“Maaf saya terlambat.”
Ucapan Bianca membuat semua orang yang ada di kelas memasak yang sudah berlangsung selama sepuluh menit itu menghentikan aktivitasnya. Tawaran Alfian malam tadi terus memenuhi pikirannya sehingga membuatnya sedikit melupakan kelas ‘neraka’ ini.
Tatapan para wanita, ibu-ibu muda bahkan setengah tua yang mengikuti kelas memasak ini menatapnya lekat membuat Bianca tak nyaman. Matanya beralih menatap head chef senga yang berada di depan Pantri-nya menghentikan aktivitas yang sedang mengasah salah satu pisaunya menatapnya tajam seolah ingin menancapkan pisau itu tepat di jantung Bianca membuat Bianca kengerian.
Chef Senga itu berkacak pinggang berjalan mendekati Bianca dengan wajah angkuh. “Kamu tahu saya tidak menyukai orang yang terlambat,” ucap Fabian seolah menahan emosinya membuat Bianca menunduk. “Seharusnya kalau memang tidak ingin masuk kelas ini, nggak usah datang sekalian daripada terlambat,” sindir Chef itu sambil berlalu membuat Bianca mengepalkan tangannya.
Jika saja mama tidak mengancam akan menghancurkan Fa(bi)lous. Aku juga nggak sudi ikut kelas neraca ini. Batin Bianca kesal menggenggam kedua tangannya menahan emosinya yang ingin keluar.
“Kita lanjutkan,” ucap Chef menyebalkan itu membuat semua orang yang tadi terdiam melanjutkan perintahnya. Fabian kembali menatap Bianca yang masih berdiri mematung, “Kamu mau sampai kapan berdiri di situ?!” bentaknya membuat Bianca menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya yang kosog. Dia merasa harus menghirup lebih banyak oksigen guna menahan emosinya yang ingin keluar jika berhadapan dengan manusia menyebalkan seperti orang yang ada di depannya ini.
Dengan menghentakan kaki, dia berjalan menuju station masaknya sembari terus mendumel dan menyumpahi chef menyebalkan itu dalam hati. Dipakai apronnya cepat sebelum menggulung lengan blouse biru muda yang dikenakannya hingga ke siku, lalu tanpa sadar menatap bracelet berbandul Paris yang menghiasi tangan kirinya. Dia kembali menarik napas dalam, setidaknya gelang ini bisa menjadi penyelamat dan penurun emosinya.
Matanya mendelik kesal pada Fabian yang terus memberi perintah untuk belajar mengiris bawang bombai. Bianca kembali menatap ngeri jejran pisau berbagai ukuran yang ada di samping pisaunya, melirik ke arah murid lain menggunakan pisau yang sesuai untuk mengiris bawang.
Pikiran Bianca bercabang. Ia tak dapat mendengarkan instruksi Fabian. Pikiran akan tawaran membuat pakaian pria terus berkecamuk di kepalanya. Matanya menatap Fabian yang tampak serius, tangannya yang bergerak cepat mengiris bawang membuat decak kagum murid – murid yang lain. Bianca terdiam, menatap Fabian dengan seksama. Dadanya seolah tiba – tiba berhenti berdetak. Keningnya merenyit saat seolah ada bayangan laki – laki yang melakukan hal yang sama seperti Fabian lakukan.
Bianca menggelengkan kepalanya saat merasa bayangan laki – laki itu kian terasa nyata. Bayangan laki – laki yang terasa begitu pas mengenakan rancangan kemeja yang berada di buku sketsa yang ia temukan tadi.
“Kalian bisa memulainya,” ucap Fabian menatap tajam ke arah Bianca.
Bianca mendesah mengambil pisau yang akan digunakan untuk mengiris bawang. Tangannya masih terlihat begitu kaku memegang pisau itu, layaknya memegang stick baseball. Ia menggigit ujung bibirnya karena bingung bagaimana memulai mengiris bawang itu tipis – tipis.
“Bodo amat ah..” decak Bianca kesal mulai memotong bawang itu asal. Ia mendengus saat mendengar pekikan dari station di sampingnya dimana ia melihat Chef senga itu sedang mengajar wanita muda dengan begitu sabar, emosinya terlihat berbeda saat berada di dekatnya.
Digenggamnya pisau itu lebih kencang, kembali mengiris lebih tepatnya memotong bawang itu dengan asal. Entah mengapa, emosinya meninggi mengingat kata – kata kasar yang tadi Chef itu katakan kepadanya.
“AKKHH!” pekik Bianca, meringis kesakitan saat tangannya kembali terkena pisau. Tangisnya hendak keluar saat melihat jari telunjuk tangannya yang kembali terluka. Bukan luka tipis layaknya beberapa hari yang lalu, tapi luka yang cukup dalam hingga darah mengalir cukup banyak saat ia menekan lukanya.
