“kita bukan hakim di hidup orang lain, bukan jaksa yang menyelidiki kesalahan dan kita bukan seorang polisi membasmi tuntas kejahatan, jadi berhenti seolah dirimu adalah makluk paling sempurna.”
***
Langit kali ini mendung, di temani suara gemuruh yang menggelegar indah layaknya sang pencipta sedang memberi amarah, perihal waktu yang berjalan bak nirwana, melahap setiap asa yang dikubur bersama retak, kerap kali dikecewakan sajak seumpama balutan sandiwara dalam guratan asa.
Hamid sedang bertugas di daerah curup melihat perkebunan yang masih asri, teringat kemarin pertemuannya dengan Siara, entah kenapa perasaannya selalu memikirkan gadis itu, padahal mereka baru bertemu dua kali tapi tidak tahu ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, seperti tanda tanya yang harus dia jawab tapi tak kuasa, layaknya barisan sajak yang dibalut dengan sempurna, teringat lirik lagu sepertiga malamnya milik Rey Mbayang
Saat kuputuskan
Bertemu orang tuamu
Kuyakinkan diri
Kaulah yang terbaik
Dan saaat kau memilih
Aku yang pantas untukmu
Hati ini berikrar
Tuk selalu menjagamu
Ku yakin kaulah jawaban
Disetiap pintaku
Walau
Ku belum tau namamu
Bisikan di sujudku
Di sepertiga malam ku
Untuk kehadiranmu sempurnakan imanku
Saat kau memilih aku yang pantas untukmu
Hati ini berikrar
Tuk selalu menjagamu
Randi yang melihat sahabatnya melamun berniat menggoda Hamid, sejak masa mereka belum dilantik menjadi TNI memang keduanya berjuang sama-sama, wajar saja keduanya mengetahui banyak bagaimana perebuahan sikap yang terjadi dan semua keajaiban di diri masing-masing.
“Kenapa muka Lo kaya mau kepatok jenggot ayam?” tanya Randi tertawa renyah, memang tidak ada akhlak sahabat seperti ini kalo berbicara suka benar.
“Emang keterlaluan ini onta sumedang,” balas Hamid tertawa mendengar sebutan jenggot ayam.
“Oyy di Semedang adanya Tahu bukan Onta,” protes Randi tidak terima daerah asalnya disebut begitu.
“Gue taunya Onta,” jawab Hamid tidak mau kalah.
Kalo dengan Randi wajah serius Hamid tidak akan terlihat seperti dia berhadapan dengan orang lain apalagi panggilan santai ‘lo’ ‘gue’ yang biasa mereka gunakan tidak akan terdengar di telinga orang lain, karena tuntutan pekerjaan dan sikap Hamid yang kaku kepada orang belum dikenal lebih dekat.
“Oke, back to topic. Jadi apa yang mempengaruhi pikiran komandan sehingga tidak fokus dalam menganalisis perkebunan ini?”
“Ndi, menurut Lo. Kalo terus-terusan mikirin seseorang itu gimana?” tanya balaik Hamid yang tampak mengerutkan dahinya tanda tidka mengerti dengan perasaan yang ada dalam dirinya.
“Yah Lo suka sama dia lah,” balas Randi sangat santai.
“Kan gue engga ngomong permasalahannya ini mengarah ke suka atau engga sama seseorang, lagian kalo gue punya hutang juga kepikiran terus, itu juga suka sama orang berarti,” omel Hamid tidak yakin.
“Engga gitu konsepnya Bambank,” Kesal Randi melihat kepolosan sahabatnya ini.
“Gue takut ini Cuma perasaan penasaran dan tipu daya setan untuk memperdaya iman.”
“Gue saranin Lo salat isthikarah, minta petunjuk sama Allah biar perasaan itu diridhoi dan kalo emang jawaban atas semua doa adalah dia, ya gaskeun. Jangan menunda-nunda hal baik yang malah nanti bakal menjadi dosa, engga bakal ada yang melarang hal baik, lagian jangan jadi perjaka tua sibuk sama pekerjaan, uang udah banyak, orang tua masih sehat dan secara finansial udah cukup, selagi berdoa Lo juga banyak-banyak memantaskan diri. biar bener yang sering dibilang orang jodoh itu cerminan dirimu,” saran Randi seperti seorang ayah yang menasehati anaknya, jika tidak sedang gesrek memang otak Randi bisa diacungi jempol.
“Lo kapan mau nikah?” tanya Hamid balik.
“Lagi memaksakan diri sama Neng Amira,” jawab Randi tertawa.
Amira adalah anak seorang kiyai yang berada di NTT banyak sekali yang ingin meminangnya tetapi sering kali ditolak dengan cara baik-baik kata orang-orang Mira pemilih dan sulit menerima, oleh sebab itu Randi tidak berani datang ke rumah Kiyai.
“Eh emang siapa perempuan yang berhasil menaklukkan hati Komandan Hamid ini?”
“Perempuan kemarin.”
“Oalah jurnalis manis kemarin,” jawab Randi antusias.
“IYA!”
“Maafkan gue manggil komandan kemarin, merasa berdosa mengganggu waktu PDKT,” sesal Randi tertawa.
Hamid memilih pergi meninggalkan Randi karena jika tidak pasti saja dia akan menjadi bahah bullyan lelaki itu yang tidak ada henti-hentinya menghina sosok Hamid.
Sebenarnya kasus yang mereka hadapi ini adalah ancaman terorisme yang katanya orangnya bersembunyi di perkebunan ini, mungkin hanya satu atau dua orang karena jaringannya memang sudah tersebar luas.
Keadaan sekarang memang masih tergolong aman karena jika bisa dicegah mungkin akan berdampak baik untuk kesejahteraan masyarakat dalam mempertahankan kesejahteraan Negara kesatuan republik Indonesia.
Ada sebuah pesan masuk dari Hp Hamid dari sang mama yang meminta jika pulang nanti segera mengabarinya, sudah beberapa tahun terakhir ini mamanya sibuk menjodohkan Hamid karena usia anak sulungnya itu sudah 28 tahun.
Banyak sekali kaum hawa yang berlomba untuk menaklukkan hati Hamid, dari rekan kerjanya sesama prajurit TNI, POLWAN, jurnalis, jaksa, pengacara, dokter, perawat dan guru namun entah mengapa hatinya belum tergerak dan sampai saat ini dia selalu berusaha untuk tidak menyakiti hati perempuan
Kemarin saja sebelum lebaran pada saat kumpul keluarga ada saja yang dijodohkan dengannya, waktu itu namanya Anita-- seorang dokter gigi cantik dan anggun tapi entah mengapa hati Hamid belum tergerak, kala itu Anita sudah mengaggap Hamid akan menseriuskannya sampai sekarang Anita selalu saja memberikan perhatian kepadanya.
****
Tidak jauh dari perkebunan itu ada seorang anak kecil laki-laki yang bermain sepeda seorang diri tanpa ada yang ingin bermain dengannya padahal di sudut satunya lagi banyak sekali gerombalan anak kecil sebayanya, karena rasa penasaran Hamid yang begitu besar ia segera menghampiri anak kecil itu.
“Halo, adik kecil. Nama kamu siapa?” tanya Hamid ramah.
Awalnya anak kecil itu ingin kabur karena takut tapi ia urungkan karena Hamid memberikan berbagai macam cokelat dari kantung bajunya.
“Halo Om, Aku Rama.”
Jawabannya masih sangat terdengar polos dan lucu, rasanya terlalu aneh jika anak selucu ini tidak ada yang ingin menemaninya padahal dia tidak bersalah lantas kenapa malah dijauhi, semua itu menjadi rangkaian kalimat yang membuat rasa penasaran Hamid makin besar.
