CHANGE ME - 9

1128 Kata
Sebuah ingatan masa lalu kembali berputar di kepala Maura. Wanita itu sudah lama tak mengingatnya. Namun pertemuannya dengan Raga belakangan ini membuat ingatan itu seolah kembali lagi.   Bagaimana manisnya Raga waktu mereka masih bersekolah dulu. Raga yang rela bangun lebih pagi dan berangkat lebih jauh karena harus menjemput seorang Maura yang rumahnya cukup jauh dari sekolah dengan sepeda kesayangannya.   Bagaimana perhatiannya Raga saat Maura sakit di sekolah. Merelakan uang jajannya yang tidak seberapa untuk membelikan Maura obat dan sepotong roti isi cokelat kesukaan Maura.   Bagaimana waktu mereka pulang sekolah bersama. Saat Raga menepikan sepedanya di ruko karena kala itu hujan turun dengan derasnya. Di lepasnya jaket yang biasa ia kenakan dan dipasangkannya jaket itu ke tubuh mungil Maura.   Bertemu lagi dengan Raga, apa lagi dengan pria itu yang mengaku mengingat malam pertama mereka dan mengakui Arinda sebagai anaknya, sejujurnya membuat hati Maura menghangat.   Sekedar mengetahui jika dirinya melintasi isi kepala Raga saja sudah membuat Maura senang.   Maura masih mencintai Raga. Sungguh masih mencintai Raga. Seperti apa pun Raga menyakitinya, wanita itu masih memendam cinta yang luar biasa untuk Raga. Ditambah lagi kehadiran Arinda yang membuat cintanya untuk Raga tak pernah berkurang sedikit pun.   Maura hanya takut jika Raga akan mengulangi perbuatannya. Meninggalkan Maura dan mencampakanya. Ketakutan itu membuat dirinya mati matian membangun benteng pertahanan agar tidak mudah di luruhkan lagi oleh Raga.   Di hatinya yang terdalam, Raga masih menempati tahtanya meskipun pria itu sudah lama melengserkan dirinya sendiri.   Cinta memang bodoh.   Cinta membuat buta.   Cinta membuat rasa sakit bisa hilang seketika hanya dengan melihat wajahnya.   Raga membuatnya bodoh. Raga membutakan mata Maura yang sudah tertutup jutaan cintanya hanya untuk pria itu.   Maura berpikir, haruskan ia memberi Raga kesempatan? Bukan kah itu sama saja dengan menyerahkan diri pada Raga? Akan kah pria itu kembali menghancurkannya?   Jutaan pertanyaan masih terpatri di kepala Maura hingga wanita itu melewatkan jam makan siangnya. Sebuah getaran di ponselnya mengejutkan wanita yang sedang melanglang buana di dunia khayalannya.   ***   Suara langkah kaki yang mengalun kasar dan cepat memenuhi koridor sekolah Arinda. Tiga puluh menit yang lalu Maura di hubungi oleh wali kelas Arinda. Ia harus sampai lebih lambat karena kondisi jalanan yang cukup padat.   Terlalu lama mengkhayal membuat Maura lupa menjemput putri kecilnya itu. Sekarang sudah pukul dua siang. Putrinya sudah menunggu sekitar dua jam. Maura sangat khawatir. Membayangkan Arinda duduk sendirian menunggunya sungguh membuat hatinya resah.   Sesampainya di kelas Arinda, yang Maura dapatkan hanya kelas kosong yang tak berpenghuni. Kepanikan menguasai dirinya. Maura berhambur keluar kelas Arinda. Wanita itu menuju ruang guru yang tak jauh dari kelas Arinda.   Seorang wanita paruh baya yang cukup ia kenal keluar dari ruangan tepat saat Maura ingin mengetuk pintu. Wanita itu kaget melihat raut wajah khawatir Maura yang sangat kentara.   "Bu Maura? Ada apa? Bukannya Arinda sudah dijemput?" Guru itu nampak heran.   "Dijemput? Dengan siapa, Bu?" Maura bertanya dengan paniknya.   "Dengan ayahnya. Tadi saya hubungin ibu tapi gak di angkat, akhirnya saya hubungin ayahnya. Tapi gak di angkat juga. Terus pas saya udah kabarin ibu, ayahnya Arin telepon balik ke saya. Terus gak lama dateng dan langsung jemput" Bu Derren berusaha menenangkan Maura yang panik.   Maura bernapas lega lalu ia berpamitan pada Bu Derren. Ia harus pergi menjemput Arinda sekarang.   ***   "Bapak sedang ada rapat, Bu Maura. Ibu bisa tunggu Bapak di dalam. Lima belas menit lagi rapatnya selesai, Bu. Saya akan sampaikan pada Bapak bahwa Ibu menunggunya" jawab sekertaris Mario.   "Arinda ada di dalam?" Tanya Maura lagi.   "Nona Arinda?" Sekertaris Mario menatap Maura dengan bingung.   "Iya, Arinda di dalam kan? Saya mau jemput Arinda. Dia pasti belum makan siang. Saya tadi telat jemput" Maura berusaha menjelaskan.   "Tapi Nona Arinda tidak ada didalam, Bu"   "Lho? Mario tadi jemput Arinda, kan?"   "Bapak rapat dari jam sebelas siang, Bu. Hari ini full jadwalnya Bapak di kantor semua. Bapak belum keluar kantor sejak pagi" jelas sekertaris Mario.   Panik kembali menguasai Maura. Ia bingung bukan kepalang sebab pihak sekolah mengatakan jika Arinda telah dijemput ayahnya. Tapi Maura tidak menemukan putri kecilnya itu di kantor Mario.   Maura tambah panik saat ponselnya berbunyi dan menampilkan sebuah notifikasi berita online tentang maraknya penculikan anak. Maura melemas hingga jatuh terduduk dihadapan sekertaris Mario yang menatapnya bingung.   ***   "Papa, apa Arin boleh minta es krim lagi?" Tanya Arinda pada Raga yang kini sedang memeriksa sebuah berkas.   "Kamu udah makan es krim dua mangkuk, Arin. Nanti kamu sakit. Nih minum air hangat yang banyak" ucap Raga sambil bangkit dari kursinya dan mengambil air hangat pada dispenser yang tersedia di ruangan pria itu.   Arinda mengambilnya dan langsung meneguk air hangat itu.   "Kamu mau makan apa?" Tanya Raga sambil mengelus rambut Arinda.   "Ih, Papa. Arin udah kenyang tau. Tadi Papa beliin Arin makan siang banyaaak bangeeet" ucap Arinda menolak karena Raga sudah memberikannya banyak makanan.   "Kamu mau pulang sekarang? Tadi kamu gak mau langsung pulang, Papa bingung. Ternyata kamu lapar. Makanya Papa ajak ke kantor aja. Soalnya papa gak punya banyak waktu tadi"   "Emangnya kenapa Papa gak punya banyak waktu?" Gadis kecil itu mengerutkan alisnya.   Raga mengusap kening gadis kecilnya itu dengan kedua tangannya.   "Kamu gak boleh sering mengerutkan alis. Nanti jidat kamu kaya nenek nenek lho" ucap Raga.   "Iihhh, Papa belum jawab Arin" kini gadis kecil itu malah menggembungkan pipinya.   Raga terkekeh dan menjawab pertanyaan putrinya itu.   "Tadi Papa lagi rapat. Terus guru kamu nelpon Papa. Tapi Papa gak denger. Terus pas Papa liat hp, ada telepon masuk. Yaudah Papa telepon balik aja. Abis Papa keinget Arin sih" jelas Raga sambil mencubit kedua pipi Arinda.   "Besok pagi Papa jemput dan anterin Arin ke sekolah lagi kan?" Tanya Arinda.   "Kayanya..."   "Papa gak bisa ya? Pasti tadi Mama marahin Papa ya di jalan?" Tebak Arinda.   Raga diam tidak tau harus menjawab apa. Dia pandai berbohong tapi entah mengapa ia tak bisa membohongi Arinda.   "Papa gak jawab. Berarti Arin bener, kan?"   "Bukan begitu, Arin"   "Arin gak mau pulang pokoknya!" Gadis kecil itu mulai menangis.   "Arin jangan nangis dong. Papa gak bisa janji" Raga menggendong putrinya dan berusaha menenangkan Arinda yang semakin terisak.   "Arin gak punya Papa. Temen temen Arin suka nanya dan ngeledekin Arin. Sekarang Arin udah punya Papa. Tapi Papa gak mau anterin Arin" Arinda terus menangis.   Seandainya bisa semudah itu. Raga membatin.   "Arin sekarang pulang dulu ya. Nanti Papa yang ngomong sama Mama kalau besok Arin Papa yang antar" Raga berusaha membujuk putrinya itu.   "Arin gak mau pulang. Kalau Arin pulang, Arin gak bisa ketemu Papa lagi nanti"   "Kita pulang, ya? Biar Papa yang bujuk Mama"   "Papa janji, kan?"   "Papa janji akan bujuk Mama. Tapi Papa gak janji kalau Mama pasti setuju"   "Kalau gitu, Arin mau disini sampai Papa selesai kerja. Arin mau deket deket sama Papa"   "Oke" Raga memeluk gadis kecilnya lalu memberikan kecupan bertubi tubi di wajah Arinda.   Seorang perempuan dengan pakaian seksi masuk ke ruangan Raga. Ia menatap tidak suka dengan pemandangan yang tersuguh di depannya.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN