Bab 2

2120 Kata
Kemeja yang terkoyak kancing-kancingnya, bersama dengan helaian pakaian yang bertebaran di lantai, ranjang yang berdecitan, dipadukan dengan suara deru napas yang memburu dalam gelapnya kamar suit, Luxury Hotel G itu, rasanya cukup menjadi rentetan bukti betapa liarnya penghuninya. “Kau-“ suaranya tercekat, kalimatnya terhenti berkat sentuh liar wanita itu pada pusat gairahnya di bawah sana. Mata yang memejam, namun mulutnya terperanga dengan wajahnya yang menengadah ke langit-langit di atas sana. Juga … Ahh… desah, desis, Richard benar-benar menyukai kepiawayan wanita yang sedang memanjakannya. “Kau pintar honey,” pujinya. Dan hal itu bagai tombol pacu bagi si wanita yang sedang aktif mengunakan lidah dan tangan-tangan lentiknya di bawah sana. Suara berat, dalam dan agak seraknya luar biasa sexy. Bagai sebuah bensin yang disiramkan kepada kobaran api. Semakin memanas lah suasananya kini. “Argh!” Richard mengerang keras. Jangan salah tangkap dengan reaksinya yang bagai gauman singa di padang savana. Itu adalah suara kepuasannya dengan apa yang dilakuakan sang betina pada batangnya. “Kau pintar. Aku suka, kemari,” Richard memerintah. Dan wanita itu pun langsung patuh kepadanya. Tubuh molek itu kini tengah merangkak, dengan caranya yang paling menggoda. Sedikit menggesekan kedua permukaan inti dan pusat gairah keduanya. Memercik hasrat yang siap membawa keduanya ke puncak ledakan kenikmatan. “Ouch! A-ehm,” ia meracau. Tubuhnya bergerak-gerak tak karuan, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, terkadang menengadah sambil menjeritkan desahnya. Rambutnya berantakan namun hal itu justru menambah kesan menggairahkan bagi Richard yang haus akan sebuah kenikmatan. “Aku suka payudaramu, bukan ukuran yang sangat besar. Ini sangat pas dan bentuknya sungguh indah,” pujinya pada kedua daging kenyal yang menjadi kesukaannya. “Kalau begitu, dua payudaraku kini milikmu. Kau bisa melakukan apapun kepadanya.” Smirk yang kemenangan sudah nampak. Richard sudah mendapat hak milik untuk p******a dengan p****g mengacung berwarna merah terang, yang di matanya sangat errr… menggemaskan! Tak berlama-lama ia mendiamkannnya, detik berikutnya langsung ia lahap buah yang ia nobatkan sebagai buah paling agung itu. Dan… Begitulah potongan scene panas dua jam yang lalu antara Richard dengan wanita yang kini tengah bergelayut manja dalam pangkuannya. “Kau sangat cantik, honey,” puja dan puji terus mengalun dari bibirnya. Dan bagai panah yang terus menembus hati sang wanita, hingga rona merah memalu pun timbul di pipinya. Ia sudah jatuh total ke dalam bujuk rayu si pengacara, yang bukan hanya handal menaklukkan kasus hukum namun juga seorang wanita. Tangan kurus itu melayang dan memberikan pukulan tak bertenaga tepat di d**a Richard. “Jangan terus merayuku, atau aku akan mabuk karena semua rayuan gombalmu itu,” ucapnya, amat memanja. “Aku tak merayu, aku hanya berbicara jujur tentang dirimu dan tubuhmu ini. Aku sangat menyukainya. Kulitmu yang halus, rambutmu yang lembut dan lurus, hingga garis-garis halus di pantatmu yang bagai karya seniman ini…” ia menjeda seraya membelai area p****t yang memiliki garis streatchmark. “Ini sungguh sempurna, Honey,” tutup Richard. Dan pengacara tampan itu kini telah jatuh dengan sempurna akan kebutaan cinta atau hasrat, yang entah akan bertahan berapa lama. “Aku tahu, pasti sudah ada deretan wanita yang berhasil kau taklukan. Tak heran kau semahir ini bermain-main dengan rayuan manismu itu kepadaku,” balasnya, dengan delikan mata yang menuduh. “Tak sampai hitungan jari yang kupuji layaknya dirimu. Mereka tak memiliki tubuh sesempurna dirimu. Bahkan untuk pertama kalinya aku ingin dilahirkan kembali karena dirimu, Honey,” ucapnya terdengar sangat melebih-lebihkan. Wajah menyirit yang ingin tertawa karena tergelitik geli bahkan sudah ditampilkan wanita baru sang pengacara itu. “Oh, yang benar saja, hahaha…, kau benar-benar pintar membuatku gila. Aku jadi curiga para hakim di pengadilan kau rayu juga, bukan? Karenanya kau selalu bisa memenangkan kasus di pengadilan?” Sontak saja gelak tawa lepas terdengar memenuhi seisi kamar di pukul 3 dini hari ini. Itu adalah tuduhan paling konyol yang ia dapatkan setelah semua kerja kerasnya untuk semua persidangan. “Mau semahir apa pun aku menggoda, aku tetap akan memilih secara selective soal siapa yang akan menjadi target godaanku. Aku tak berselera pada hakim kolot yang selalu banyak tingkah dan merepotkan itu,” Richard menjelaskan diselingi tawa renyahnya. Wanita itu terlalu polos, nilainya. Bagaimana bisa ia terpikirkan hal yang demikian. “Dengar,” ia akan memulai kembali pembicaraan. Namun, tangan kokohnya terlihat membenarkan posisi si wanita dalam pangkuannya itu jadi lebih tegak dan tak lagi bersandar pada dadanya. “Aku sungguh-sungguh ingin dilahirkan menjadi anakmu. Aku ingin lahir dari sini…” Richard menuturkan keinginannya sambil membelai area v****a, yang menjadi lubang peranakan, dan tak sampai di sana saja. Satu tangan lainnya kini hinggap di p******a kanan si wanita yang menjadi favoritnya. “Dan aku ingin disusui oleh dua payudaramu ini. Aku sungguh-sungguh. Apa kau menginzinkan aku untuk menjadi anakmu?” Sungguh sebuah pertanyaan yang konyol, bukan? Si wanita itu saja sampai tergelak di tengah kegelian dirinya berkat sentuhan tangan Richard di titik-titik sensitif tubuhnya. “Jadi kau ingin menjadi anakku? Di usiamu yang sekarang ini? Dengan tubuhmu yang sudah sebesar ini? Berikut dengan kehidupan yang sesukses ini?? HAHAHAH….” Richard ditertawakan. Namun ia pun jadi ikut tertawa mengetahui keinginannya yang entah berasal dari mana itu. Namun, sungguh. Ia ingin itu. Terlebih kalau-kalau wanita itu mau dan sudi untuk… “Kalau aku menjadi anakmu, apa kau akan menyapihku dengan penuh kasih sayang? Tanpa ada keluhan dan ikhlas juga tulus kepadaku? Saat kau senang atau pun susah? Kau akan memberikanku asi di kala aku kelaparan?” tanya Richard dengan tatap yang diliputi banyak penasaran. “Ehm, itu….” *** “Apa jawabnya?” Satu lagi sosok yang penasaran akan jawaban dari pertanyaan lugu dari seorang pengacara terkemuka itu. Mata Dokter Alice bahkan sampai menelisik. Tubuhnya agak mencondong ke depan, kepalanya maju, berharap bisa segera mendengarkan apa kiranya jawabnya. “Ada banyak s**u formula yang dijual di toserba, jadi kenapa aku harus repot menyusui seorang bayi. Begitulah katanya.” Richard berkata dengan menirukan percis bagaimana wanita yang semalam menemani malamnya. “Wanita itu keberatan untuk memberikan asi untuk bayinya, tapi tak keberatan dengan laki-laki yang menghisap payudaranya. Dia memiliki ketakutan payudaranya akan mengendur kalau memberikan asi untuk anaknya, tapi tidak dengan hisapan seorang pria pada payudaranya. Dia juga berkata kalau bayi-bayi suka menggigit p****g Ibunya kala mereka sedang diberi asi karena pertumbuhan giginya, dan dia tak suka itu. Tapi herannya, dia suka sekali kala aku dan pria lainnya mengigit-gigit putingnya. Apa dia gila? Makhluk kecil yang tak bisa apa-apa bernama bayi