“Gimana kelas memasaknya?” sapaan Ambar menghentikan tangan Bianca yang ingin mengganti plaster di buku-buku jarinya. Dia tak memperdulikan ucapan Ambar terus saja melakukan aktivitasnya yang tertunda sebelum akhirnya mendesah melihat kedua tangannya.
Plaster yang awalnya hanya selang-seling di jemari lentiknya kini bertambah di seluruh bagian buku-buku jari. Tangannya bergerak ingin memasang plaster itu di jari kelingking sebelum akhirnya teriakan Ambar menghentikan aktivitasnya.
“Bi! Mama nanya sama kamu?!” decak Ambar kesal saat Bianca tak menanggapi perkataannya. “BIANCA!” teriak Ambar lagi membuat Bianca mempercepat menempelkan plaster luka itu di buku jari manisnya.
“Mama nggak liat akibat dari kursus memasak menyebalkan itu,” decak Bianca kesal memperlihatkan jemari kedua tangannya yang penuh dengan plaster.
“Itu kenapa?” tanya Ambar menatapnya seolah tak mengerti membuat Bianca gemas.
“Mama nggak tau apa pura-pura nggak tau, sih?” desis Bianca merengutkan bibirnya membuat Ambar tertawa.
“Kamu ketahuan nggak pernah megang pisau soalnya, makanya jadi seperti itu,” kekeh Ambar membuat wajah Bianca semakin kesal. “Kamu tu bisanya cuma megang pulpen sama kain-kain itu. Perempuan itu harus bisa masak, Gimana kalau—“
Bianca memutarkan mata mengetahui apa yang akan mamanya katakan. ‘ kamu punya suami dan kamu nggak bisa masak’ ucapnya menirukan perkataan mamanya.
“Aww, Sakit!” teriak Bianca saat Ambar memukul keras punggungnya begitu mengetahui Anak bungsunya ini tidak mengindahkan perkatannya.
“Ma, Bianca nggak bisa berhenti aja dari kursus itu? Pekerjaan Bianca lagi padat ba—“
“Nggak boleh!” putus Ambar sebelum Bianca menyelesaikan ucapannya. “Kamu nggak boleh berhenti kelas memasak sebelum bisa masa sesuatu yang bisa dimakan.”
“Tapi, Ma—“
“Nggak ada tapi-tapian. Kamu harus nyelesein kursus memasak itu atau mama beneran akan bakar butik kamu. Itu bukan sekedar ancaman kosong loh.”
“Ma!” pekik Bianca kesal. Tangannnya meremas rambut panjangnya frustasi mendengar ucapan kekanak-kanakan mamanya. Dia menghela napas dalam, sebelum mendelik saat melihat mamanya duduk di sampingnya.
“Mama ngapain di sini sih, sana ah. Ganggu Bianca aja.”
“Siapa yang mau ganggu kamu, mama cuma mau nonton.” Ambar mengambil remote yang ada di depan Bianca lalu mengganti saluran yang sedang anaknya tonton.
“Ma, Bianca lagi nonton Fashion Tv!”
“Apasih yang dilihat dari cowok sama cewek yang lenggak-lenggok kayak gitu.”
Bianca menggaruk tengguknya yang tak gatal. Tak tau lagi harus membalas mamanya seperti apa. Ambar selalu saja membuatnya melakukan hal yang tak ia suka dan menghancurkan kesenangannya, padahal dia hanya ingin bersantai setelah semua pekerjaan yang dilakukan setiap harinya.
“Nah, Ini yang mama tunggu!” pekik Ambar setelah mendapat channel yang ia sukai.
“Ma, ganti ah, sebel Bianca ngelihat itu orang,”ucap Bianca kesal saat melihat ke layar televisi sedang menampilkan pria yang menjadi cikal-bakal luka yang terjadi di jemarinya.
“Sebel gimana. Tuh lihat, Chefnya kelihatan ganteng banget di tv.”
Bianca memutar bola matanya kesal. Merasa jijik saat mengatakan bahwa Chef senga itu ganteng, yang ada Chef itu terlihat begitu menggelikan.
“Don’t judge a book by its cover, Ma.”
“Kenapa nggak, bukankah saat kita ingin membaca sebuah buku, Cover juga mempengaruhi minat kita,” ucap Ambar tak mau kalah membuat Bianca ingin mengacak rambut panjangnya saking kesalnya.
“Udah Bianca bilang kan. Dia itu nggak seperti yang mama pikirkan. Tampilannya selama jadi Chef dan pakaian kesehariannya benar-benar jauh berbeda. Ihh... Nggak banget pokoknya,” ucap Bianca menggelengkan kepalanya.
“Apapun itu. Kamu harus terus ikut kelas memasak Chef Fabian. Kamu nggak tau berapa sulitnya masuk ke kelas itu.”
Bianca terus memandang kesal sembari berusaha mengambil remote yang mamanya sembunyikan.
“Ma.. ganti.”
“Lihat tuh, udah mau dimulai,” ucap Ambar menjauhkan remote itu sembari menujuk ke arah Tv yang menampilkan Chef Fabian yang sedang memasak.
Bianca terdiam ikut memperhatikan layar. Matanya menatap tanpa kedip saat Chef itu sedang mempersiapkan bahan, memotong bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat Pasta. Pikirannya menerawang seolah mengingat sesuatu yang tak ingin dia ingat.
Tangannya bergetar, dadanya berdebar tak karuan, bahkan matanya terpejam saat melihat Chef itu melakukan atraksi di mana ada api yang keluar dari Pan-nya. Napasnya tiba-tiba tercekat.
“Ma, bisa buatin kopi buat aku sama Papa?” tanya Alfian mengejutkan Bianca. Napasnya yang awalnya tercekat mulai berangsur normal.
“Kamu kenapa, Bi?” tanya Alfian saat melihat adiknya itu berkeringat dingin. Bianca tersenyum lemah menatap abangnya lalu menggeleng pelan.
“Ma, kopi 2 ya,” pinta Alfian lagi yang dijawab anggukan Ambar tanpa mengalihkan matanya dari layar kaca.
“Kamu buatin kopi buat Papa sama Alfian,” ucap Ambar menepuk paha Bianca.
“What? Kok, aku?” tanya Bianca menatap Ambar tak percaya.
“Iya kamu. Siapa lagi? Udah sana bikinin. Mama mau ngelanjutin nonton Chef ganteng,” kata mamanya ganjen membuat Bianca kembali berdecak kesal.
Bianca berdiri di pantry sembari menatap toples kopi dan gula yang ada di depannya. Ia kembali mengingat bagaimana perasaannya tadi. Digenggam tangannya yang tadi bergetar.
Ternyata masa itu belum sepenuhnya dia lupakan.
*****
“Ini buatan kamu, Bi?” tanya Alex horor melihat dua buah cangkir yang dipenuhi cairan hitam yang tersaji di mejanya. Matanya menatap Alfian, lalu kembali takut-takut menatap apa yang baru saja dibuat oleh Bianca.
“Siapa lagi? Mama nggak mau diganggu karena lagi nonton acara masak Chef sialan itu,” decak Bianca kesal menatap kearah belakang dengan tatapan penuh kebencian pada mamanya itu.
“Ka-kamu nggak masukin garam di kopi itu, kan Bi?” tanya Alfian menatap ngeri kopi buatan adiknya itu.
“Mas kira aku nggak bisa ngebedain yang mana gula, yang mana garam apa?!” decaknya. Bianca kesal mendengar nada meremehkan yang dikeluarkan oleh Papa dan saudara tertuanya itu, seolah ia perempuan apa yang tidak bisa membedakan gula dan garam.
“Yah, kali aja, Bi. Mengingat selama ini kamu nggak pernah berhasil dengan urusan dapur,” ledek Alfian membuat emosi Bianca semakin meninggi.
“Minum aja, apa susahnya, sih?!” decak Bianca kesal menatap Papa dan Mas-nya yang tertawa.
Bianca mendelik kesal saat Papa dan Alfian menatap matanya ragu pada cairan hitam kental itu. Beberapa kali, mereka meneguk ludahnya takut setelah mereka meminum seteguk dari kopi hitam ini, efek sampingnya akan begitu banyak.
“Papa sudah persiapan buat klaim asuransi, nggak? Kali-kali aja setelah minum kopi ini, kita bakalan..”
“MAS!!” pekik Bianca membuat Alfian terkekeh lalu menyeruput minuman yang pertama kali dibuatkan oleh adik bungsunya itu.
“WOW!” pekik Alex dan Alfian bersamaan.
“ini bener-bener kopi buatan kamu, Bi?” tanya Alfian sumringah membuat Bianca mengangguk bangga.
“Papa nggak nyangka kamu bisa bikin kopi seenak ini. Punya mama aja kalah,” puji Alex membuat Bianca besar kepala.
“Sorry ya, untuk masalah dapur aku memang kalah. Tapi, untuk urusan kopi – mengopi, Aku jagonya,” ujar Bianca sombong membuat Alex dan Alfian mengangguk pelan.
“Duduk Bi, ada yang mau Papa bicarakan.”
Bianca menatap Papa-nya bingung sebelum kemudian duduk di samping Alfian.
“Kamu nggak ada rencana ngedesain pakaian pria?” tanya Alex menatap lekat putri bungsunya itu.
Bianca terdiam sejenak seolah teringat sesuatu sebelum akhirnya menggeleng. Matanya memandang papa dan Abangnya bergantian. “Emang kenapa, Pa?”
“Ada salah satu rekan bisnis Papa yang mau membuka perusahaan Apparel disini,” jawab Alfian membuat Bianca mengalihkan pandangan menatapnya.
“Terus?”
“Untuk sementara mereka mengkhususkan untuk membuat pakaian pria. Papa merekomendasikan kamu jadi designer utama mereka.”
Bianca kembali terdiam, matanya tak fokus seolah memikirkan sesuatu. Meneguk air liurnya, sebelum kemudian menatap papanya lekat. “Papa tau kan aku nggak ngebuat pakaian pria.”
“Kenapa? Bukannya dulu waktu kamu di Paris, kamu masih sering ngirimin Alfian, Alan bahkan suami Tari pakaian rancangan kamu.”
“Bi sekarang lagi fokus ke pakaian perempuan sama gaun pesta, Pah.”
“Dicoba dulu. Pangsa pasar mereka tidak main – main. Kamu juga tau sekarang perkembangan Pakaian pria sejajar dengan pakaian wanita. Ayolah itung – itung kamu bisa mengembangkan Brand yang sedang kamu bangun.”
Bianca menghela napas dalam mendengar ucapan papanya. Menatap dalam Alex yang terlihat menatapnya penuh permohonan.
“Bianca pikirkan dulu,” ucapnya meninggalkan Alfian dan Papanya. Ia perlu berpikir lebih untuk menerima atau menolak usulan papanya itu.
*****
Pikirannya masih berkecamuk. Tangannya tanpa sadar memainkan bracelet platina berhiaskan Menara Eiffel di tangan kirinya. Kebiasaannya tak pernah berubah, memainkan gelang itu isaat banyak pikiran yang membebani kepalanya.
Perasaan ragu itu masih menghantuinya. Sudah lebih dari 5 tahun terakhir ini, ia berhenti merancang pakaian pria dan hanya memfokuskan diri dengan pakaian wanita yang digelutinya. Ia sendiri lupa alasan mengapa akhirnya ia berhenti merancang pakaian pria dan tak pernah lagi mengirimi Kakak, Sepupu bahkan iparnya kemeja rancangannya. Padahal dulu, awal ia kembali ke Paris, Bianca rutin mengirimi pakaian untuk mereka.
Bianca memijat pangkal hidungnya meredakan rasa sakit yang mendera kepalanya. Pijatan tangannya terhenti. Pandangan fokus pada rak – rak kayu berisi buku – buku dan sketsa rancangannya selama ini. Perlahan, ia berjalan mendekati rak itu.
Jemarinya menjelajahi satu persatu buku – buku yang tersusun rapi berdasarkan bentuk dan warna, sebelum akhirnya terhenti saat melihat buku yang nampak begitu menonjol diantara yang lain. Punggung buku layaknya buku sketsa tebal dengan perpaduan warna pink dan hitam membuatnya tertarik.
Keningnya merenyit saat melihat sampul depan buku itu. Ada inisial huruf lain, selain namanya menghiasi cover buku ini membuat Bianca bertanya – tanya. Dibawanya buku itu ke meja kerjanya sembari kembali mengingat siapa pemilik nama dari inisial huruf tersebut. Tangannya menarik pelan rambut panjangnya berusaha mengingat apa yang telah ia lupakan.
Merasa bingung dan penasaran ia mulai membuka lembar buku itu. Tatapannya terhenti menatap lembar demi lembar buku sketsa itu. Dadanya berdebar lebih kencang saat melihat sketsa rancangan pakaian pria dewasa yang memenuhi buku itu. Rancangan yang meningkatkannya dengan siluet tubuh bidang seorang pria yang ia yakini bukan kakak, Sepupu bahkan iparnya sendiri.
“Masuk,” sahutnya saat mendengar ketukan pintu. Melirik Nadya yang mendatanginya dengan membawa map hitam yang ia yakini laporan penjualan bulanan butik Fa(bi)lous.
“Penjualan bulan ini meningkat lagi, Mbak. Dress simple berbahan brokat yang Mbak rancang lagi booming, malahan ada beberapa produk KW yang beredar di pasaran karena beberapa artis terkenal mengenakan Dress buatan Mbak.”
Bianca tersenyum simpul mengambil laporan yang disodorkan Nadya. Ia hanya bisa menggeleng. Indonesia, negara dimana produk-produk peniru akan cepat menjamur jika ada sesuatu yang sedang booming di pasaran.
Bianca tak bisa menyalahkan masyarakat Indonesia yang konsumtif, yang pasti ingin menggunakan apapun yang dikenakan artis idolanya, tanpa memandang barang yang dikenakannya asli ataupun palsu.
“Oh iya, mbak. Tadi pak Alfian menelpon menanyakan keputusan mbak.”
Bianca mendesah, abangnya itu selalu bergerak cepat jika berurusan dengan bisnis dan keluarga. Baru sajakemarin malam Papa dan Abangnya itu memberitahunya dan sekarang kurang dari 12 jam, Alfian sudah ingin mendengarkan keputusannya.
Pagi tadi ia memang sudah menerima email kontrak yang ditawarkan perusahaan Apparel itu. Disana tertulis Bianca akan menjadi Designer yang merancang pakaian pria exclusive mereka. Yang dikhususkan untuk pria metroseksual kalangan atas dan akan di pasarkan di kawasan asia tenggara dan beberapa negara Asia timur. Jika dirasa cukup berhasil ada kemungkinan produk mereka di ekspor ke beberapa negara di benua Amerika dan Eropa.
“Kenapa nggak diterima aja mbak? Rancangan pakaian pria mbak bagus banget loh itu.”
Bianca tersentak saat melihat Nadya sudah berada di sampingnya melirik buku sketsa berisi rancangan kemeja yang masih terbuka di meja kerja Bianca. Seolah tersadar, bosnya sedang menatapnya kesal, Nadya bergegas beralih dan menunduk.
“Maaf mbak, saya terlalu kepo,” ucapnya lemah.
Bianca hanya mendengus sembari menggeleng kecil melihat kelakuan aneh asistennya itu. “Menurut kamu, kita bisa membuatnya?”
“Tentu saja mba!” Pekik Nadya bersemangat menatap Bianca. “Dilihat dari rancangan mbak tadi, aku yakin mbak bakalan ngebuat Fa(bi)lous semakin terkenal. Jika saja mbak tau, beberapa kali saya harus menolak kedatangan cowok-cowok tampan, karena butik kita nggak menyediakan pakaian mereka.”
Bianca terpaku mendengar ucapan Nadya. Ada rasa ragu yang merasuki hatinya, seolah saat ia menerima tawaran itu. Ada masa lalu, yang ia coba untuk lupakan akan hadir kembali di kehidupannya.
“Mbak,” tegur Nadya membuat Bianca tersadar.
“Kalau sudah nggak ada dibicarakan lagi, saya permisi,” pamit Nadya dijawab anggukan Bianca.
“Ah, iya mbak, lupa..” Nadya kembali berbalik membuat Bianca merenyitkan keningnya.
“Tadi Bu Ambar telepon. Jangan lupa..”
“Saya tau. Kamu bisa keluar,” putus Bianca saat Nadya belum selesai ap asi. Ia tau kelanjutan ucapan Nadya. Bianca menutup matanya geram. Kapan mamanya sadar bahwa dari dulu dia tak pernah suka dengan yang