Keheningan masih menyelimuti Maura dan Raga meskipun mobil yang mereka tumpangi sudah keluar dari kawasan sekolah. Maura masih canggung dan sejujurnya rasa sakit yang Raga goreskan masih ada.
"Gimana kabar kamu?" Raga berusaha mencairkan suasana.
"Baik."
"Kamu kemana aja selama ini?"
"Masih di Indo aja."
"Maksud aku kamu...ah udah lah." Raga akhirnya menyerah untuk berbincang dengan Maura.
Maura hanya diam tidak menanggapi. Untuknya, tidak ada yang penting lagi yang harus dibicarakan. Ah akhirnya dia teringat sesuatu.
"Ga?"
"Apa?" Raga langsung menjawab cepat.
"Udah ya, sampe disini aja."
"Kantor kamu masih jauh lho, Ra. Yakin mau turun disini?" Raga berusaha membujuk Maura.
Maura menarik napasnya dan membuangnya kasar.
"Maksud aku, cukup sampai disini aja. Kita udah gak ada hubungan apa apa lagi. Kamu gak usah terlalu deket sama aku"
"Kenapa?" Hanya kata itu yang mampu Raga ucapkan. Dia tidak menyangka bisa merasa sesakit itu mendengar Maura memintanya menjauh.
"Kamu masih nanya kenapa, Ga?" Sabar Maura sudah habis.
"Aku tau aku udah nyakitin kamu, Ra. Tapi, apa kesempatan itu udah bener bener gak ada buat aku?"
"Kamu punya banyak kesempatan, Ga. Kamu punya tujuh tahun buat nyari aku. Tapi sedetikpun gak ada usaha kamu. Sekarang saat kita tiba tiba ketemu lagi, kamu bilang Arinda anak kamu dan kamu minta kesempatan sama aku? Apa kamu gak keterlaluan, Ga?" Maura terkekeh sinis.
"Aku tau, Ra. Aku tau udah keterlaluan. Tapi apa kamu gak tega sama Arinda? Dia butuh sosok Ayah"
"Kalau Arin butuh sosok Ayah, aku bisa kasih Ga. Kami udah biasa hidup tanpa kamu. Jadi buat apa aku hadirin kamu lagi?"
Raga menggeram marah. Dia benar benar tidak suka mendengar gagasan Maura tentang memberi ayah untuk Arinda.
"Dia anak aku! Aku ayahnya! Gak ada yang berhak ambil posisi itu!" Raga berteriak marah.
Namun tak sedikitpun kemarahan Raga membuat Maura gentar. Dia bukan lagi Maura yang dulu. Yang bisa seenaknya Raga injak dan campakan.
"Siapa yang bilang? Kamu bilang Arinda anak kamu? Cuma kamu yang berhak jadi ayahnya? Aku tanya sekali lagi, kemana kamu dulu? Kamu ngerasa pernah berbuat itu sama aku harusnya kamu tau kalau aku pasti ngandung anak kamu. Tapi kenapa kamu gak cari aku? Kenapa, Ga?"
Raga kehabisan kata kata. Apa yang Maura katakan adalah kebenaran yang tidak bisa di elak lagi olehnya.
"Kamu bukan orang sembarangan, Ga. Cukup balikin telapak tangan kamu aja, kamu bisa tau aku ada dimana" Maura meluapkan amarahnya yang tersisa.
"Aku harap kita gak akan bertemu lagi. Udah cukup, Ga. Biarin aku dan anakku hidup tenang. Tolong turunin aku disini" Maura menunjuk halte di depannya.
"Aku..."
"Berhenti, Raga! Aku bilang udah cukup. Aku mau turun disini atau aku buka pintu ini sekarang?!"
Raga mengalah dan berhenti tepat di depan halte yang Maura tunjuk. Maura turun dari mobil Raga dan membanting pintunya. Seakan itulah amarah yang bisa ia tunjukkan pada Raga untuk terakhir kalinya.
Maura duduk di halte dengan air mata yang bercucuran. Sejak ia membuka pintu mobil Raga, sejak itu pula air matanya meluruh.
Beberapa pasang mata yang ada di halte itu pun hanya bisa melihatnya. Tidak ada yang berani mendekatinya seakan tau jika wanita itu hanya butuh waktu untuk sendiri.
"Mba, mba gak apa apa?" Tanya seorang pria yang seumuran dengan Maura. Pria yang entah datang darimana dan dengan beraninya bertanya pada Maura saat orang lain hanya bisa menatapnya iba.
Maura menolehkan kepalanya dan sedikit kaget dengan pria yang ada di hadapannya.
"Maura?! Kamu Maura kan?" Tanya pria itu.
Maura hanya menganggukan kepalanya, enggan untuk menjawab.
"Kamu masih inget aku, kan? Aku Leon, kita pernah sekelas waktu SMA"
Lagi, Maura hanya menganggukan kepalanya. Sejujurnya ia sedikit malu karena bertemu dengan teman lamanya dalam keadaan seperti ini.
"Kamu mau kemana? Mau pulang? Ayo aku antar" tawar Leon.
Maura menggeleng, dia hanya membutuhkan waktu untuk sendiri.
"Ahh..kamu masih aja kaya dulu. Terima bantuan aku, ya? Sekali aja" pinta Leon.
Maura yang merasa tidak enak akhirnya membuka suara.
"Aku mau balik. Gak enak badan"
"Rumah kamu dimana?"
"Aku bisa pulang sendiri"
"Aku tanya rumah kamu dimana, bukan bisa pulang sendiri atau engga" Leon yang gemas lalu mengacak rambut Maura.
"Sorry" ucap Leon saat sadar dengan tindakannya.
"Ah, itu jemputan aku. Kamu naik gih, aku bisa pesen yang lain" Leon menunjuk sebuah mobil mewah yang datang.
"Mobil kamu?" Akhirnya Maura buka suara karena tidak enak dengan Leon yang menawarkan tumpangannya.
"Oh..emm..bukan. Itu taksi online" jawab Leon gelagapan.
Maura menaikan alisnya. Dia ragu dengan apa yang Leon ucapkan. Pasalnya mobil yang Leon tunjuk adalah sebuah mobil mewah keluaran terbaru, sebuah mobil dengan negara asal Jerman.
"Taksi online?" Maura yang tangisnya sudah berhenti karena keheranan itu akhirnya bertanya lagi.
Leon menarik tangan wanita itu, menyeretnya dengan lembut ke arah mobil. Saat itu seorang pria hendak membuka pintu kemudinya namun Leon menahannya.
Leon membukakan pintu untuk Maura dan mempersilahkan wanita itu masuk. Setelah menutup pintu untuk Maura, Leon mengetuk kaca mobil pintu kemudi.
Tak butuh waktu lama, kaca itu langsung terbuka dengan wajah seorang pria paruh baya yang nampak keheranan.
"Tu-"
"Tolong antarkan Nona ini ke mana pun yang ia mau. Nanti saya ubah alamatnya di aplikasi. Tolong ya, pak. Makasih" dengan cepat Leon memotong ucapan pria itu.
Maura yang menyaksikannya hanya duduk keheranan. Pria paruh baya yang nampak menggunakan baju seragam supir itu nampak bingung dengan ucapan Leon.
"Kamu gak ikut, Nal?" Ucap Maura saat ingat nama panjang Leon. Leonal Jaiakusuma.
"Engga. Kamu santai aja. Aku bisa pesen taksi online lagi kok. Pak tolong ya" ucap Leon saat mengalihkan pembicaraannya pada sang supir.
Supir yang sudah tampak mengerti dengan keadaan itu pun mengangguk mantap. Paham akan maksud tuannya itu.
"Makasih ya, Nal. Aku gak tau harus bales kebaikan kamu hari ini pake apa" ucap Maura tulus.
"Cukup kasih aku nomor kamu" ucap Leon lalu menyodorkan ponsel miliknya.
Maura mengambilnya dan mengetikan nomornya disana lalu mengembalikan lagi ponsel itu pada Leon.
"Makasih" ucap Leon.
Maura membalasnya dengan senyuman. Sejujurnya wanita itu hendak menjawab. Namun suara klakson mobil di belakangnya seolah menginterupsi percakapannya.
Dari kejauhan, Raga memukul kemudi mobilnya dengan kencang. Ia melihat semua kejadian antara Maura dengan seorang pria dari spion mobilnya. Ucapan Maura untuk memberikan Arinda ayah seolah olah mengiang kembali di kepalanya.
Raga takut jika kesempatan untuknya benar benar tidak ada.
Lihat saja nanti. Raga membatin dengan jemari yang masih mencengkeram erat kemudi mobilnya.
***