itu, bahkan belum memiliki gigi atau taring, berbeda denganku yang sudah mampu mencabik satu babi guling!” Dokter Alice hanya tersenyum samar dengan penuturan panjang Richrd atas si wanitanya. Sudah ada lebih dari 6 cerita konyol yang didengarnya setelah 5 bulan menjadi dokter psikiatri pengacara, yang inginkan seorang pasangan itu. Catat, pasangan seumur hidupnya. Seorang cinta sejatinya dan bukan pasangan untuk semalam saja. Dan secara tak sadar, dari semua keluhan hingga cerita konyol itu, Dokter Alice menemukan satu point crusial tentang sosok Richard. Ia menginginkan sebuah perlakuan, mulai dari sentuhan hingga kepada penuturan. Yang dimana dirinya bisa mendapat kasih sayang layaknya seorang bayi yang tak berdaya dari ibunya. Dua minggu yang lalu ia contohnya. Richard bercerita kalau dirinya memutuskan wanita cantik bernam Kelly, hanya karena ia melihat wanita itu membentak satu anak kecil yang tak sengaja menabrak dan menjatuhkan ice cream pada gaunnya. Dan saat itu pula Richard bertanya kepadanya… ‘Kalau aku menjadi anak kecil itu, apa kau akan membenatakku? Apa kau akan beriskap sangat kasar? Kalau aku menangis karena kata-kata kasarmu, kau akan bagaimana?’ Richard, dia mengharapkan seorang wanita bisa memberikan perlakukan kepadaya bagai seorang Ibu pada anak bayinya. BINGO! Itulah intinya. Dokter Alice diam-diam menyunggingkan senyum. Akhirnya setelah banyak sesi, dengan pasti ia menemukan satu titik terang akan sosok Richard. “Jadi dari sisi mana dari wanita itu yang semula begitu menarik dirimu? Ah! Tunggu, kau belum menyebutkan namanya.” Richard terdiam, kepalanya agak sedikit dimiringkan, bola matanya bergulir dan… “Aku lupa berkenalan dengannya. Tapi dia tahu siapa aku,” ungkapnya. “Eh? Maksudmu… kau menidurinya bahkan tanpa tahu namanya? Lalu bagaimana kau memanggilnya?” Dokter Alice menatap heran akan perilaku Richard yang ia nilai ada-ada saja. “Aku memanggilnya honey, dan dia pun tak memperkenalkan dirinya kepadaku.” Dokter Alice mengetuk-ngetukkan jarinya. Ia tengah menimbang seberapa jauh ia harus mengetahui cerita tentang cinta satu malam Richard dengan wanita si tanpa nama itu. ‘Akankah dengan mendengarkan cerita yang nantinya akan lebih konyol, aku bisa mendapatkan sesuatu yang lain tentangnya?’ Sampai akhirnya… “Lalu…,” Dokter Alice kembali membawa fokusnya untuk mendengarkan lebih jauh. Ia tak boleh menutup kemungkinan kalau ceritanya bisa menguak satu problem tentang life-trap yang diderita pasiennya itu. “Seberapa jauh kalian semalam mengobrol? Apa hal tentangnya yang membuatmu menarik, sampai kau menilainya sebagai wanita gila yang tak mau menyapih bayinya sendiri.” “Ehm, kami tak mengobrol banyak. Jadi jangan heran kalau aku tak sampai mengeahui namanya. Kalau hal yang menarik tentangnya…” Richard merecall memorinya untuk membangkitkan kembali bayang-bayang sosok wanita semalam. “Payudaranya. Aku suka payudaranya. Dan itu sampai membuatku ingin menjadi putranya untuk terus disapih olehnya. Namun sayang, dia tak mau.” Richard menutup jawabnya, dengan lengkung senyum miris diakhirnya. “Oh, ayolah. Kau akan terus terjebak dalam hubungan singkat, sesingkat semalam sampai matahari terbit kalau kau terus bersikap seperti ini, Richard. Hubungan itu bukan hanya tentang s*x, bukan sebatas untuk memennuhi kepuasan hasrat seksualmu. Bukankah yang kau inginkan adalah seorang pasangan hidup. Dan kau harus tahu, hidup itu bukan tentang bagaimana kau bermain di ranjang. Itu adalah sebuah momen yang panjang, dan seharusnya dia lah