18. Penyusup

1795 Kata
"Apakah adikku akan selamat?" tanya Nona Sophia lagi. Entah sudah berapa kali dia menanyakannya. "Berdoalah, Nona," jawab Siti. "Hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan adik Nona," tambah Siti dengan senyuman manis dan belaian lembut di bagian belakang kepala sang Nona. Siti sudah berhenti menangis. Saat ini, Nona Sophia sedang sangat membutuhkan kehadiran Siti untuk menjadi sosok teman sekaligus ibu, yang akan setia mendampingi sambil mengelus kepala serta punggungnya yang mungil. Sosok orang dewasa dengan akal sehatnya untuk membantu menenangkan hatinya yang sedang kacau. Memang malang nasib Nona Sophia. Ibunya sendiri tidak memperdulikan kondisinya saat ini. Mengapa? Karena Madam Adriana adalah satu-satunya orang yang tidak keluar kamar untuk memastikan kondisi Madam Aisha. Beliau tetap berada di kamar, menjalankan aktivitasnya seperti biasa, seolah tidak ada keributan di luar. Orang lain mungkin berpikir bahwa Madam Adriana tidak menyukai Madam Aisha karena beliau adalah istri kedua suaminya. Padahal, sebenarnya masalah Madam Adriana jauh lebih kompleks daripada itu. Terbukti karena dia tidak memperhatikan siapa pun di sekitarnya, tak terkecuali putrinya. Oleh karena itu, saat ini, Siti memilih untuk mengubah pendapatnya tentang Madam Adriana. Kemarin, Siti memang merasa tidak suka terhadap sikap Madam Adriana yang sangat mengintimidasi. Sedangkan hari ini, Siti menyadari bahwa Madam Adriana adalah sosok yang membutuhkan pertolongan. Sudah seharusnya orang-orang yang masih peduli akan kebaikan keluarga ini, lebih memperhatikan kondisi Madam Adriana untuk ke depannya. Namun, tentu saja tidak untuk dipikirkan sekarang. Karena saat ini, semua perhatian sedang ditujukan untuk Madam Aisha. Termasuk perhatian Nona Sophia dan Siti sendiri. Nona Sophia membisikkan doa dan harapan kepada Tuhan. Namun beberapa saat kemudian dia kembali terisak. Menyebutkan lagi bahwa ini adalah kesalahannya karena selalu berharap kejelekan untuk sang adik. Bila sudah demikian, Siti akan dengan sabar kembali memintanya untuk berdoa. "Nona, ingatlah besok adalah pelajaran balet pertama dengan guru baru. Anda harus tidur awal sekarang." Siti berbisik perlahan sambil mengelus rambut panjang sang Nona. Nona Sophia berhenti menangis sejenak, kemudian menangis lagi. Wah, bahkan sogokan latihan balet pun tidak berlaku saat ini. Begitu seterusnya, berulang lagi dan lagi. Sampai akhirnya, Nona Sophia tertidur pulas dalam pelukan Siti. Siti menggendong Nona Sophia, yang kini tengah mendengkur lembut di bahunya, menuju ke kamar dan membaringkan tubuh mungil itu di kasur beralaskan bed cover warna pink. Dikecupnya kening Nona Sophia dengan lembut. Kemudian, dinaikkan selimut hingga menutup dadanya agar tidak kedinginan. Sempat terpikirkan untuk mengganti baju sang Nona dengan pajama yang nyaman. Namun, sepertinya itu tidak perlu karena takut membangunkan gadis mungil itu. Sesekali ... tak mengapa mengabaikan aturan, 'kan? Asalkan tidak menjadi kebiasaan buruk yang diulang setiap hari. Saat Siti melangkahkan kaki untuk keluar dari kamar Nona Sophia, dia baru teringat bahwa sang Nona belum menggosok gigi. Ah, sudahlah! Besok pagi-pagi akan Siti ingatkan agar nona langsung menggosok giginya dengan sangat bersih. Hal yang buruk dan tidak boleh ditiru oleh siapa pun. Menggeleng-gelengkan kepala karena menyadari kesalahannya, Siti melihat kondisi sang Nona yang sedang tertidur pulas. Menghela napas panjang, gadis itu berharap dengan sangat, semoga Mi tidak memarahinya besok pagi. Sungguh ngeri membayangkan Mi mengomelinya. Pastilah Mi tidak akan pernah mengizinkannya memegang Nona Sophia lagi. *** Malam ini, Siti tak bisa memejamkan mata. Dia terus melongok ke arah luar, membiarkan jendelanya terbuka agar bisa mendengar bila ada suara mobil yang datang. Satu jam sudah berlalu dari saat dia meninggalkan kamar tidur Nona Sophia. Namun, tak ada tanda-tanda yang memperlihatkan kedatangan Lamborghini Aventador Stretch Limo merah yang tadi dipakai Tuan Khalid untuk mengantarkan Madam Aisha menuju rumah sakit. Dua jam berlalu. Akhirnya mobil merah panjang yang ditunggu datang. Siti, dengan penuh harap, segera berlari keluar dari kamar untuk mengamati lebih dekat. Dia ingin tahu langsung keadaan Madam Aisha. Namun, kali ini, Siti harus kecewa lagi. Karena yang keluar dari mobil limo merah itu hanyalah Paman Raj, sopir Tuan Khalid. "Bagaimana keadaan Madam Aisha?" tanya Siti memberanikan diri bertanya pada Paman Raj saat dia hendak beranjak menuju asrama pegawai pria. "Maaf, aku tidak tahu. Baba hanya menyuruhku untuk pulang lebih dulu untuk beristirahat dan menjemputnya bila diminta," terang pria India paruh baya itu kepada Siti. Para pegawai laki-laki, yang terdiri dari dua supir dan dua tukang kebun, memang lebih sering memanggil Tuan Khalid dengan sebutan Baba. "Bukankah Anda bisa beristirahat di mobil dan menunggu sampai Tuan Khalid selesai?" sanggah Siti karena merasa perbuatan sopir tuannya kurang tepat. Bila saja dia yang mengantar, pasti akan ditunggunya sang Tuan sampai selesai. "Hei, kamu belum lama tinggal di sini. Tapi memang begitulah majikan kita. Beliau majikan paling baik hati yang bisa kamu harapkan." Paman Raj menjawab dengan sangat cepat yang hampir saja tak dimengerti oleh Siti. "Sudahlah! Kamu pergi tidur saja. Tidak berguna menunggu semalaman." Siti pun hanya mengangguk pelan dan mengucap terima kasih, kemudian kembali berjalan ke kamarnya. Dalam hati, Siti semakin merasa cemas karena ternyata keadaan tidak seringan yang diharapkan. Namun, setidaknya dia lega bahwa sang Madam tampaknya masih dalam kondisi minimal yang diinginkan semua orang. Masih ada harapan. Malam itu, Siti tidak tidur hingga sangat larut. Demi memperbanyak doa untuk keselamatan Madam Aisha dan bayinya. Berkali-kali terdengar dari kamar yang dia tempati, isak tangis dan rengekan permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Siapa pun yang mendengarnya pasti akan merasa sangat heran, mengapa Siti bisa sedemikian sayang kepada sang Madam? Bukankah mereka baru saja bertemu? Keheranan itu akan berlanjut pada kesimpulan, bahwa Siti memang gadis yang baik perangainya. Seolah sifat Siti memang seperti itu sejak lahir. Seperti karakter protagonis dalam dongeng. Tak ada seorang pun yang menyangka, bahwa loyalitas Siti kepada Tuan Khalid berpengaruh kepada semua tindakan yang diambilnya. Keinginannya membalas kebaikan sang Tuan, membuat Siti ingin berbuat baik kepada siapa saja yang berhubungan dengan tuannya. Tak hanya itu. Dia pun ingin memperbaiki keadaan di sekitar sang Tuan. Oleh karenanya, dia bersemangat sekali memperlakukan anak dan para istri Tuan Khalid dengan baik. Agar kehangatan dan keceriaan muncul di Qasr Fadi, mansion megah nan dingin yang mereka tinggali. Setelah sekitar pukul satu dini hari, saat mata Siti hampir terpejam, dia mendengar suara aneh di luar. Suara 'gedebug' seperti seseorang yang sedang tersandung dan terjungkal ke tanah karena sedang berjalan cepat atau berlari. Siti yang merasa tak tenang, kembali lagi melongok keluar jendela untuk mengecek apa yang terjadi. Ternyata, ada sosok bermantel hitam yang memang sedang berjalan terburu-buru ke arah bangunan utama. Tak jelas apakah pria atau wanita. Yang dilihat Siti, hanyalah siluet saja. Siti yang panik dan khawatir, mengambil mantelnya agar tak kedinginan dan bergegas berlari keluar mengikuti sosok tadi. Namun, pria atau wanita misterius yang diikutinya, tiba-tiba menghilang seperti asap. Apakah dia sudah masuk ke dalam mansion, ataukah masih di luar? Buruk. Pencahayaan yang temaram sama sekali tidak membantu pandangan Siti. Sekalipun dia menyalakan senter di ponselnya. Sepertinya, dia akan meminta senter besar untuk berjaga-jaga bila terjadi hal seperti ini lagi lain kali. Giliran siapa yang piket malam ini? Siti merasa harus menghubungi petugas yang malam ini sedang piket. Dia mengambil ponselnya untuk mengecek jadwal piket, kemudian didapatinya bahwa malam ini adalah giliran Ms Aziza. Masih merasa takut kalau-kalau dia akan melakukan kesalahan tak berguna lagi kali ini, Siti menimbang apakah harus menelepon Ms Aziza atau tidak. Akhirnya, dia putuskan juga untuk menelepon Ms. Aziza. Daripada terjadi hal yang buruk, lebih baik dia dimarahi. Setelah beberapa kali berdering, Ms. Aziza akhirnya mengangkat juga ponselnya. "Alu ...," sapa