CHANGE ME - 5

1599 Kata
Maura terkejut bukan main saat ia membuka pintu ruangannya dan menemukan Raga sedang duduk di kursi sekertarisnya dengan sebuah ponsel di tangannya. Raga menolehkan kepalanya ke karena mendengar suara pintu terbuka. "Apa selalu selarut ini?" Tanya Raga datar. "Apa yang anda inginkan?" Tanya Maura tidak kalah datar. "Hanya ingin menjemput Arinda" "Menjauh lah dari putri saya" ucap Maura tegas. "Ada hal yang ingin aku tanya. Aku harap kamu jawab jujur" pinta Raga mengiba tiba tiba. "Tidak ada hal yang perlu saya jawab. Permisi" Maura berjalan melewati Raga. "Apa Arinda anakku?" Tanya Raga tiba tiba. Lagi lagi pria itu membuatnya terkejut dan hampir terjatuh. Beruntung ia bisa mengendalikan dirinya dengan cepat. "Bukan" jawab Maura singkat. Namun rasa takut sudah mulai menguasainya. "Kamu bahkan gak pernah berhubungan lagi dengan orang lain, Maura. Kamu bahkan gak nikah. Siapa ayah anak itu? Apa itu aku?" "Saya lupa berurusan dengan penguntit" jawab Maura datar. "Jawab aku, Ra. Apa Arinda itu anak aku?!" Kesabaran Raga mulai habis. "Apa yang akan anda lakukan jika ternyata putri saya memang anak anda?" Suara datar masih belum menghilang dari bibir Maura. Mati matian wanita itu berusaha menahannya. Raga mematung. Ia belum memikirkannya. Apa yang akan ia lakukan jika Arinda benar benar anaknya. Dia tidak akan merebut Arinda dari Maura. Tapi lain hal lagi jika Maura menikah dengan pria lain. Dia benar benar akan merebut Arinda. Tidak rela jika ada pria lain disebut Papa oleh Arinda. Tanpa Raga sadari, Maura sudah pergi meninggalkannya. Raga terkesiap saat tak menemukan Maura di tempatnya tadi berdiri. Kepalanya masih berputar memikirkan jawaban yang tepat. Namun melihat Maura yang sudah berlalu membuat Raga memutuskan untuk mengejar wanita itu. Dilangkahkan kakinya dengan cepat. Untuk pertama kalinya Raga merapalkan doa doa lagi di dalam hatinya. Pria itu berharap Maura belum jauh. "Mauraaa!" Teriak Raga saat menemukan Maura yang berdiri di depan pintu lift. Maura yang sadar akan kehadiran Raga pun akhirnya berlari membawa Arinda di dalam dekapannya. Meskipun tenaganya bisa habis betulan jika ia tidak buru buru masuk ke tangga darurat dan menguncinya. "Maura. Jawab aku" ucap Raga sambil mengetuk ngetuk pintu darurat itu. "Pergi Raga. Apa lagi yang kamu mau?" Maura menahan isak tangisnya agar tidak terdengar oleh Raga. Seharian bertemu dengan Raga sangat tidak baik untuk hatinya. Sebab kepingan terakhir hatinya itu masih menyimpan cinta untuk Raga. Meskipun wanita itu tau jika ini adalah hal paling bodoh sepanjang hidupnya, mencintai seorang Raga dan rela disakiti berkali kali. Namun kini keadaannya berubah. Sudah ada sosok Arinda di sisinya. Maura tidak ingin terjatuh lagi. Sudah cukup dirinya begitu down dan hampir mati. Jika saja wanita itu tidak mengingat ada buah cinta mereka di dalam perutnya, mungkin wanita itu sudah melompat dari atas tebing tujuh tahun lalu. "Aku ingin kesempatan. Ya, betul. Kesempatan" suara Raga terdengar lagi. Akhirnya ada kata yang terlintas juga di dalam kepalanya. "Kamu udah habisin semua kesempatan yang aku kasih, Ga. Sekarang aku mohon. Tolong kamu pergi dan tinggalin kami disini" Maura lagi lagi menahan isakannya. Beruntung pintu tebal ini memisahkan mereka. Terdengar suara langkah kaki menjauh dari balik pintu. Maura bernapas lega. Namun ada bagian dalam dirinya yang terasa begitu sakit. Ternyata Raga benar benar tidak memperjuangkannya. Pria itu pergi begitu saja dalam satu penolakan. Lagi dan lagi, sosok Raga kembali menghunuskan belati tak kasat mata tepat di hatinya. Tapi akal Raga tak pernah habis. Ternyata pria itu masuk kedalam lift dan turun di satu lantai tepat di bawah Maura mengunci pintu. Pria itu membuka pintu darurat yang tidak terkunci dengan perlahan. Takut Maura mendengarnya dan lari lagi. Sayup sayup terdengar isakan yang sangat menyakitkan. Suara yang sama dengan yang ia dengar tujuh tahun lalu. Tujuh tahun lalu, satu hari sebelum Raga menceraikan Maura. Raga masuk kedalam kamarnya dengan hati hati. Tidak ingin membangunkan Maura yang sedang tertidur memunggunginya. Sebab ia tak mau berbicara dengan Maura saat ini. Namun saat Raga melangkahkan kakinya, terdengar rintihan yang sangat menyayat hati. Dilihatnya punggung yang bergetar hebat itu. Raga tak pernah melihat itu sebelumnya. Maura selalu tersenyum bahkan ketika ia berkata kasar dan membentaknya. Seakan bisa merasakan sakit yang wanita itu rasakan, Raga memilih untuk keluar. Suara tangis makin terdengar saat Raga makin mendekatkan kakinya ke sumber suara. Lagi lagi Raga bisa merasakan sakit yang Maura rasakan. Namun saat dilihatnya pertama kali wajah Maura yang menangis itu, tiba tiba muncul keinginan yang sangat kuat untuk melindingi wanita itu. Raga mempercepat langkah kakinya. Di hampirinya Maura yang sedang menangis sambil menggendong putrinya itu. Maura nampak kaget. Namun belum selesai keterkejutannya, Raga menariknya dan merengkuhnya. Memeluk Maura dengan sangat erat. Satu hal yang pasti, Raga merasakan ketenangan dan kelegaan. Maura hanya bisa menangis didalam pelukan pria itu. Hati kecilnya pun merasakan hal yang sama dengan yang Raga rasakan. Tenang karena ada dalam dekapan Raga. Dan lega karena ternyata pria itu tidak pulang meninggalkannya seperti yang ia pikirkan. Maura merasa bodoh. Namun hatinya tidak bisa menolak dekapan Raga. "Ma, Mama kenapa?" Arinda yang terbangun itu pun terkejut mendapati Maura yang sedang menangis. Apa lagi mereka ada didalam dekapan Raga. Maura tidak bisa menjawab apa apa. Yang wanita itu bisa lakukan adalah menangis. "Pa, Mama kenapa?" Arinda beralih bertanya pada Raga karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari ibunya. Dengan tidak rela, Raga melepaskan pelukannya itu. "Mama gak kenapa napa kok. Sekarang kita pulang, ya. Udah malem. Papa yang antar. Ayo sini, Arin. Papa aja yang gendong" Raga lalu mengambil Arinda kedalam gendongannya. Maura tidak bisa menolaknya sebab tenaga wanita itu sudah habis. "Gapapa kan, Ra?" Untuk pertama kalinya Raga meminta izin padanya. Maura hanya bisa mengangguk lemah. Raga membuka kunci pintu darurat itu dan mempersilahkan Maura untuk keluar terlebih dahulu. Arinda sudah kembali terlelap dalam gendongannya. Mereka lalu berdiri di depan lift. Raga menekan tombol yang ada. Tidak perlu waktu lama karena kantor sudah kosong, pintu lift langsung terbuka. Mereka masuk kedalam lift dan Raga menekan tombol menuju lobby. Suasanan canggung tidak terhindarkan di dalam lift. Akhirnya Maura membuka suaranya. "Aku bisa pulang sendiri" ucapnya singkat. Maura tidak ingin terlalu formal lagi dengan Raga. Wanita itu sudah lelah. "Engga. Biar aku yang antar" "Aku bawa mobil" "Kamu naik mobil aku. Dengan keadaan yang kaya gini kamu masih ngotot mau bawa mobil, Ra?" Raga mendengus kesal. "Tapi besok gimana aku berangkat. Aku harus antar Arin ke sekolahnya dulu. Aku gak mungkin pakai taksi online" jelas Maura yang masih keras kepala. "Biar besok aku yang jemput dan antar kalian. Aku gak nerima penolakan Maura. Kamu tau itu" ucap Raga dan berlalu meninggalkan Maura saat pintu lift terbuka. "Kamu masih mau disana, Ra?" Tanya Raga karena Maura tidak kunjung beranjak dari dalam lift. Bahkan pintu lift hampir tertutup dan wanita itu hampir saja terjepit lift jika Raga tidak menekan tombol di luar. "Hati hati, Maura!" Suara Raga meninggi. Maura mengacuhkannya meskipun dalam hati wanita itu juga sama terkejutnya. "Cepet" hanya itu yang bisa Maura katakan. Ditariknya tangan Maura dan dibimbingnya wanita itu menuju mobil Raga yang terpakir di parkiran kantor. Tangan Raga tak lepas dari jemarinya. Menjalarkan rasa hangat yang tak bisa mereka berdua hindari. Saat sampai di depan mobilnya, Raga membukakan pintu penumpang dan membaringkan tubuh kecil Arinda disana. Setelah itu dibukanya pintu untuk Maura yang sedari tadi hanya diam di belakangnya. "Masuk!" Perintah Raga. Maura tidak menjawabnya. Wanita itu hanya menuruti perintah mantan suaminya. Raga menjalankan mobilnya menuju alamat yang tadi Maura sebutkan. Sebuah apartemen mewah. Raga tak terkejut sebab Maura seorang CEO sekarang. Sebuah apartemen mewah bukan lah apa apa. Ditengah perjalanan yang sunyi itu, Raga memberanikan diri untuk berbicara. "Jadi, apa Arinda benar anakku?" Tanya Raga berusaha lembut. "Aku nggak mau jawab, Ga. Kamu nggak berhak untuk tau" "Kalau begitu, siapa ayahnya?" "Jangan mulai lagi, Ga. Aku udah capek seharian ini" Maura lalu memalingkan wajahnya menatap keluar jendela di sampingnya yang tiba tiba jadi menarik. Raga akhirnya mengalah untuk membiarkan Maura tidak menjawabnya. Dalam hati Raga berpikir, mungkin dirinya terlalu tergesa gesa. Ia harus menyiapkan rencana lain. Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit. Akhirnya mereka kini sampai di depan unit Maura. "Sampe sini aja" ucap Maura setelah berhasil membuka kunci unitnya. "Biar aku antar dia sampe di kamarnya. Arin bisa bangun nanti kalau aku kasih ke kamu. Ini udah terlalu malam, Ra" Akhirnya dengan berat hati, Maura mempersilahkan Raga masuk ke unitnya dan mengantar Arinda hingga sampai ke dalam kamarnya. Setelah selesai membaringkan Arinda, akhirnya Raga keluar dari kamar itu. Ia juga merasa tidak enak berlama lama berada di dalam sana. Namun saat kakinya ingin melangkah keluar, Raga menangkap kotak musik di meja rias Maura. Kotak musik yang sama dengan yang ia berikan saat hendak berangkat ke Amerika. Sebuah senyum terbit di bibir lelaki itu. Ternyata Maura belum benar benar melupakannya. "Aku pulang" ucapnya saat sudah berada di ruang tamu milik Maura. "Besok aku jemput pagi pagi" ucap Raga lagi. Maura tidak menjawabnya tapi Raga tau jika Maura mendengar ucapannya. Kini Maura sedang mengantar Raga kedepan unitnya. Bentuk sopan santun yang ditanamkan oleh keluarganya. "Maura" tiba tiba Raga memanggilnya. "Hmm" hanya gumaman kecil yang keluar dari bibir wanita itu. "Kesempatan itu...apa masih ada?" "Udah gak ada" "Aku mohon, Ra. Setidaknya kamu pikirin dulu baik baik. Kalau bukan buat aku, setidaknya buat Arinda. Aku yakin dia anak aku. Aku inget pernah ngelakuin itu sama kamu" Tiba tiba tubuh Maura menegang seketika. Dia terkejut mengetahui fakta yang satu itu. Ia pikir Raga tidak mengingatnya. "Aku harap kamu mau pikirin dulu baik baik sebelum kasih keputusan. Aku pulang" Raga mengusap pucuk kepala Maura lembut. Seolah meyakinkan wanita itu jika ia sudah berubah. Maura hanya bisa terdiam di tempatnya. Kedatangan Raga benar benar memberikannya kejutan yang tak henti hentinya. Tembok pertahanan yang selama ini ia bangun seakan akan meluruh perlahan lahan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN