CHANGE ME - 4

1654 Kata
Makanan yang tadi Maura pesan akhirnya sampai di atas mejanya. Lengkap dengan makanan tambahan yang tadi Raga pesan. "Arin jangan lupa baca doa dulu" Maura mengingatkan putrinya. "Papa, boleh minta sesuatu?" Ucap Arinda malu malu. "Kamu mau minta apa Arin? Jangan aneh aneh" tegur Maura. "Bilang aja sayang. Arin mau minta apa?" Tanya Raga. "Tolong jangan memanjakan anak saya" Maura berusaha mengingatkan Raga. Takut putrinya itu meminta yang aneh aneh. "Boleh gak kalo Papa yang pimpin doa?" Ucap Arinda masih dengan pipi meronanya. "Boleh kok. Ayo kita berdoa" Lagi lagi hati Maura mencelos mendengarnya. Sejujurnya ia tak tega membiarkan ayah dan anak itu terpisah. Tapi apa mau dikata. Rasa sakit terkhianatinya belum bisa hilang meskipun masih ada sedikit cinta yang masih tertinggal. Apalagi Maura masih sangat sungkan dengan kehadiran Raga yang tiba tiba ini. Setelah mereka selesai berdoa, mereka mulai makan bersama. Ada aura hangat yang menyelimuti mereka meskipun tidak ada pembicaraan diantara Maura dan Raga. "Ma, Arin gak mau ini" Arinda menyisihkan brokoli dari piringnya. "Ma, Arin gak suka ini" ucap Arinda lagi sambil menyisihkan wortelnya. "Arinda, kamu harus banyak makan sayur" Raga berusaha membujuk gadis kecil itu tanpa menyadari jika ia juga menyisihkan sayuran yang sama di piringnya. Melihat itu, Maura sedikit terkekeh. Benar benar ayah dan anak. Maura membatin. "Tapi Papa juga gak dimakan tuh sayurannya" Arinda menunjuk piring Raga. Raga yang baru menyadarinya langsung menunduk malu. Hancur sudah image Papa Kece yang sedari tadi ia bangun. Diliriknya sedikit, Maura sedang menahan tawanya. Wajah Raga yang memerah padam membuat tawa Maura meledak seketika. "Yaampun Raga hahaha mukamu itu loh kaya waktu masih SMA hahaha" Maura tertawa dan berbicara tanpa sadar. "Masih SMA?" Tanya Raga yang tertegun mendengar Maura menyebutnya tanpa embel Anda. Apalagi menyebutkan masih SMA. Sebuah senyum terbit di bibir Raga. Menyadari jika mantan istrinya itu masih mengingatnya. Maura yang baru sadar kelepasan berbicara itu pun langsung diam. Sungguh gawat berada bersama Raga terlalu lama. Dinding pertahanannya bisa saja hancur tiba tiba. "Ehem" Maura berdehem pelan, berusaha untuk menetralkan tenggorokannya yang tiba tiba kering. "Kamu mau minum, Ra?" Raga menyodorkan minumannya yang belum ia sentuh. "Engga. Makasih. Lupain aja yang tadi saya bilang" tolak Maura. Ada rasa kecewa yang muncul di hati Raga sebab Maura tak pernah menolaknya. "Arin makannya jangan lama lama ya. Mama harus cepet balik ke kantor" jelas Maura yang mulai mengabaikan Raga lagi. "Papa kerja dimana? Sama kaya Mama? Waktu itu Arin liat Papa di kantor Mama" Tanya Arinda tiba tiba. Gadis itu sangat penasaran sejak kemarin bertemu dengan Raga. Namun ia belum sempat menanyakannya. "Engga sayang. Papa gak kerja di kantor Mama kamu. Papa kerja di Dream Soul Company. Kalo kamu udah besar, kamu pasti tau" jelas Raga sambil mengusap kepala Arinda. Maura yang mendengar penuturan Raga itu mengernyit heran. Pasalnya saat rapat kemarin, Raga membawa nama Horizon Company. Bukan Dream Soul Company. "Itu punya aku juga. Aku punya banyak perusahaan sekarang. Kemarin Dirutnya gak bisa hadir. Jadi aku yang gantiin" jelas Raga yang seakan paham kenapa Maura mengernyitkan alisnya. "Arin boleh main ke kantor Papa?" Tanya Arinda takut takut. "Amanda Arinda" Maura memanggil nama lengkap putrinya. Seolah paham maksud sang ibu, Arinda menundukkan wajahnya. "Kenapa sih, Ra? Biar aja dia main ke kantor aku" "Kita gak punya hubungan apa apa lagi Tuan Diraga Andreas yang terhormat. Apa