Bianca melihat ke arah luar saat mobil yang dia tumpangi membelah jalan ibukota. Untuk saat ini dia membiarkan pria Arab ini membawanya kemanapu, dia perlu menenangkan diri. Jauh dari Chef kurang ajar itu atau bahkan omelan mamanya yang menyebalkan.
"Are you really okay?" Tanya Sky sekali lagi dari balik kemudi.
Bianca mengalihkan pandangan melihat Sky yang sedang mengemudi sebelum kemudian mengangguk. Dia terdiam saat melihat mobil Sky memasuki kompleks perumahan yang begitu ia kenal “This House?! Really Sky?” pekik Bianca kesal saat melihat rumah minimalis modern yang berada di depannya.
“the best place to hiding from your mother.” Sky terkekeh mendengar dengusan Bianca yang mendelikan mata kesal.
"Kau malah membuatku masuk ke kandang macan," gerutu Bianca yang membuat Sky tertawa terbahak.
“Ayo, pasti nyonya besar menunggu penjelasan darimu,” ajak Sky beranjak keluar dari mobilnya.
Bianca menghela napas dalam sebelum akhirnya ikut melangkah Sky memasuki rumah Tari. Tatapan kagum tak pernah lepas saat menyusuri jalan setapak menuju rumah itu. Rumah ramah lingkungan yang terlihat begitu asri dibandingkan dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Rumah pasangan Arsitek dan Designer Interior itu serasa oase di tengah gersangnya komplek mereka tinggal.
Rumah berbentuk persegi dengan banyak jendela yang menghiasi, pondasi dari batu – batu cadas yang disusun dalam rangka baja,vertikal garden yang menghiasi salah satu dinding rumah membuat rumah ini begitu kembali ke alam. Bahkan, suara gemericik air dari air terjun buatan di taman bagian samping rumah membuat ketenangan yang mendengarnya.
“Daddy!” teriakan Alpha putra sulung Tari menggema saat pertama kali Bianca memasuki rumah ini. Dilihatnya Alpha menghambur ke arah Sky yang disambut pria bule itu dengan gendongan membuat Alpha tertawa riang.
“Kamu nggak nakal?” tanya Sky yang dijawab dengan dengan gelengan riang Alpha.
“Mama mana?”
“Lagi sama Ve. Tadi Ve ngompol makanya mama mandiin,” ucap Alpha dengan nada cadel khas anak kecil membuat Sky gemas dan mencubit pelan pipinya.
“Kamu kok datang sama Bianca, Sky?”
Suara rendah Tari membuat semua orang menatap ke arah tangga dan melihat wanita dengan perut besar menggendong anak berusia dua setengah tahun yang begitu aktif saat melihat kedatangan Sky dan Auntinya.
‘Ya! Sudah aku bilang jangan gendong Ve dengan perut seperti itu, terlebih menuruni anak tangga seperti ini!” Pekik Sky dengan nada tegas. Dengan cepat ia menurunkan Alpha dan bergegas mendekati Tari guna mengambil Venus dari gendongannya. Venus yang melihat Sky mendatanginya sontak mengulurkan tangan meminta untuk di gendong pria arab itu.
“Aku baik – baik saja, Sky. Masih bisa melakukan hal kecil ini sendiri,” kata Tari berhasil menuruni anak tangga terakhir dan berdiri di hadapan Bianca.
“Seharusnya aku merombak tangga sialan itu.” Sky menatap kesal tangga kayu yang juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan sepatu.
“Siapa kamu berani merombaknya..” suara orang dari arah belakang membuat semua orang mengalihkan pandangan, termasuk Venus yang langsung berjingkrak senang dari gendongan Sky saat melihat orang itu.
“Mas Bintang ngapain ada di sini.”
“Awww sakit...” keluh Bianca mengusap dahinya yang memerah karena sentilan Abang iparnya yang baru saja datang.
“Yang seharusnya bertanya itu aku. Kenapa kamu ada di ini?” tanya Bintang menatap sebal Bianca yang mengusap dahinya dengan tangan kanannya. Ia meraih Venus dari gendongan Sky yang disambut anak perempuan itu dengan gumaman senang.
“Maksud aku kenapa mas ada di sini saat masih jam masuk kantor?”
"Terserah aku dong, Toh aku bosnya kan," ucapnya dengan nada bangga membuat Bianca mendelik sebal.
"Dasar bos yang suka seenaknya," gerutu Bianca membuat jitakan kembali mendarat ke puncak kepalanya sehingga membuatnya memekik kesakitan.
“Kenapa?” tanya Bianca bingung saat Sky mendelikan matanya sebal menatapnya setelah mengucapkan hal itu.
“kenapa kamu memanggil Bintang dengan sebutan Mas dan aku hanya menggunakan nama?” ucap Sky kesal membuat Bianca terkekeh.
“Karena dia cocok aku panggil dengan Mas, sedangkan kamu... aku geli memanggil pria berwajah blasteran Arab-Amerika sepertimu dengan sebutan mas,” ucap Bianca santai membuat semua orang tertawa, kecuali Sky.
“Aku masih punya keturunan Indonesia,” jawab Sky tak rela.
“Ya..Ya... Ya... tapi cuman seperempat,kan? Dan muka kamu tu nggak ada Jawa-Jawanya buat dipanggil Mas. Udah deh, terima aja dipanggil nama dari pada kamu aku panggil Kakek, salah lagi,” ledek Bianca kesal membuat Sky mendengus
“Papa... Abang juga mau digendong,” rengek Alpha menarik celana Bintang yang tertawa.
Bintang menatap Alpha sejenak sebelum akhirnya mengangkat bocah tampan itu dengan sebelah tangannya. Bianca menatap kagum melihat Bintang yang terlihat begitu kuat mengangkat dua orang anak sekaligus, terlihat bagaimana kehangatannya keluar saat dengan sabar mendengar rengekan kedua bocah itu meminta banyak hal kepadanya.
“Tar.. Lo enak banget ya. Kayak punya dua suami. Orang – orang pasti bingung nentuin suami kamu yang mana.”
“AWWW Sakit!” pekik Bianca lagi saat bahunya dipukul dengan begitu keras.
Kali ini Tari memukulnya dengan begitu keras sehingga membuat Bianca harus mengusap bahunya yang sedikit memerah. "Ini KDRT Loh, Sakit Tahu?!" pekiknya kesal saat Kakak dan Abang Iparnya sedari tadi terus memukul kepala dan bahunya
“KDRT apaan? Lu tuh kalo punya mulut dijaga, jangan ngomong sembarangan." hardik Tari kesal membuat Bianca menutup mulutnya lau merengut kesal.
Dia berjalan ke arah sofa sebelum kemudian duduk di sana, Bintang yang memperhatikan tingkah adik iparnya itu mengerenyitkan kening saat melihat jari telunjuk kiri Bianca di perban. “Tangan kiri kamu kenapa?” tanya Bintang menatap ke arah Sky meminta penjelasan yang dijawab dengan angkatan bahu.
“Tanya dia aja langsung. Aku membawanya kemari setelah menjahit jarinya,” ucap Sky saat semua pandangan beralih menatapnya.
Bianca meringis melihat pandangan Tari. Ia menghela napasnya dalam memikirkan apa yang terjadi setelah ini. Interogasi dimulai... keluhnya dalam hati.
“Jadi… Tangan Lo kenapa?” tanya Tari menatap tangan kiri Bianca yang salah satu jarinya diperban, sedangkan Bintang dan Sky melayani permintaan dari Alpha dan Venus yang meminta bermain dengan Daddy dan Papanya sekaligus.
“Nggak usah dibahas lagi. Gue males bahas ini lagi. Tapi yang pasti aku beneran keluar dari Kursus Neraka itu,” ucapnya kesal membuat Tari menghela napas.
“Lo yakin. Gimana dengan mama? Lo tau kan mama bisa nekat banget..”
“Tau. Makanya gue berencana buat bikin petisi buat mama. Gue nggak bakalan balik ke rumah sebelum dia setuju kalau gue berhenti ngikutin kelas ‘setan’ itu.” Bianca menggeram mengingat bagaimana menyebalkannya Chef senga itu. Bahkan kata – kata cacian yang ia ucapkan tadi terus terngiang di kepalanya.
“Gue berencana bakalan gugat mama kalau dia beneran berani bakar Fa(bi)lous,” celetuknya kesal.
“Awww.. Sakit Tar!” pekiknya saat Tari kembali memukul bahunya dengan buntelan majalah arsitektur yang ada di sampingnya.
“Lo tu kalau ngomong disaring dulu, bisa nggak sih, Bi?! Sembarangan banget main tutut mama,” ucap Tari dengan nada marah membuat Bianca merengutkan bibirnya.
“Abis… mama bener-bener keterlaluan kali ini. Mama tu mirip banget sama lo. Extreme kalo bikin ancaman. Terlebih lagi, ancaman mama tu terkadang bukan omong kosong,” decak Bianca kesal, “Eh, Apartemen gue belum selesai?” tanya Bianca sembari mengusap bahu kanannya yang panas akibat pukulan dari kakaknya utu.
Tari menatap adiknya itu lalu kembali menghela napas. Matanya beralih menatap kumpulan plaster bahkan yang terakhir perban yang melilit di jari telunjuk kirinya. Separah itukah adiknya tidak suka memasak sampai tangannya jadi korban.
“Tar…”
“Ehm… Apartemen udah hampir selesai kok. Tinggal penataan perabotan. Insya Allah, seminggu lagi kelar,” jawab Tari membuat rona di wajah Bianca berbinar.
“Siippp. Selama seminggu sebelum apartemen selesai. Gue tinggal di sini ya.”
“Siapa bilang kamu boleh tinggal di sini?” ucap Suami Tari berkacak pinggang berusaha menolak permintaan Bianca.
“Ayolah… Ehm. Aku nggak bakalan nyusahin kok, Ya.. Ya..,” rengek Bianca pada kepada abang iparnya.
“kenapa di sini, nggak di rumah Alfian aja?” ucap Bintang membuat Bianca menggeleng.
“Dan akhirnya selalu direcokin sama Princess satu itu. Nggak lah. Ayolah, Cuma di rumah kalian aku dapat sedikit ketenangan dan kebebasan buat berekspresi,” rengeknya lagi membuat suami Tari menggeleng.
“Al sama Ve mana?” tanya Tari pada kedua pria yang sudah ada di depannya.
“Sudah tidur, kecapekan,” ujar salah satu di antara mereka, lalu sama – sama berjalan dan duduk mengapit Tari.
“Tadi Afi telepon buat sedikit maksa kamu nandatanganin kontrak sama perusahaan Apparel itu. Sebenarnya kamu kenapa sih, Bi.. Sampe harus berpikir ribuan kali hanya untuk menyetujui kontrak mereka. Bukannya kamu dulu sering ngirimin semua laki – laki di keluarga kita kemeja rancangan kamu?.”
Bianca kembali terdiam mendengar ucapan Tari yang berubah formal kepadanya. Ia sendiri tak mengerti dirinya kenapa enggan membuat rancangan pakaian pria yang notabene lebih mudah dirancang daripada pakaian wanita.
“Sebaiknya kamu coba dulu lagipula Afi bilang ini profitnya lumayan.”
Bianca menghela napas sebelum akhirnya berdiri. “Nanti aku pikiran. Kamar di atas masih nggak di pakai, kan? Aku pakai yang itu,” ucapnya meninggalkan ketiga orang itu yang terus memandangnya.
“Kamu ngerasa nggak sejak kembali dari Paris, Bianca jadi sedikit beda?” tanya Tari dijawab gelengan oleh salah satu pria dan Pria yang lain menatap sendu Bianca yang berjalan sebelum akhirnya menghela napas.
Bianca menutup pintu kamar, terus mengenggam kenop pintu dari belakang. Punggungnya bersandar di pintu itu sembari menarik napas dalam.
Setelah dirasa cukup tenang. Ia berjalan menuju bagian tengah kamar dan merebahkan diri ke ranjang bundar yang ada di sana. Matanya menatap langit – langit kamar yang berhiaskan kap lampu yang terbuat dari kayu-kayu bekas. Helaan napas beratnya kembali terdengar.
Hari ini begitu berat untuknya. Permintaan Alfian, pertengkarannya dengan Chef itu terus memenuhi pikirannya, belum lagi perseteruan yang akan terjadi antara ia dan mamanya jika Ambar mengetahui ia berhenti mengikuti kelas memasak itu.
Bianca mengangkat kedua tangannya ke atas berusaha menutupi cahaya lampu yang mengenai matanya. Ia terkekeh menertawakan dirinya sendiri saat melihat jarinya penuh dengan plaster selang – seling. Sebegitu bencinya kah ia dengan memasak sehingga jari tangannya menjadi seperti ini?
Bianca beranjak dari tempat tidur, sebuah pikiran merasuk ke dalam otaknya. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya memutuskan untuk menelpon Alfian. Setidaknya ia bisa mengalihkan perhatian sejenak dari kemarahan mamanya karena keluar dari kursus memasak menyebalkan itu. Setidaknya dengan ini dia yakin ada dalam perlindungan Papa dan Alfian sehingga membuat Mamanya tidak bisa berkutik lagi jika dia meminta untuk berhenti dari kelas memasak sialan yang telah membuat jemari jantiknya penuh dengan luka seperti sekarang.