“Kalo boleh Om tahu kenapa kamu main sendiri, kan bahaya?” tanya Hamid mencoba memberikan ruang agar anak itu tidak merasa terbebani saat bercerita.
“Oh, iya Om, temen-teman yang lain engga mau main sama aku,” ucapnya polos tanpa merasa ada yang aneh
Kerutan di dahi Hamid tercetak sempurna, dia tidak habis pikir saja kenapa anak kecil seperti itu sudah memusuhi temannya samapi tidak ingin bermain dengan yang lainnya.
“Kok bisa?”
“Kata mereka ayah—ibu aku cerai jadi engga usah temenan sama aku,” jelas anak itu sedih jika mengingat perkataan orang lain.
Perkataan seperti ini, yang bisa merusak mental seorang anak kecil karena sistem perkembangan otakknya belum mampu untuk menerima semua hinaan dan mencerna apa yang sebenarnya terjadi oleh sebab itu kadang dia merasa sangat berbeda dengan orang lain.
Hamid cukup terdiam lama mendengar penuturan anak sekecil itu, rasanya batinnya ikut tergores oleh kalimat yang memang sangat jahat, perpisahan orang tuanya bukan kemauan dirinya jadi ketika orang lain memandang dia berbeda maka mentalnya ikut terkena dampak.
“Emang salah ya Om berteman sama anak yang engga punya keluarga utuh?” tanyanya lagi dengan tatapan iba.
“Ini bukan salah kamu kok, kamu berhak bahagia, kamu berhak memiliki apapun, jangan dengarkan kata orang yang membuat perasaan kamu menjadi sedih tapi cobalah untuk menjadi lebih baik dari ucapan mereka,” pelukan hangat diberikan Hamid.
“Makasih ya Om, heheh aku gapapa kok Om, Cuma sedih aja engga ada yang bisa diajak bermain,” sesalnya mengingat semua temannya tidak pernah mau berbicara dengannya.
Perpisahan orang tua memang memiliki dampak besar, kondisi keluarga yang mengalami perpecahan, adanya kesenjangan dalam rumah tangga, perselingkuhan dan perkelahian, semua itu menyebabkan seorang anak merasa setengah dari dunianya hilang, tidak ada pembenaran dalam islam untuk melakukan perceraian karena merupakan suatu perbuatan yang dibenci Allah tapi jika perceraian adalah jalan terbaik maka sesuatu yang dibenci itu dihalalkan.
“Sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian” [H.R. Abu Daud dan Hakim]
“Main sama Om aja ya,” tawar Hamid tersenyum hangat.
Tampak balasan senyum yang paling bahagia terpancar di raut wajah anak itu, ada kebahagiaan yang ikut menulur ketika senyum itu terbit karena kita mampu membuat guratan tawa menyatu dengan begitu sempurna.
“Ayo Om, nanti aku ajarin Om caranya main sepeda yang baik,” lanjutnya semangat 45.
“Wah boleh dong!” semangat Hamid tak kalah juga.
Di sore hari keduanya menghabiskan waktu bersama, bermain sepeda hingga lelah dan tatapan anak-anak yang menjauhi Rama merasa heran kenapa ada orang yang ingin berteman dengan anak seperti Rama.
“Om, aku suka banget sama coklat. Boleh engga aku minta beliin satu aja coklat, rasanya udah lama banget aku engga pernah dibeliin coklat,” curhat Rama sedih karena terakhir kali ada yang mau membelikannya coklat ketika ayahnya belum memilih pergi dari keluarga dan memilih perempuan lain.
“Ayo ikut Om ke Indomaret, kita beli apa aja yang kamu mau,” ajak Rimba sambil menggandeng tangan Rama, senang bisa melihat senyum Rama mengembang sempurna ada kelegaan didirinya.
Mereka berduapun berjalan bersama menuju Indomaret terdekat untuk membeli apapun yang Rama inginkan. Melewati pemukiman yang sengaja Randi, Bagus dan Hamid sewa untuk menyelidiki misi mereka, melihat Hamid membawa seoarang anak kecil hal itu membuat ke duanya temannya itu heran, anak siapa yang Hamid bawa.
“Udah cocok bawa anak, mana istrinya Komandan?” tanya Bagus dengan tawa hangat.
“Boro-boro mau cari istri sekarang aja masih ragu sama perasaannya Gus,” sindir Randi yang memang mintak dijitak.
“Widih komandan, jangan mau kalah sama Dinda Hauw dan Rey Mbayang kalo udah cocok tikung disepertiga malam, langsung bawa orang tua untuk melamar dengan mahar yang romantis surah ar-rahman dan seperangkat alat salat,” ucap Bagus yang mendukung opini Randi.
“EH, ini saya lagi sama anak kecil, kalian kerja yang benar,” balas Hamid mencoba menghentikan obrolan yang akan menjurus kepenghinaan dari kedua orang yang memang senang sekali merecokinya.
“Om, pinjam dulu Om Hamidnya ya, soalnya Rama mau beli coklat yang banyak, dah,” pamit Rama tersenyum yang menampilkan dua deretan gigi ompongnya yanag menambah imut ucapan anak itu.
“Siap Rama, jajan yang banyak ya, Om Hamidnya barusan gajian.” Randi mengompori dengan semangat, memang benar Hamid baru saja menerima gaji.
Mereka berduapun melanjutkan perjalanan karena sudah sangat banyak terhambat akibat ulah kedua orang itu yang senang sekali menggoda Hamid, banyak hal yang Rama ceritakan tentang hobi yang dia suka, sampai berapa kalipun dia tetap saja semangat dan matanya akan hilang jika bercerita panjang lebar karena tertawa.
Melihat kebahagiaan Rama, rasanya tidak tega jika nanti dia berpamitan pulang.
“Jadi kamu di sini tinggalnya sama siapa?”
“Aku tinggal sama nenek, Om. Nenek itu orangnya baik banget selalu aja ngajarin aku hal yang luar biasa seperti ngaji, sholat dan berkata jujur. Pernah sekali aku bolos ngaji karena al-quran aku disembunyiin sama teman-teman, nenek jadi sedih dan merasa bersalah.” Cerita yang terus saja mengalir sepanjang keduanya pergi ke indomaret, mungkin hari ini akan menjadi sebuah kenangan yang tidak akan pernah Hamid lupakan.
“Siara sedang apa ya di sana.” Tiba-tiba saja Hamid kepikiran gadis itu lagi, mungkin memang benar nanti dia harus salat istikarah meminta kepada Allah, jika memang benar perasaan ini tulus maka dekatkan lah dirinya dengan Siara.
“Om, itu indomaretnya,” tinjuk Rama senang sekali.
Hamid ikut tersenyum mendengar kegembiraan Rama, rasanya dia ingin sekali membawa Rama pulang ke rumahnya, bermain bersama keluarganya di Bengkulu, tapi apa boleh buat libur untuk aparat Negara seperti dirinya sangat jarang sekali.
Rama berlari kecil untuk menggapai pintu Indomaret, dia mencari rak yang berisi banyak sekali jajaran coklat yang akan membuat siapa saja menjadi sangat ingin melahapnya.
“Hati-hati Ma,” peringat Hamid yang takut jika nanti anak kecil itu terluka.
Rama mengambil semua warna dan semua jenis coklat yang ia suka, melihat itu Hamid ikut senang.
“Anaknya ya Pak?” tanya seorang ibu-ibu yang sedang berbelanja juga.
“Bukan Bu,” balas Hamid tersenyum ramah.
“Lucu sekali soalnya, saya kira sudah punya istri. Kalo masih single mau saya jodohin sama anak saya,” ungkap ibu itu yang memang sangat suka melihat Hamid dari perawakannya saja sudah terlihat jika laki-laki itu dari anak baik-baik dan sangat religious.
“Heheh…Maaf Bu, tapi saya belum kepikiran hal itu, saya pamit dulu mau melihat ponakan saya,” tolak Hamid sangat sopan.
Jelas saja Hamid tidak mau menyakiti orang yang lebih tua darinya karena menjaga lisan sangat penting, dia takut ucapannya akan menjerumuskan dan dapat menjadi dosa yang menghantarkan dirinya ke nereka.
Hamid berjalan mengikuti arah kaki Rama yag sangat aktif mencari apa saja makanan yang ia suka, setelah ke rak yang satu dia lanjutkan menjelajahi rak yang lain hingga satu-persatu rak dia jelajahi sampai pada sebuah kotak kinderjoy dia behenti sejenak.
“Rama mau? Ambil aja gapapa,” tawar Hamid yang melihat Rama tidak bergerak sedikitpun.
“Dulu Ayah suka beliin aku itu Om, sekarang aku takut lihat ini, kalo ingat ayah rasanya takut jika ditinggal. Ibu terpakasa harus menjadi TKW di Taiwan biar Rama bisa sekolah.” Seketika tangis anak itu pecah, ternyata mau sebahagia apapun tidak akan ada yang bisa menggantikan peran ketika keluarga utuh.
“Jangan sedih lagi ya, harus jadi anak yang kuat dan menggapai semua mimpi dengan semangat.” Pesan Hamid memeluk Rama, hari ini cukup berat untuk anak kecil berusia delapan tahun.
“Om, makasih ya, hari udah baik banget sama aku, aku ga bisa balas apa-apa semoga Allah selalu kasih kebahagiaan untuk Om dan keluarga.”
Doa tulus itu terucap dengan senyum di akhir cerita, semoga saja apa yang diharapkan bisa menjadi barisan yang dijabah oleh yang kuasa.
“Semua akan baik-baik saja ya Ram.” Kalimat yang paling sering didengar ketika apa yang diharap tidak sesuai dengan impian, kadang kita berkehendang sedang Allah maha tahu atas segala rencana.
Hamid membayar semua belanja yang diambil Rama, lalu mengantar anak kecil itu pulang ke rumahnya, senang bisa melihat tawa Rama sebahagia sekarang. Diperjalanan pulang Rama selalu bernyayi lagu-lagu kesukaanya dari lagu kartun upin-ipin, lagu anak kecil dan masih banyak lagi lagu menemani keduanya.
Hingga di sebuah rumah tua, seorang nenek sudah menunggu di luar dengan raut wajah khawatir, rasanya senang bisa melihat cucunya pulang dengan selamat, pada sisi tangannya terdapat dua kresek berukuran besar dan itu semua barang yang ia beli bersama Hamid.
“Assalamualaikum nenek, hari ini Rama senang bisa ketemu Om Hamid. Ini buat nenek,” ucap Rama yang berlari ke arah pelukan neneknya.
Sementara Rama yang berdiri di belakangnya ikut memberikan salam dan disambut hangat oleh nenek, ribuan rasa terima kasih diucapkan oleh sang nenek.
“Semoga Allah membalas semua kebaikanmu Nak, terima kasih banyak,” uap nenek sambil menitihkan air mata.
Kali ini Hamid benar-benar merasa sedih, kadang waktu berjalan begitu cepat, baru saja bertemu lalu harus dipisahkan lagi, padahal masih ingin bersama meski waktu kerap kali kejam dan tak bersahabat tapi waktu adalah barisan pembentang yang paling indah.
Sore kali ini seolah berbicara melalui langit jingga jika kalimat syukur tak akan pernah menjadi abu-abu, sedang semua hal harus diusahakan, kita hadir dalam karang yang terbuai tipu daya. Seolah dunia ikut menjadi salah satu hal yang harus digaris bawahi.
Semesta memberikan arti bahwa kita sejatinya hanya sementara, apa yang dibangga?
Hidup hanya menunggu kapan saatnya harus hilang dan mengikhlaskan.