Raga membuka pintu ruangan Daniel dengan sangat kasar. Ia bahkan terkesan mendobrak pintu ruang kepala rumah sakit itu.
"Sudah pasti itu Diraga Andreas!" Daniel berdecak sengit. Pasalnya Raga selalu mengagetkannya ditiap kali kunjungannya.
"Gue bingung, Dan"
"Lo dateng gak pake permisi terus sekarang bilang bingung. Gue yang harusnya bingung" Daniel melotot.
"Maura gak mau ngakuin gue sebagai ayahnya Arinda" jelas Raga tanpa memperdulikan Daniel yang masih kesal.
"Kalau gue jadi dia pun, gue gak bakalan mau liat muka lo lagi. Jadi lo harusnya bersyukur kalau dia masih mau nerima kehadiran lo" Daniel akhirnya menanggapi.
"Apa gue sehina itu?" Raga menatap kosong.
"Lo lebih hina dari itu, Ga. Lo main cewek. Lo ninggalin Maura saat dia hamil. Jangan bilang lo gak tau. Karena kalau lo ngerasa udah ngelakuin itu, lo gak bakalan seenaknya buang anak orang" Daniel menatap Raga nyalang.
"Lo berbicara seakan akan lo itu Maura" Raga kini menatap Daniel.
"Lo seharusnya ngerti, Ga. Gue aja yang bukan siapa siapanya Maura bisa ngerasain kesedihan yang dia rasain. Masa lo yang tinggal satu atap sama dia gak ngerasain apa apa"
"Gue punya alasan"
"Stop bilang hal kaya gitu. Lo selalu ngomong itu tiap kita bahas Maura. Heran gue. Alasan apa coba nyakitin istri kayak begitu"
Raga tampak menimbang nimbang. Haruskah ia memberitahu Daniel alasannya atau lebih baik dia diam saja.
"Sebenernya gu-"
"Ah iya, Sayang? Ada apa? Kamu udah di bawah? Aku kesana ya"
Ucapan Raga terputus saat Daniel mengangkat telponnya.
"Istri gue dateng. Mending cepetan deh lo pergi. Lo tau kan istri gue males banget liat muka lo" Daniel memperingati.
Ivanna, istri Daniel. Wanita itu benar benar tidak suka dengan kehadiran Raga di sekitarnya. Bahkan melihat wajah Raga saja sudah membuat emosinya meningkat.
Ivanna mengetahui apa saja yang sudan Raga lakukan terhadap Maura. Sebagai seorang wanita, ia benar benar membenci sikap Raga. Terlebih lagi dia sudah berada di masa masa sulit Maura itu. Sebagai saksi nyata akan kejinya seorang Diraga Andreas.
Tujuh tahun yang lalu.
Ivanna dan Daniel menyambangi rumah Raga dan Maura pada minggu pagi. Pagi pagi buta mereka datang. Mereka berniat untuk mengajak Raga dan Maura untuk piknik di danau buatan milik Raga yang terletak di belakang rumah mewahnya.
Ivanna dan Daniel sengaja untuk datang pagi pagi sekali karena mereka tau jika Raga akan selalu menolak ajakan mereka untuk berkumpul bersama.
Bukan rahasia lagi diantara mereka jika hubungan rumah tangga Raga dan Maura tidak harmonis. Bahkan Raga kerap kali menolak apa yang Maura berikan tanpa tudung aling.
Sejujurnya saat itu Ivanna sudah tidak menyukai Raga. Namun apalah dayanya jika Raga adalah sahabat suaminya. Terlebih lagi dia tidak tega setiap kali bertemu dengan Maura, wanita itu selalu memberikan senyum yang sangat tampak dipaksakan.
Sebagai seorang wanita, Ivanna sangat tau apa yang Maura rasakan. Itu yang membuatnya rela menemani Daniel untuk membangun suasana rumah tangga yang baik bagi sahabat baiknya itu.
Namun bukannya suasana baik, mereka malah menemukan Maura yang sedang menangis tersedu sedu tak jauh dari rumah Raga. Terlebih lagi jam di mobil mereka menunjukan masih pukul setengah lima pagi.
Saat itu Ivanna marah dan kecewa pada Raga. Bagaimana bisa ia menelantarkan istrinya. Melihat pemandangan wanita menangis tersedu sedu sambil menyeret koper besar di kedua tangannya benar benar menghabiskan kesabaran Ivanna.
Sejak saat itu, Ivanna membenci Raga. Jangankan untuk melihat wajah Raga. Sekedar mendengar Daniel menyebut nama pria itupun emosi Ivanna seolah olah memuncak. Memang bukan hal baik. Terlebih lagi Ivanna tak ada hubungan apa apa dengan mereka. Namun sebagai seorang wanita, Ivanna merasa pantas untuk membenci Raga.
Raga bangkit dari duduknya dan meninggalkan Daniel begitu saja. Ia sejujurnya merasa tak menemukan solusi akan keresahan hatinya. Raga pun memikirkan rencana lain untuk membawa Maura dan Arinda kedalam pelukannya. Meski dengan cara yang sadis sekalipun.
Ponsel di saku Raga berbunyi. Menampilkan panggilan dari orang yang sedang tak ingin ia dengar suaranya untuk saat ini. Namun Raga enggan untuk menolak panggilan tersebut.
"Ya, Bu? Ada apa?"
"Kamu sehat, Ga?" Sapa Riani, ibu Raga.
"Baik. Ibu apa kabar?"
"Ibu sakit, Ga. Ibu pengen kamu cepet nikah lagi. Umur kamu udah semakin matang Diraga Andreas. Kamu seharus-"
"Bu, Raga minta tolong. Kali ini aja, bu. Jangan bahas ini ya. Raga udah capek, ibu suruh Raga untuk nikah lagi" gerutu Raga yang mulai kesal.
"Kamu itu siapa suruh cerai. Sekarang seharusnya kamu udah punya anak. Ibu udah punya cucu" cerca Riani.
"Bukan begitu, bu"
"Terus gimana, Ga? Kamu masih suka main main sama perempuan, ya?" Terdengar suara getir Riani.
"Engga kok bu. Raga udah berubah" Raga berusaha untuk tidak membuat ibunya sedih.
"Yaudah kalau begitu. Ibu berusaha percaya sama Raga. Tolong jangan kecewain ibu untuk kedua kalinya. Ibu tutup ya telponnya. Jaga kesehatan kamu" nada telepon terputus langsung hinggap di telinga Raga.
Perceraiannya dengan Maura ternyata berefek sangat besar untuk kedua orang tuanya. Apa lagi Herdito, ayah Raga. Ia secara terang terangan menunjukan kekecewaannya dengan memilih untuk kembali tinggal di rumah lama mereka. Bukan rumah mewah yang Raga dirikan khusus untuk orang tuanya.
Raga sangat paham jika orang tuanya begitu kecewa. Maura. Riani dan Herdito sangat menyayangi Maura sebab Raga adalah anak satu satunya. Ditambah lagi Maura dan Raga sudah menjalin hubungan sejak lama. Tak ayal jika kedua orang tua Raga sangat menyanyangi Maura.
Suara ponsel di genggaman Raga berbunyi lagi. Ia menduga jika itu pasti ibunya. Raga memilih untuk memutuskan panggilan itu tanpa melihat lagi siapa yang menghubunginya.
Di gerakannya dengan cepat langkah kakinya yang sempat terhenti. Bertemu dengan Ivanna bukan lah hal yang baik untuknya. Istri sahabatnya itu tak sungkan untuk mengucapkan kata kasar di hadapannya.
Namun sepandai pandainya tupai melompat, pasti ia akan jatuh juga. Tak berbeda dengan Raga. Dia malah bertemu dengan Ivanna. Beruntung wanita itu sedang mengangkat telepon dan tidak melihat ke arahnya.
Samar samar, percakapan Ivanna di telepon terdengar oleh Raga yang melewatinya.
"Jadi dia udah ketemu sama kamu?"
...
"Terus dia ngomong apa? Arinda bagaimana?"
...
"Aku khawatir sama anak kalian kalau tau kelakuan bapaknya kaya gimana..."
Ivanna melangkah menjauh dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Tak sadar jika ia sudah berpapasan dengan Raga.
Berbeda dengan Raga yang berdiri mematung di tempatnya mendengar Ivanna menyebut kalimat seperti itu. Jadi selama ini Ivanna dan Maura terus berkomunikasi. Bagaimana Raga tidak mengetahui hal itu? Apa Daniel sudah mengetahuinya sejak awal?
Raga ingin kembali ke ruangan Daniel tapi diurungkan olehnya niatnya tersebut. Bertemu dengan Ivanna bukanlah hal baik. Itu yang terus terngiang di telinga Raga.
Pria itu melanjutkan langkah kakinya dengan kepala yang terus berisi pertanyaan dan berbagai kemungkinan.
***