“KENAPA LAGI?!” pekik Fabian membuat Bianca bergegas menyembunyikan tangannya yang terluka.
“Yang sebenarnya kamu lakukan dari tadi tua apa sih?!” tanya Chef itu lagi dengan nada yang keras melihat meja Bianca begitu berantakan. “Kamu serius nggak sih ikut kursus masak ini. Sudah berapa kali pertemuan kamu masih belum bisa apa – apa. Kamu sebenarnya BODOH atau Apa?! Sia – sia rasanya saya mengajar kamu!” teriak Fabian kencang seolah sengaja mempermalukan Bianca.
Bianca menatapnya kesal. Matanya yang tadi ingin mengeluarkan tangis ia pejamkan, menahan kuat tangisnya yang ingin keluar. Ia sudah tak tahan lagi. Caci, maki bahkan kebencian yang Chef itu keluarkan membuatnya muak. Kembali ditatapnya Chef itu tajam. Kedua tangannya mengepal, tanpa memperdulikan jari telunjuk kirinya yang terasa begitu perih.
“Kamu kira aku mau dengan suka hati ikut kelas neraca ini,” geram Bianca membuat Fabian membulatkan matanya tak percaya dengan jawaban yang Bianca ucapkan.
“Jika saja bukan karena mamaku aku tak akan pernah mau ikut ke dalam kelas ini dan bertemu dengan mu. Kamu kira kamu siapa bisa mengatai saya bodoh. Sia-sia… iya, ini memang sia – sia semuanya. Memasak adalah tindakan terkonyol yang Bianca Calista lakukan.” Kekeh Bianca menertawakan dirinya sendiri.
“Saya sudah muak dengan caci maki Anda. Saya keluar dari kursus masak sialan ini!”
Bianca membanting apron apron yang ia kenakan tadi, lalu berjalan meninggalkan Fabian yang terpaku. Tangis yang ia tahan sedari tadi akhirnya keluar. Ia tak tahan lagi. Pikiran tentang tawaran kerja yang memenuhi kepalanya, kenangan masa lalu yang tiba-tiba datang bahkan kata – kata kasar yang Chef Senga itu katakan kepadanya membuat emosinya semakin tak terkendali.
Langkah Bianca semakin cepat, dia tidak memperdulikan sekelilingnya yang menatap heran, yang dia inginkan sekarang adalah pergi dari tempat ini dan menenangkan diri hingga…
“Hey, are you okay?” suara lembut seseorang yang sangat dia kenal menghentaknya. Dia mengangkat kepala melihat laki-laki yang tak sengaja dia tabrak adalah orang yang dia kenal.
“S-sky … What are you doing here?” tanya Bianca menghapus air matanya yang keluar.
“Kamu menangis? Kenapa?” tanya Sky khawatir yang dijawab gelengan. “Tangan kamu kenapa?!” pekiknya khawatir saat melihat darah menetes dari jari telunjuk Bianca membuat air mata yang sedari tadi dia tahan di hadapan Sky kembali keluar seolah sikap keras kepala yang biasa dia perlihatkan kepada orang sekitarnya tak berlaku untuk pria keturunan Pakistan itu.
“Ikut aku ke mobil.” Sky memapah Bianca menuju mobil, tak ingin membuat orang yang dia anggap sebagai adiknya sendiri itu malu.
Di sisi lain ….
Fabian terdiam memandang apron putih yang terletak begitu sjaa di meja yang Bianca tinggalkan tadi. Matanay menatap noda berwarna merah yang berada di bagian pinggir apron sebelum akhirnya beralih melihat bercak yang sama di lantai dan pisau yang Bianca gunakan tadi.
Dengan sedikit berlari, Fabian keluar dari ruangan. Perasaan menyesal dan khawatir memenuhi pikirannya. Sebenci itukah dia dengan segala sesuatu tentang Bianca sehingga membuatnya emosinya selalu tidak stabil jika berdekatan denganya. Langkah kaki Fabian terhenti saat melihat Bianca masuk ke sebuah mobil berwarna hitam.
Dia mengacak rambutnya kesal. Seharusnya dia bisa lebih bersabar dan tidak mempermalukan Bianca di depan banyak orang seperti tadi.
****
“Sakit?” tanya Sky pelan saat jemarinya mulai membersihkan luka Bianca dengan alkohol. Keningnya sedikit merenyit saat melihat Bianca meringis menahan rasa sakit. Memperhatikan luka di jari telunjuk Bianca, luka yang terlihat cukup panjang dan dalam sehingga membuat daging jemarinya hampir terlihat.
“Sepertinya ini harus dijahit Bi, kamu bisa menahannya?”
Bianca menatap luka di jarinya, hembusan napas berat terdengar saat melihat jari – jarinya yang awalnya cantik sekarang penuh dengan plaster di tambah lagi dengan luka cukup dalam itu.
“Aku bisa menahannya, kok.”