anda pikir jika saya mengizinkan putri saya untuk memanggil anda dengan panggilan Papa berarti saya mengizinkan putri saya untuk berada di bawah kendali anda?" "Maura, apa yang udah terjadi gak perlu di bahas lagi" Raga berusaha untuk tetap tenang. "Lalu saya harus membahas apa pada seseorang dari masa lalu yang tiba tiba datang dan membiarkan putri saya memanggilnya dengan sebutan Papa?" "Ra, aku gak mau musuhan. Setidaknya aku ingin hubungan kita baik baik aja. Demi proyek kita" Maura lagi lagi merasakan sakit yang sama saat tau motif Raga datang kembali adalah sekedar untuk proyeknya. Cukup sudah. Habis kesabaran Maura. "Arinda, Mama minta sama kamu jangan pernah ngomong yang aneh aneh lagi. Kamu tau kan Mama gak bisa ngasih Papa kamu. Udah cukup Arinda kamu panggil Om itu Papa" Maura menegur Arinda yang sedang merasa bersalah. "Maafin Arin, Ma. Arin gamau Mama marah" "Mama gak marah sama Arin. Mama cuma mau ngingetin Arin. Arin gak boleh berharap lebih sama orang lain. Arin punya Mama. Itu udah cukup. Kalo Arin mau punya Papa, nanti Mama yang cari. Mama yang kasih khusuh buat Arin" jelas Maura. Raga yang mendengarnya seketika kaku di tempatnya. Ia tidak rela jika Maura menikah lagi dan Arinda memanggil laki laki lain selain dirinya Papa. "Arin mau kan punya Papa yang sayang sama Arin? Arin mau kan punya Papa yang selalu ada buat Arin? Arin juga mau kan punya Papa yang gak akan pernah menyia-nyiakan kita?" Ucap Maura menyindir Raga. Arinda mengangguk antusias. "Kalo Arin mau, Arin harus nurut sama Mama. Nanti kita cari sama sama Papa yang baik buat Arin" jelas Maura. "Arin mau, Ma! Arin mau!" Arinda berjingkrak bahagia dan memeluk Maura. "Pa, Papa denger kan kata Mama? Mama mau ngasih Arin Papa beneran" Arinda bergantian memeluk Raga. Raga yang di peluk gadis kecil itu hanya diam mematung. Seakan tidak siap untuk melepaskan putrinya. Dalam hatinya ia bertekad akan mengambil Arinda dari Maura jika sampai saat itu benar terjadi. "Arinda, ayo kita pulang ke kantor Mama. Permisi Pak Raga. Saya duluan. Ayo sayang" setelah meraih tangan Arinda, Maura menunduk sopan meninggalkan Raga yang masih terpaku di tempatnya. *** "Mama, Arin udah ngantuk" ucap Arinda sambil menguap. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Harusnya Maura sudah pulang dari tadi. Tapi banyak berkas yang harus ia tanda tangani hingga akhirnya ia masih berada di kantor sampa malam seperti ini. "Yaudah Arin tidur dulu ya. Mama sebentar lagi" ucap Maura sambil bangkit dan membuka sofa bed yang ada di ruangannya. Putri kecilnya itu sudah ia bersihkan dan rapikan tadi saat jam pulang kantor. Arinda hanya perlu tidur saja sekarang tanpa harus repot bersih bersih lagi. Sudah menjadi kegiatan yang biasa ia lakukan jika harus lembur. Sebab Maura dan Arinda hanya tinggal berdua saja. Maura masih merasa belum perlu untuk menggunakan jasa asisten rumah tangga. Ia hanya tak rela meninggalkan putri kecilnya seharian dengan orang lain. Maura kembali lagi mengerjakan perkerjaannya. Memeriksa berkas berkas dan menandatanganinya. Tubuhnya sudah terasa pegal pegal. Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Akhirnya Maura bangkit dari kursi kebesarannya dan berjalan menuju putri kecilnya yang sedang tertidur pulas di sudur ruangan. Ditatapnya wajah Arinda yang memiliki perpaduan wajahnya dan pria itu. Namun ternyata gen pria itu terlihat lebih mendominasi wajah putrinya. Tiba tiba Maura teringat pada kejadian yang ia alami delapan tahun lalu. Saat itu Maura masih terjaga. Matanya belum mengantuk sama sekali meskipun jam sudah menunjukan pukul setengah satu pagi. Wanita itu masih setia menunggu suaminya pulang. Saat Maura selesai memanaskan makanan yang sudah ia masak dan menatanya di meja makan, terdengar suara mesin mobil masuk ke pekarangan rumahnya. Dengan wajah berseri seri karena akhirnya suaminya itu pulang, Maura bergegas merapikan dirinya yang sedikit berantakan. Ia mematut bayangannya di cermin yang ada di ruang tengah. Jujur saja penampilannya saat itu kurang menarik. Kantung mata yang tebal dan hitam serta berat badannya yang terus turun itu membuat kepercayaan dirinya tiba tiba terjun bebas. Tanpa ia sadari, Raga sudah mengetuk pintu dengan sangat keras. Maura menepis bayangan di cermin itu. Ia harus tersenyum menyambut suaminya pulang. Dibukakannya lah pintu utama di rumah mewah itu. Terlihat Raga memasukinya dengan sesosok perempuan. Bau alkohol juga sangat menyengat tercium dari tubuh pria itu. "Kamu baru pulang, Ga?" Tanya Maura berusaha lembut saat ia harus menahan diri untuk tidak menangis. Tubuh Maura bergetar hebat saat dilihatnya perempuan itu mencium bibir suaminya dengan sangat ganas. Hal yang sama sekali tidak pernah Maura rasakan sejak mereka menikah. "Berisik!!! Minggir!!!" Raga berteriak tepat didepan wajah Maura. Maura yang tersentak hanya bisa menggeser tubuhnya. Perempuan berpakaian seksi yang sedang menggandeng tangan Raga erat itu menyenggolnya kasar. Membuat tubuh yang ringkih itu terjatuh. Maura bergegas bangun dan menutup pintu rumahnya. "Kamu mau makan, Ga? Aku udah siapin makanan. Aku belum makan dari tadi. Nunggu kamu pulang" Tanya Maura hati hati. "Makan?" Tanya Raga sambil mengangkat sebelah alisnya. "Iya. Kamu mau makan?" Tanya Maura lagi. "Kamu mau makan, sayang?" Tanya Raga pada perempuan yang ada didalam dekapannya. "Mau sayang. Mau makan kamu" ucap perempuan itu menggoda Raga. Adegan ciuman panas itu terulang lagi hingga terdengar suara memberontak dari perut Raga. "Kita makan dulu ya. Nanti kita lanjut lagi. Aku laper" Raga lalu mencium bibir perempuan itu sekilas. "Maura" panggil Raga. Maura yang merasa namanya dipanggil langsung tersenyum dan menghampirinya. "Ada apa Raga?" "Aku mau makan" "Ayo. Aku udah nungguin dari tadi. Masih hangat" jelas Maura masih dengan senyumnya. "Aku mau makan. Tapi gak sama kamu. Tolong siapin sekarang juga!" Perintah Raga. Wanita itu hanya mengangguk seolah kehilangan suaranya untuk menjawab. Dengan tubuh yang sedikit bergetar, Maura merapikan piring di meja makan. Tak lupa ia menyendokkan nasi dan menuangkan air putih untuk Raga dan perempuan yang ia bawa. Setelah selesai dengan tugasnya, Maura bergegas untuk meninggalkan ruang makan. "Maura" panggil Raga lagi. "Ada apa Raga? Kamu butuh sesuatu?" Tanya Maura lembut. "Tolong rapikan kamar. Kami akan segera ke kamar setelah selesai makan. Kamu bisa tidur di kamar bawah" jelas Raga. "Iya" hanya kata itu yang mampu Maura ucapkan. Sungguh hati wanita itu benar benar teriris. Kursi makannya, makanannya, kamarnya, bahkan ranjangnya harus ia bagi dengan perempuan lain. Air mata mengiringi tiap langkah yang wanita itu ambil. Sesekali ia mengusap wajahnya dengan kasar. Ia membenci suaminya itu. Tapi sayangnya, rasa cinta Maura untuk Raga seribu kali lebih besar daripada benci yang ia rasakan. Dengan keras, ia menepuk nepuk dadanya. Berharap rasa sesak yang ada didalam sana bisa segera keluar. Air mata yang tak diundang itu tiba tiba saja hadir. Membuat Maura yang sedang menatap putri kecilnya itu harus kembali menepuk dadanya dengan keras. Mengingat masa lalunya lagi dengan Raga benar benar mengembalikan rasa sesak yang pernah menghampirinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN