup cukup...tidak perlu dibacakan kekuranganku" potong Shiela, malu.
"Tidak perlu malu sama aku Shiel...kamu pun tahu keburukanku bukan?"
"Hmm...begitulah..." jawabnya tanpa sedikitpun ingin melanjutkan pembahasan mengenai hal itu.
"Baiklah...kita ganti topik yang lain. Ok?" tanya Sean minta persetujuannya.
"Gimana kalau kamu cerita tentang kehidupanmu selama kuliah Shiel?" pancing Sean.
"Apa yang mau diceritakan...kuliah saja, sama seperti orang lain kok" kata Shiela "Tidak ada yang menarik" katanya lagi, raut wajahnya berubah menjadi muram.
"Kamu bisa cerita kesusahanmu padaku, kamu tahu itu bukan Shiel?" Sean menggenggam tangan Shiela.
"Lepas Sean.." desis Shiela seraya berusaha melepaskan genggaman itu.
"Kenapa aku harus melepaskannya Shiel?"
"Aku bukan siapa siapamu Sean, ada hati lain yang harus dijaga." ingat Shiela akan Mila, wanita yang dipercayai kini sedang mendekati pria itu.
Sean menggelengkan kepala, "Berulang kali kukatakan padamu, wanita yang kucintai hanya kamu seorang. Dulu, sekarang dan puluhan tahun lagi. Harus dengan apa lagi kau baru dapat percaya Shiel?"
Shiela membuang tatapannya pada pemandangan yang ada dihadapannya. Semilir angin memainkan anak rambut yang sebagian jatuh pada wajah wanita yang membuat Sean tidak bisa tidur memikirkannya.
Dia menarik napas panjang, "Entahlah Sean, aku tidak pantas menjadi pendampingmu. Semua yang ada padaku sudah tidak seperti dulu lagi. Kau akan menyesal nanti."
Sean memindahkan tubuhnya dan duduk tepat disebelah wanita itu, dengan jemarinya ia menyentuh dagu Shiela yang tertunduk menekuri lantai.
"Lihat aku Shiel, tatap mataku." pinta Sean. Ia menangkup wajah mungil berhidung mancung itu dan menatapnya dengan tatapan penuh cinta. "Apapun yang terjadi, tidak akan mengurangi rasa cintaku padamu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu, dan aku minta maaf karena tidak dapat melindungimu dulu. Tapi, mulai hari ini, aku berjanji akan selalu menjaga, mencintai dan mengasihi kamu melebihi diriku sendiri."
Kalimat yang panjang namun sungguh menyentuh hati sanubari Shiela yang paling dalam, bahagia. Tentu saja, setiap wanita yang mendengar seseorang mengatakan hal itu pada mereka pasti akan membuat mereka terbang ke langit ketujuh dan langsung menyerbu pria itu dengan pelukan. Tetap tidak dengan Shiela, hatinya sakit. Kebahagiaan yang timbul sejenak terkubur oleh kesedihan dan penyesalan luar biasa menyesakkan d**a.
Air mata mengalir turun membasahi wajahnya, seperti hujan yang baru saja menyiram kota bogor.
"Jangan menangis sayang...kamu cukup mengangguk untuk menjawab perasaan hatiku. Apakah cinta yang dulu hidup dalam hatimu masih tumbuh subur disana?" tanya Sean dengan lembut, dia sangat yakin kalau Shiela masih mencintainya. Sorot matanya mengatakan hal itu dengan jelas. Shiela meragu, hati dan lidahnya saling bersilang pendapat sehingga wanita itu hanya diam seribu bahasa.
Setelah itu, Sean mengajak wanita yang dicintainya itu pergi ke sebuah taman umum yang tidak terlalu ramai sore itu. Taman yang bagi sebagian orang hanya sebatas tempat menikmati kesejukan rindangnya pohon besar yang ada disana. Bagi mereka berdua, taman itu memiliki arti yang sangat dalam.
Di tempat inilah, dulu seorang Sean remaja mengungkapkan perasaan cintanya pada Shiela. Wanita yang masih suka dikuncir kuda itu terlihat sangat menggemaskan ketika Sean menanyakan apakah dia bersedia menjalin hubungan lebih dari seorang teman padanya. Anggukan kepala Shiela saat itu membuat Sean berteriak dan melompat kegirangan sehingga teman teman sekelasnya memperhatikan dua sejoli itu dan mengucapkan selamat pada Sean. Sebuah karyawisata yang tidak terlupakan oleh mereka pastinya.
"Kamu ingat tempat ini Shiel?" tanya Sean. Shiela hanya mengangguk, mana mungkin kenangan indah itu terlupakan? Walaupun pada saat itu dia malu setengah mati karena diledek oleh teman temannya tapi hatinya penuh dengan bunga ketika akirnya pria yang telah menempati posisi terpenting dalam hatinya itu menyatakan cinta padanya.
"Di sini, kita yang masih muda masa itu...hmmm seragam putih abu ya. Aku gembira sekali mendengar jawabanmu setelah kuucapkan aku cinta kamu" kenang Sean, mereka duduk di tempat yang sama empat tahun yang lalu.
"Sudah lama itu Sean, kita harus move on." celetuk Shiela sedikit kesal pada dirinya sendiri karena telah kotor dan tidak pantas menjadi wanita pria itu lagi.
Sean menoleh padanya, tubuhnya kini dimiringkan agar dapat menatap Shiela dengan leluasa.
"Kenapa kamu membentengi dirimu sendiri Shiel? Jujurlah padaku, ceritakanlah apa yang membebanimu?" pinta Sean, dia ingin Shiela terbuka padanya baru dengan demikian Sean dapat mengatakan bahwa dia menerima apa yang ada dalam diri wanita itu.
Sheila menggeleng, menarik napas panjang dan menghembuskannya kasar. Pikirannya sedang bertarung melawan hatinya, keduanya memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan keyakinan mereka.
"Baiklah, dari semalam aku sudah berjanji pada diriku sendiri jika hari ini kita harus saling membuka diri. Jika kamu masih diam, maka aku yang akan mengatakannya terlebih dahulu. Maafkan jika kamu tidak suka dengan kejujuranku." Sean menyentuh pundak Shiela dengan kedua tangannya dan meminta wanita itu untuk menatapnya.
"Aku sudah tahu apa yang kamu alami di New York Shiela" mata Shiela terbelalak, kaget, tidak percaya.
"Ma..maksudmu apa yang telah kamu ketahui? Aku .." jawabnya dengan terbata bata, dadanya berdebar sangat kencang.
"Sstt...dengarkan aku. Maafkan, seharusnya aku tidak menyerah ketika kamu meninggalkanku. Seharusnya aku dapat menyusulmu dan menjelaskan agar kamu tidak salah paham padaku. Tapi, aku yang pengecut malah hanya diam menunggu kau kembali. Jika saja kamu tidak pergi ke sana, semua hal buruk itu tidak akan terjadi padamu." Sean diam, mengusap air mata yang membanjiri pipi Sheila.
"Namun, takdir menentukan lain, aku tidak bisa memutar balik semua itu. Tetapi, sekarang aku bukan lelaki bodoh seperti tiga tahun yang lalu. Aku tidak akan melepaskan lagi kesempatan untuk memilikimu, merasakan pelukanmu dan mendengar suara merdumu. Lupakan semua kenangan buruk dan mari bersama kita rajut kenangan indah dan menyongsong masa depan kita."
Shiela terisak, menyesal dulu terlalu gegabah memutuskan untuk melepaskan dan merelakan Sean untuk wanita lain. Cintanya yang dulu kembali mengeruak ke permukaan setelah selama tiga tahun tersimpan dalam kalbunya.
"Kau akan menyesal setelah mendengarnya Sean. Aku..aku sudah tidak suci lagi, tiga tahun yang lalu diri ini telah dinodai oleh laki laki b***t yang aku sendiri tidak mengetahui siapa orang itu" seru Shiela lalu berdiri menjauhi Sean. Hatinya hancur, ternyata dia belum siap untuk kehilangan pria itu lagi.
Sean menghampiri dan memeluk tubuh mungil Shiela dari balik punggungnya, tangannya melingkar sempurna pada pinggang wanita itu dengan kepala menyusup pada tengkuknya. Wangi harum rambut Shiela membuat Sean terlena, hatinya sudah terpatri mati padanya. "I love you just the way you are...please..percayalah, terimalah cintaku Shiela. Jadilah pendampingku, akan kuhapus kenangan burukmu dengan kenangan indah kita. Berilah aku kesempatan untuk membuktikan betapa diri ini sangat mencintaimu." ucapnya lihir, perasaannya tercabik melihat wanita yang kini dipeluknya menangis sedih.
"Jadikanlah pundakku menjadi tempatmu untuk bersadar Shiel, let me be your guardian angel"