Sky tersenyum lembut kemudian mengambil peralatan untuk menjahit luka Bianca dari kotak PP yang ada di mobilnya.
“Kamu bawa semua ini?” tanya Bianca tak percaya saat melihat Sky mengeluarkan kasa, kasa steril, plaster, alkohol, bahkan benda seperti benang yang sering digunakan untuk menjahit luka.
“Pertolongan pertama. Mengingat kamu dan kakakmu terlalu teledor, bisa terluka setiap saat membuatku menyediakan ini di mobilku,” ucapnya menampilkan senyum menawannya membuat Bianca mendengus.
Bianca menatap Arabian prince yang sedang menjahit lukanya. Wajah khas timur tengah dengan bulu-bulu halus yang menumbuhi bagian dagunya membuat pria ini terlihat begitu seksi. Matanya yang selalu menatap lembut dan senyumnya yang menawan membuat hampir semua wanita yang menjadi pasien atau kliennya terpesona dan enggan melepaskan pandangan. Pria penting dalam keluarganya yang selalu ada untuk menolong kakaknya dulu, dan sekarang pria itu selalu ada untuk menolongnya.
“Ini kenapa?” tanya Sky terus menjahit luka Bianca, matanya menatap tajam Bianca yang terlihat kesal di tengah menahan rasa sakit.
“Jangan bilang… Hahahahahahha…” Tawa Sky menggelegar hingga membuatnya menghentikan kegiatan yang ia lakukan tadi. “Sebegitu bencinya kamu sama masak sampai tangan kamu korbankan Bi.”
“Udah deh jangan dibahas. Belum selesai juga?” tanya Bianca ketus. Kembali kesal mengingat pertengkarannya kembali dengan Chef senga itu.
“Sebentar lagi.” Sky menyelesaikan jahitan terakhirnya lalu menutup luka Bianca dengan kasa steril. “Selesai," katanya saat melihat jemari Bianca telah tertutup dengan perban. Dengan cepat, Sky meletakkan kembali peralatannya ke dalam kotak PP lalu menaruhnya ke tempat semula.
“Wow,” kagum Bianca saat melihat jari telunjuk kirinya telah berbalut perban rapi. “Sekarang aku baru mengakui kamu dokter yang hebat,” kekeh Bianca membuat Sky membulatkan mata tak percaya.
“Kamu pikir selama ini kenapa aku jadi relawan di daerah Konflik,” ujar Sky kesal.
“Hehe.. aku hanya bercanda,” balas Bianca membuat Sky gemas lalu mengacak rambut panjangnya.
“mau cerita ada apa dengan kelas memasakmu hingga membuatmu terluka cukup parah seperti ini?” tanya Sky membuat tawa Bianca terhenti, menatap Sky dalam sebelum akhirnya menggeleng. Masih belum ingin membagi masalahnya kepada orang lain, termasuk orang yang cukup dekat dengannya seperti Sky.
“Aku akan menemui Anna,” ucap Bianca lemah membuat Sky menghentikan aktivitasnyadan menatap Bianca.
“Kenapa… ‘itu’ datang lagi?” tanyanya tak menyembunyikan rasa terkejutnya. Dengan Bianca menyebut nama Anna membuatnya semakin khawatir dengan keadaan mental Bianca yang selama satu tahun ini sudah cukup stabil,
Bianca tersenyum pelan, sebelum akhirnya menggeleng. “Aku hanya ingin curhat kepadanya. Rasanya sesi curhat antara aku dan Anna akan terjadi lagi.”
“Kenapa kamu tidak curhat kepadaku saja?”
“Dan akhirnya membuat Tari tau semuanya. Jangan bercanda..”
“Hey.. Selama ini kamu tau aku tak pernah membongkar semua rahasiamu kepada Tari atau siapapun di keluargamu,” ucapnya sedikit tersinggung mendengar ucapan Bianca tadi. Matanya menatap sebal Bianca yang terkekeh di sampingnya.
“Aku antar ke rumah.”
“Jangan. Aku malas bertemu dengan mama. Bawa aku kemana saja,” pinta Bianca membuat Sky menghela napas sebelum mengemudikan mobilnya mengikuti keinginan Bianca, seolah sadar sikap Bianca seolah membangun benteng yang membatasinya untuk mengetahui apa yang ia rasakan seperti Tari dulu.
“Sky..”
“Ehm,” gumam Sky menengok ke arah Bianca yang tersenyum.
“Terima kasih untuk ini…” ucapnya menunjukan jari telunjuknya yang terluka. “… dan ini,” menggerakan tangannya menunjukkan bracelet paris yang menghiasi tangannya.
Sky tersenyum melihat gelang yang masih dikenakan Bianca. Gelang yang seolah menjadi kunci dari masa – masa yang Bianca ingin lupakan.
Sampai kapan kamu terus memakai topeng itu, Bi..