Ms. Aziza dengan suara parau karena masih mengantuk. "Kamu pikir sekarang ini jam berapa?" Beliau sedikit membentak karena merasa pusing. Apalagi yang membangunkannya adalah pelayan baru yang hari ini melakukan kesalahan berat. "Miss Aziza, saya melihat orang yang mencurigakan di sekitar bangunan utama!" bisik Siti dengan suara panik. Antara takut dimarahi dan takut penyusup itu tengah menjalankan aksinya. "Apa kamu sudah memastikan bahwa itu memang penjahat?" bentak Ms. Aziza yang sekarang menjadi meragukan Siti karena kesalahan yang diperbuatnya di hari kemarin. "Bukan tukang kebun, penjaga yang patroli, atau siapa yang lain?" "...." "Lain kali pastikan dulu. Asal kamu tahu saja, tidak ada insiden berbahaya dalam lima tahun terakhir sejak aku pindah ke sini. Kediaman Tuan Khalid adalah tempat yang aman," tambah Ms. Aziza dengan yakin sebelum menutup teleponnya. Ms. Aziza memang benar. Tak ada yang terjadi selama lima tahun terakhir. Damai dan tenang sejak Tuan Khalid pindah ke kediaman yang sekarang. Ms. Aziza heran sekaligus mensyukuri hal ini. Tidak seperti ketika masih tinggal dengan Tuan Sulaiman dulu, ayah Tuan Khalid. Seringkali penyusup keluar masuk rumah. Oleh karena itu, Ms. Aziza tidak mempercayai kecurigaan Siti saat ini. Siti yang merasa tidak dihiraukan, jadi merasa putus harapan untuk meminta bantuan kepada yang lainnya. Bila Ms. Aziza saja tidak mau mendengar, apalagi pelayan yang lain. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk kembali ke kamar saja. Namun, lagi-lagi, sekelebat bayangan hitam di taman, kembali membuatnya terperanjat. Bayangannya seperti sosok lelaki tinggi besar. Bergerak cepat, bersembunyi di antara semak-semak. Siti sangat menyesalkan, mengapa harus menanam semak di sini? Indah memang. Namun, tanaman itu juga akan memudahkan penjahat untuk bersembunyi. Apa yang harus dilakukan Siti sekarang? Apakah dia harus menantang penyusup itu untuk keluar? Apakah akan berbahaya atau tidak? Walaupun tidak yakin akan jaminan keselamatan, akhirnya Siti tetap memutuskan untuk berlari ke arah taman, dan mengecek sekitar dengan tambahan penerangan dari senter ponselnya. Lagi-lagi hasilnya nihil. Dia menelan ludah, menenangkan jantung yang berdegup kencang tak karuan. Sejuta pertanyaan dan kekhawatiran berkecamuk di dalam benak Siti. Bagaimana kalau penjahat itu mencuri barang-barang berharga di rumah? Bagaimana kalau penyusup itu membawa senjata tajam? Bagaimana kalau penjahat itu melukai atau bahkan membunuhnya? Bagaimana kalau penjahat itu menyerang dan membunuh penghuni rumah? Bila Siti gagal melakukan pencegahan saat ini, bisa jadi semua kekhawatirannya itu akan terjadi. Oleh karena itu dia harus bertekad untuk berhasil dan melakukan tindakan preventif sebisa mungkin. Bila tidak, bahaya lain akan mengancam keselamatan seluruh penghuni rumah. Harus berani dan harus bisa! Begitu tekad Siti dalam hati. Dikepalkannya tangan untuk menambah kepercayaan diri dan tentunya, tak lupa dia berdoa kepada Tuhan agar memberikan kekuatan padanya. Walaupun bukan berdoa agar diberi kekuatan super, tentu. Dia hanya berdoa agar semuanya baik-baik saja. Siti menarik nafas dalam-dalam, kemudian berseru sekuat tenaga. Berusaha agar suaranya tak terdengar bergetar sebagaimana jantungnya yang berdetak kencang. "Keluar kamu!!" seru Siti agak takut. Apa yang akan dia lakukan bila penjahat yang dia maksudkan memang benar-benar keluar dari persembunyiannya. "Keluar dan hadapi aku!!" bentaknya lagi. Siti tahu saat ini dia ketakutan, namun mencoba bertahan sekuat tenaga agar tidak gentar. Lagipula, dia sudah berjanji pada Tuan Khalid, bahwa dia akan mendedikasikan hidupnya untuk tuannya. Bila saat ini dia gentar, ke manakah perginya loyalitas yang pernah dia ikrarkan pada tuannya? Satu .... Dua .... Tiga .... Siti menghitung tiap detik yang dilaluinya. Berdebar-debar seolah penentuan hidup dan mati saja. Namun, yang dia tunggu tidak juga menampakkan diri. Siti pun merasa mulai kehilangan harapan. "Siti?" sebuah suara pria terdengar dari belakang. "Kamukah itu?" Siti pun berbalik dan betapa terkejutnya dia saat mendapati siapa yang berdiri di belakangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN