One
Fernando Dwi Antara penikmat sinar matahari garis keras. Satu alasan mampu membuat nando ingin menjadi matahari yaitu, ingin selalu bermanfaat bagi banyak orang. Matahari sangat penting bagi hampir seluruh individu di muka bumi ini. itu sebabnya nando sering kedapatan duduk di bawah pohon mangga di halaman depan rumahnya, memandang penuh kagum kepada matahari. padahal sudah jelas melakukan kegiatan seperti itu sangat tidak baik untuk kesehatan matanya.
Terkenal biasa saja dan memiliki tampang bad boy di lingkungan sekolah, siapa sangka jika seorang Fernando Dwi Antara berhati hello kity. Manja kepada mama, patuh kepada papa, disayang teh Oliv dan dijadikan b***k yang lalu disuruh ini dan itu oleh Kak Adri.
Nando adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, seringkali diledekin anak pungut oleh teh Oliv dan itu selalu berhasil membuat anak itu melotot tak terima. Kata teh oliv "Nan, kamu itu anak pungut. Buktinya teh oliv mirip mama, kak Adri mirip papa. lah kamu? Mirip siapa? Satpam komplek sebelah?" yang ajaibnya selalu membuat nando kesal bukan main padahal sudah jelas-jelas itu hanya candaan semata.
Faktanya memang nando tidak mirip sama sekali dengan papa dan mamanya, dan ia selalu mengeluh kepada mama begini "Ma, aku ini anak mama atau bukan?" anehnya pertanyaan itu selalu berakhir dengan adegan mama yang memeluk nando dan mengusap kepalanya.
Memiliki keluarga lengkap, mempunyai paras tampan nyaris membuat hidup nando sempurna tanpa cela. Kendati demikian nando selalu mengeluh bahwa otaknya tak secerdas bima, bisa dibilang nando itu lemot. Tak jarang nunu selalu menjitak anak itu jika Nando tidak mengerti apa maksud dari perkataannya. Nando juga merasa bahwa dirinya tidak memiliki keahlian apapun, jika bisa mengulang waktu, ia ingin kembali ke masa dimana ia berada di dalam kandungan lalu mempersiapkan masa depannya dengan sebaik dan sedetail mungkin.
Olivia Dwi lestari adalah anak pertama mama yang paling cantik karena ia adalah anak perempuan mama satu satunya. Anak perempuan pertama adalah anugerah tersendiri untuk teh oliv, pasalnya ia selalu bangga ketika dirinya menjadi contoh baik untuk kedua adik laki-lakinya dan ketika bahu tangguhnya tegak ketika sedang memperingati kesalahan nando dan kak andri itu adalah suatu penghargaan.
Memiliki paras cantik, kulit putih dan otak yang cerdas membuat teh oliv di kagumi banyak kaum adam tetapi semangat aa-aa komplek sebelah untuk mendekati teh oliv selalu dipatahkan karena teh oliv sudah punya pacar kak dekan namanya, tak kalah cerdas dan yang pasti tampan.
Teh oliv adalah mahasiswi semester akhir dengan jurusan hukum yang ia tempuh. Dengan motto hidup 'sekecil apapun,keadilan harus ditegakkan' membuat teh oliv menjadi kakak paling bijaksana dan adil untuk nando dan kak Adri, yang artinya jika ia membelikan nando sesuatu ia harus membelikan kak Adri sesuatu juga. Adil bukan.
Adrianda Dwi Laksana adalah anak kedua papa yang paling tengil dan sok ganteng se-kota Bandung meski faktanya memang kak adri ganteng—banget malah. Tapi bagi nando kak adri adalah orang paling sok ganteng seantero kota bandung. Kak adri nggak punya pacar alias jomblo, tapi jangan salah gebetannya banyak dimana-mana seperti cangkang kuaci.
Jangan lupakan nando yang sangat membenci sosok tengil kak Adri sampai-sampai nando akan melayangkan sandal jepit Mama ke wajah kak Adri ketika kakaknya itu mengganggu proses melamunnya. Pernah pada suatu hari nando sedang melamun memikirkan pohon mangga di depan rumah yang tumbuh subur dan kak Adri berkata "ngelamunin pohon mangga di depan, dapat uang lo?" itu sontak membuat nando melonjak kaget dan berakhir memikirkan mengapa kak Adri selalu tau isi pikirannya. saat setiap kali nando menanyakan apakah kakak laki-lakinya itu cenayang, dengan begitu saja kak adri tergelak. Nando selalu dibuat heran dangan hal satu itu.
Kak adri adalah mahasiswa semester tiga fakultas teknik otomotif, yang itu artinya ia akan selalu disibukan dengan alat-alat otomotifnya membuat kak adri berpegang teguh pada selogan "Yang rusak bisa diperbaiki, tapi tergantung kerusakannya kalau parah mungkin harus diganti".
Memiliki keluarga hidup tanpa masalah adalah hal paling nando syukuri. Walaupun terkadang papa suka sibuk dengan pekerjaannya, tapi nando selalu senang ketika mama datang ke kamar dan menanyakan apa masalah yang nando alami dengan begitu saja nando akan menceritakan semua keluh kesahnya kepada mama.
Pernah pada suatu waktu nando kedapatan melamun di depan meja belajarnya, mama yang datang ke kamar nando untuk memberikan segelas s**u selalu dibuat tidak habis pikir dengan anak itu yang duduk di depan meja belajar dan buku diatasnya tapi tatapannya kosong, waktu itu mama bertanya "Nando kenapa? Ada masalah di sekolah?" sedetik kemudian nando menceritakannya, bahwa dirinya menyukai wanita bernama windy dan takut untuk mengungkapkannya. Hal itu membuat mama terkekeh geli dan memberi penjelasan pada nando bahwa laki-laki memang harus menjadi pemberani untuk sekedar mengungkapkan perasaannya sendiri. tanpa pikir panjang keesokan harinya nando menyatakan cinta kepada sang pujaan hati, tapi naas cintanya ditolak mentah mentah sebab windy mengaku sudah terlanjur menyukai dare kakak tingkatnya di sekolah. Detik itu juga nando merasakan sakit yang kentara, hatinya terasa dicabik-cabik dimana cinta pertamanya tak berbalas. Alhasil membuat dirinya murung selama satu Minggu dan finalnya mama memeluk nando seharian karena ditolak, kak Adri jelas misuh-misuh karena Nando terkesan lebay Dimata kak Adri.
Ingatan kelam yang menguasai pikirannya berhasil membuat nando tersenyum tipis, kejadian tiga tahun lalu selalu membuat nando meruntuki dirinya sendiri, mengapa dulu sampai separah itu padahal posisinya nando masih kelas tiga SMP dan lebih parahnya orang rumah tahu soal itu.
"WOI!"
"LO b***k YA?!"
Teriakan itu mampu membuat Nando menoleh cepat ke sumber suara. Detik berikutnya matanya membulat, wajahnya memerah, rahangnya mengeras, dadanya naik turun mengontrol emosi yang kian membeludak. Bukan karena teriakan itu melainkan karena nando melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa teman baiknya sedang dihajar habis-habisan oleh Guntur—ketua geng sekolah sebelah yang Nando tahu mereka terkenal dengan keganasannya.
Tanpa pikir panjang nando berlari menghampiri gerombolan remaja berseragam putih abu dengan seorang laki-laki yang meringkuk tak berdaya.
Sialan.
Nando bahkan melihat hidung Nunu mengeluarkan banyak darah yang membuat seragam putihnya berubah warna dalam satu waktu. Nando Merangkul bahu nunu yang berlumur darah dan membawanya untuk pergi dari tempat itu sesegera mungkin, namun gagal tangan guntur berhasil membuat nando melepaskan rangkulannya.
Bughh
Satu pukulan keras berhasil mendarat sempurna di perut nando membuatnya meringis dalam diam, jujur rasanya ngilu dan nando seperti ingin mengeluarkan semua yang ada di dalam perutnya namun mampu ia tahan.
"Gak usah ikut campur! Ini urusan gue sama dia" kata guntur memberikan sorot mata nyalang tanda memperingati.
Bukanya takut nando malah tersenyum miring "Orang g****k mana yang diem aja ngeliat temennya dihajar orang? Lagian, jagoan mana yang mainnya keroyokan?" Ucapnya terkekeh.
Tersulut emosi sang lawan bicara sudah ancang-ancang untuk memukul wajah Nando, tapi nando berhasil berkilah membuat guntur semakin murka.
"NAH INI PAK YANG NGEROYOKIN TEMEN SAYA"
Teriakan itu membuat semua orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Sedetik setelahnya semua pergi secepat kilat meninggalkan Nando dan Nunu di tempatnya. Ternyata Dewa dan warga setempat yang datang menyelamatkan mereka berdua.
"Nu, ayo ke rumah sakit" Ujar Nando yang di beri anggukan oleh Dewa. Dengan nafas tersengal nunu dirangkul oleh nando dan bima lantas dilarikan ke rumah sakit.
**
"Nan"
"Hm"
"Lo, kok bisa ada di sana sih?"
Nando menoleh cepat memandang bima dengan tatapan 'maksudnya?'
Bima memicingkan mata jengah dengan otak nando yang lemot minta ampun "Ck. Maksud gue kenapa lo bisa ada di tempat itu waktu Nunu di hajar orang?"
"Oh itu. Tadi pas bel pulang sekolah gue lapar terus makan mie ayam di warung bu rik-"
"Gue gak nanya lo makan mie ayam di warung bu rika nan, gue nanya kenapa lo bisa ada di sana"
"ya, kan gue jelasin dari awal kenapa gue bisa ada di sana. Lagian ngegas mulu Lo De jadi orang! Udah bagus gue mau ngejelasin. Lo tuh ya De jadi orang jangan gampang marah deh, Cepet tua nanti!" sungut nando menggebu-gebu. Dia yang lemot dia yang sewot.
Helaan nafas panjang bima nyaring terdengar di sepanjang koridor rumah sakit. Ya. Kini mereka sedang berada di rumah sakit usai membawa nunu untuk ditangani dokter dan mendengarkan penjelasan dokter bahwa nunu hanya mengalami luka yang tidak terlalu serius, namun mampu membuatnya harus dirawat inap di rumah sakit selama tiga hari. Dan selama itu pula Nando dan Dewa harus menjaga Nunu secara bergilir, pasalnya Nunu hidup hanya dengan pamannya dan setelah dihubungi pun pamannya tak kunjung datang.
Sesaat nando bangkit dari duduknya membuat bima mengernyitkan dahi.
"mau kemana?"
"Ke dalam, disini dingin kayak sikap lu ke thamia" lalu nando melengos pergi kedalam ruangan tempat nunu dirawat.
Begitu memasuki ruangan, aroma obat begitu menyeruak ke bagian dalam hidungnya. Sejujurnya Nando sama sekali tidak nyaman berada di lingkungan rumah sakit, tapi demi Nunu ia rela menepis rasa tidak nyamannya itu untuk sekedar menemani Nunu yang terkapar di ranjang rumah sakit.
Nando berdiri di samping kiri nunu. Memperhatikan teman nya dengan tatapan iba. Seperti didekap dadanya terasa sesak melihat Nunu yang tidak berdaya karena ulah segerombolan tidak dikenal. Sesaat setelahnya Nunu membuka matanya melihat nando dan Dewa bergantian berada di sampingnya.
Hatinya menghangat melihat kesetiakawanan Nando dan Dewa yang bersedia membawanya ketempat ini dan menungguinya disini. "Jam berapa?"
Nando dan bima menoleh cepat ke arah sumber suara namun ekspresi keduanya bahkan berlawanan, nando menanggapi pertanyaan nunu dengan menautkan kedua alisnya. Berbeda dengan bima yang menjawab pertanyaan nunu dengan gampang
"Jam sepuluh malam. Ngapain sih nanya jam?"
"lu berdua gak balik?"
"Orang t***l mana yang mau ninggalin temennya sendirian di rumah sakit? Kita berdua bakal disini nemenin lo" Sambar Nando sedikit ngegas tanpa diketahui sukses membuat Nunu tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. Dimana nunu mencari teman seperti nando dan Dewa? Sepertinya tidak ada kalaupun ada pasti tidak sama.
"Terus biaya rumah sakit? Siapa yang bayar?" sesaat Nunu menatap langit-langit ruangan bernuansa putih itu lalu memandang kedua temanya lekat.
"Biaya rumah sakit gue sama Nando yang bayar. Lo gak usah khawatir, fokus sama kesembuhan diri lo sendiri" Kalimat yang keluar dari laki-laki tukang ngegas ini berhasil membuat Nando mengangguk.
Untuk kesekian kalinya, Nunu bersyukur memiliki sahabat sebaik Nando dan Dewa.
Pagi-pagi kota bandung sangat cerah, matahari sudah terlihat jelas sejak jam setengah tujuh pagi, teriknya matahari menjadi awal dari kehidupan manusia-manusia bumi, sampai setelah jam dua belas mereka tak lagi menemukan mata hari, teriknya digantikan oleh hitam pekat awan mendung hingga rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.
Hidup terus berjalan begitupun hidup Nando. Dirinya sering mengeluh karena tidak pernah bisa mengimbangi kecerdasan Dewantara, ia ingin menjadi seperti Dewa yang pintar dan selalu menjadi dambaan banyak orang, tidak seperti dirinya yang sering dijuluki modal tampang saja. Nando memang tak sebaik dan se-rajin Dewa bukan sekali dua kali dirinya bolos, tapi tingkat kenakalannya masih berada di batas normal tidak seperti Nunu yang sering ikut-ikutan geng yang terkenal tukang buat onar.
Kali ini Nando sedang duduk di ruang OSIS, dirinya memang bukan anggota OSIS. Tapi keberadaan nando di tempat ini jelas semata-mata hanya ingin menemani dewa yang tengah disibukkan dengan proposal pensi yang akan di selenggarakan satu bulan mendatang. Dewa memanglah ketua OSIS yang kini sudah habis masa jabatannya dan sampai saat ini dirinya masih aktif mengontrol kinerja organisasi yang ia pimpin sejak dulu, padahal tak sedikit teman satu angkatannya yang sudah tidak memikirkan organisasi melainkan fokus untuk mempersiapkan masa depan.
Nando memandang Dewa malas, dirinya menyangga kepala dengan tangan yang berada di atas meja. Memperhatikan pergerakan Dewa yang dengan serius membaca lembar demi lembar proposal nya. Melihatnya saja nando sudah lelah, apalagi berada di posisi Dewa yang setiap harinya harus sibuk dengan hal hal semacam ini.
"Hai, kak Dewa"
kepala keduanya mendongak sekedar memastikan siapa perempuan yang baru saja masuk kedalam ruangan persegi dengan panjang lima meter dan lebar yang sama, menyapa Dewa dengan ramah.
"hm, kenapa?"
"Aku bawain kak Dewa ini, kebetulan tadi aku beli di kedai depan sekolah" Ujar Thamia seraya menyerahkan satu kantung plastik putih berisi burger dan kentang goreng.
"Gak usah repot-repot beliin saya ginian"
"gapapa kok, kak. Kebetulan tadi ada promo beli satu gratis satu, jadi yang satu nya lagi buat kak Dewa aja. Aku duluan ya kak. Permisi" Thamia melontarkan senyuman terbaiknya lalu melenggang pergi dari tempat dimana Dewa dan Nando berada.
Menyisakan kedua manusia ganteng yang terdiam sesaat. Dewa sadar akan beberapa hal mengenai nando yang diam-diam menyukai Thamia, namun nando enggan mengakui kebenaran tersebut. Dewa juga sadar tatapan nando kepada Thamia memang berbeda, ada sorot kagum setiap kali nando menatapnya, dengan begitu saja sudah bisa disimpulkan bahwa nando menyukai Thamia.
"Jangan jutek-jutek gitu lah sama cewek"
Dewa menoleh ke arah nando menemukan wajah datar milik nando dan memandangnya dengan lekat, lantas membuka suara"Kalau suka tuh kejar, Nan!"
"Apa?"
"Bukan setahun dua tahun nan, gue kanal sama lo. Kita udah temenan dari TK, lo pikir gue gak tahu lo suka sama dia-" Dewa memberikan jeda pada kalimatnya "Nan, hidup itu butuh perjuangan, lo suka sama dia? ya kejar!"
"Lo tau gak, apa yang gue suka di sekolah ini?"
"Apa?"
"Mie ayam bu rik-"
"Nan"
"KEBIASAAN DEH KALO GUE NGOMONG MIE AYAM BU RIKA SELALU DI POTONG! ADA DENDAM APA LO SAMA BU RIKA HAH?!"
"Lo pikir dengan mengalihkan pembicaraan bakalan bikin Thamia sadar? Nggak nan!"
Tidak ada jawaban.
Yang terdengar hanya helaan nafas panjang Nando yang terdengar jelas di telinga Dewa. Nando sedang tidak ingin membicarakan percintaan untuk saat ini, ia hanya ingin hidup tenang dan dengan masa depan cerah yang pasti tanpa bumbu-bumbu cinta.
Tapi sepertinya Nando salah besar, dengan tidak mengutarakan perasaanya kepada siapapun hanya membuat dadanya di dera sesak setiap kali ia melihat Thamia memberi perhatian kepada Dewa, sahabatnya sendri. Jujur Nando cemburu, tapi pantaskah ia untuk cemburu? Jelas tidak, Thamia bahkan hanya mengetahui keberadaan nando sekilas, anak itu tidak pernah memberikan kode pada Thamia. Nando akan diam setiap kali berada di dekat Thamia dan itu sudah jelas hanya akan menyiksa perasaan Nando.
**
Melamun adalah kebiasaan nando setiap kali di dera masalah, ia akan membiarkan pikirannya kosong begitu saja. Seperti saat ini, nando tengah duduk di sofa depan televisi. Pandanganya terlihat gamang tak peduli dengan tv yang masih menyala.
Nando di terpa galau berat, bukan hanya karena omongan dewa tadi siang tapi juga soal masa depan. Sebentar lagi ia akan lulus SMA dan itu artinya anak itu harus segera menata masa depan. Masalahnya, nando bahkan tidak tahu mau menggeluti bidang apa dan mulai dari mana. Seperti yang dulu Nando bilang, dirinya tidak punya keahlian apapun, passion-nya pun ia tak tahu.
Kegalauan ini terjadi beberapa bulan yang lalu saat setelah Dewa menanyakan habis lulus sekolah ia akan kuliah dimana dan mengambil jurusan apa, dengan polos Nando menggeleng nggak tahu harus menjawab apa, nando sendiri bingung dan bahkan belum kepikiran sampai kesitu. Waktu itu dewa bilang "Kalau gatau mau ngambil jurusan apa pas kuliah nanti, coba lo eksplorasi lagi diri lo itu sukanya apa dan kegiatan apa yang bikin lo bahagia. Jangan kayak gue yang salah langkah".
Ada banyak pertanyaan dari dalam kepala Nando, tapi tak satupun ia dapatkan jawabannya. Bukan karena ia kurang puas dengan jawab tersebut tapi karena Nando tidak menanyakan pertanyaan itu kepada siapapun. Lagi-lagi Nando memendamnya sendirian.
Lamunannya buyar ketika mendengar suara pintu utama dibuka dan tak lama menampakkan sosok kak Adri dengan penampilan seperti nggak mandi satu bulan, celana khas anak gunung berwarna kream dengan kaos senada tak lupa sepatu sport yang kotor dan ransel besar di belakangnya menyimpulkan bahwa kak Adri baru pulang dari puncak.
Kak Adri memang anak gunung, ia akan mengeksplorasi setiap jengkal jalan setapak menuju puncak dan hampir semua gunung di kota bandung sudah ia sambangi. Berbeda dengan Nando yang malas dengan gunung, bahkan beberapa kali kak Adri membujuk Nando ikut muncak tapi anak itu tidak segan-segan untuk menolak.
"Halo Adeknye kak Adri yang gantengnya masih dibawah kak adri" Sapaan yang terdengar panas di telinga Nando, tak lupa muka tengil kakaknya yang menyebalkan nampak nyengir namun jauh di dalamnya tatapannya ada garis lelah yang tak bisa kak Adri tutup-tutupi.
Nando memicingkan mata sedetik setelah kak Adri duduk di samping Nando, merangkul pundak laki-laki itu dan mengambil satu s**u kotak uht rasa coklat yang dari tadi berada di tangan nando. Kakaknya memang tak berubah, masih Adrianda Dwi Laksana yang menyebalkan padahal nando berharap di puncak gunung sana kakaknya kesurupan lalu berubah menjadi lebih tenang, tapi kak Adri adalah kak Adri sifat dan kelakuannya tidak dapat ditandingi. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, nando sangat menyayangi kakak laki-lakinya itu.
"Jauh-jauh dari gue! Badan lo bau, pasti gak mandi lima hari kan lo?!" Sungut Nando berusaha melepas rangkulan kakaknya, bukanya menjauh kak Adri malah mengeratkan rangkulannya membuat Nando tak tahan di buatnya"KAK ADRI! BADAN LO BAU!" Katanya dengan nada tinggi, Nando kesal bukan main.
"TAPI GUE GANTENG" kak Adri berteriak tepat di depan telinga Nando, membuat Nando semakin geram dan tanpa pikir panjang menggigit tangan adri dengan sekuat tenaga, membuat adri terpekik kesakitan"FERNANDO!!! TANGAN GUEEE!!!"
Setelah merasa pelukan kak adri tak se-erat tadi Nando mendorong pundak kakaknya dengan keras membuat sang empunya terjungkal ke samping, cepat-cepat nando berlari ke arah kamar dan mengunci pintu kamar rapat-rapat.
Menyisakan kak Adri yang meringkuk dengan raut muka kesakitan. Menyediakan.
**
"Kamu lulus sekolah kapan, Dewantara?" suara seorang wanita paruh baya berumur sekitar empat puluh tahun namun wajahnya tampak lebih muda dari wanita seusianya dan yang pasti sangat berwibawa, membawa secangkir teh panas di genggamannya.
Dewa menghela nafas panjang menatap kanfas yang berada di depan wajahnya menatapnya dengan pandangan muram menyiratkan rasa lelah di dalam hati terdalamnya. Kemudian melontarkan jawaban singkat "Empat bulan lagi".
"Mama sudah mendaftarkan kamu di kampus terbaik di sidney, dengan fakultas kedokteran. Kamu harus jadi lulusan terbaik di sana dan menjadi dokter. kurangi kegiatan melukis nggak jelas seperti ini! Ingat Dewa, harta dan tenaga mama sudah mamah pertaruhkan untuk kamu, jadi jangan kecewakan mama!" Perempuan itu meninggalkan Dewa tanpa membiarkan anak semata wayangnya kesempatan menjawab apapun.
Lagi-lagi Dewa menghela nafas, namun kali ini berbeda dengan biasanya. Deru nafasnya sudah tidak tenang, Dewa mencengkram kuas yang berada di tangannya. Dadanya sesak seperti diterkam banyak tekanan, hatinya perih di hujami banyak tuntutan yang tajam menusuk relung hatinya. Seperti yang sudah-sudah, Dewa tidak bisa berkutik ia hanya akan diam tanpa suara ketika mamanya dengan semena-mena menentukan masa depannya yang sama sekali tak dewa minati.
Namum malam ini Dewa tidak bisa menahannya lagi, ia menangis sesaat setelah mamanya menutup pintu ruang tempat dewa berekspresi. Dewa berdiri menyadarkan bahu rapuhnya yang ia paksa tegar di tembok putih yang dingin. Air matanya jatuh terurai bahunya bergetar hebat. Dewa memegang dadanya dengan sakit yang teramat dan ruangan kedap suara seolah mendukungnya untuk menangis lebih keras. Semakin ia tahan air mata itu semakin deras mengalir, tubuhnya turun perlahan ia terduduk dan menangis lebih kencang. Dewa meraung rasanya seperti menumpahkan beban dan tuntutan dari mama yang sudah meluap. Disini di ruang tempat ia melukis, dewa menangis sejadinya, tak perduli jika sewaktu-waktu lukisannya hidup dan menertawainya. Di bawah lampu remang ruangan itu, dengan lukisan hasil tangannya, dengan kanfas yang masih putih, dengan kuas, dengan cat air yang menjadi saksi bisu betapa rapuhnya seorang Dewantara Dirga.
Semua tumpah ruah di dalam ruangan persegi tersebut. Emosinya, beban pikirannya, kesedihannya, semua melebur menjadi isak tangis pilu tak tertahankan. Seolah langit mendukung kesedihan dewa. Gelegar petir di tengah malam menjadi pembuka turunnya hujan dan kini hujan turun dengan sangat deras seolah tidak ada suara yang bisa menandingi derasnya hujan.
Disaat-saat seperti ini Dewa selalu menginginkan keberadaan papa di dekatnya.