seseorang yang menemani semua momen itu.” Richard terdiam. Ia merenung. Menyadari kalau selama ini memang dirinya selalu buruk dalam berkomunikasi dengan deretan wanita yang menjadi pasangannya. Ia hanya hebat kala bergelut di atas ranjang. Bahkan kalau diingat lagi, romantismenya hilang dan semuanya berubah menjadi kacau, kala ia dan si wanitanya memliki waktu mengobrol, menghabiskan waktu bersama di luar. Ban bukan soal ranjang. “Berkomunikasi adalah hal buruk bagiku. Mereka tidak nyambung. Pikiran mereka terlalu dangkal, konyol dan tak bisa mengimbangiku. Kadang aku hanya harus mendengarkan keluhan bodoh tentang kuku-kuku mereka, gaya rambut mereka, hingga seorang teman yang menurut mereka penggosip dan pengiri. Aku tak bisa deal dengan semua itu.” Dan tepukan tangan Dokter Alice yang tiba-tiba, sedikit tak terduga pula, yang menjadi jawab penuturan Richard. “Baiklah. Ini artinya kau memiliki PR. Perbaiki komunikasimu dengan wanita yang menjadi pasanganmu. Atau… temukan wanita yang sangat menarik untuk diajak mengobrol. Baiknya…, yang bisa membuatmu betah mengobrol berlama-lama, hingga tak terasa waktu telah berlalu saat bersamanya.” Richard terlihat menurunkan bahunya dan memasang wajah lesunya. Ia sudah menyerah lebih dulu dengan tugas yang diberikan sang dokter kepadanya. “Dimana aku bisa menemukan wanita seperti itu? Itu sangat berbeda dengan menemukan wanita cantik. Wanita yang enak diajak mengobrol itu susah ditemukan. Tak ada pendeteksi di wajah seseorang kalau dia adalah sosok yang menyenangkan untuk dijadikan pasangan mengobrol,” sanggahnya, terdengar agak merengek. “Ada, tentu ada dan pasti ada.” “Dimana? Chat GPT? Ai?” Dokter Alice memutar bola matanya berkat tingkah Richard, yang bagai remaja yang membandal dan sulit sekali untuk diberitahu. “Human. Not Ai. Kau ingin memiliki pasangan seorang manusia, benar bukan? Dan bukan sebuah robot, benar?” Kepala Richard terlengak pada punggung kursi yang kalah tinggi dari tubuhnya. Ia blank dan mulai mengeluhkan dalam hati. Mengapa sesulit ini untuk memiliki hubungan dengan mahluk yang namanya manusia? “Dengarkan aku baik-baik. Ini akan menjadi penutup dari sesi kita hari ini. Hubungan itu adalah tentang sebuah percakapan. Bayangkan, kau bersama dengan wanita yang tak bisa membangun sebuah obrolan yang menyenankan dalam sebuah perjalanan. Betapa membosankannya itu. Dan aku tebak kau akan memilih turun di tengah perjalanan lalu naik bus saja. Bahkan mungkin, kau akan lompat dari jendela mobil karena bosan setengah mati.” Richard meresapi setiap katanya dengan cukup serius. “Dan kau tahu, hidup itu bukan sebuah perjalanan yang bisa kau habiskan selama kurang dari 12 jam, itu seumur hidupmu. Jadi pastikan kau memiliki teman yang cukup asyik untuk menemani perjalanan panjangmu.” Deru napas yang kasar langsung dihempaskan Richard setelah mendengar fakta yang agaknya cukup nyelekit itu. Ia merasa semakin terjal lah jalan yang akan dilaluinya. Dahinya sampai berdenyut dan tengah ia piijati sekarang dengan jari-jarinya. Ini lebih rumit dari kasus-kasus hukum yang justru terlihat sepele baginya. “Dimana aku bisa menemukan wanita yang akan enak untuk aku ajak mengobrol berjam-jam?” tanya Richard, suaranya amat pelan dan tak bertenaga. “Kau harus keluar dari kawanan heyna dan pergi ke padang rumput yang lebih ramah. Kalau kau selalu pergi ke bar, club mewah, atau sebuah pesta megah, dimana tempat bersarangnya wanita elok yang berkilauan…, kau akan kembali mendapatkan jenis wanita yang sama. Wanita cantik dan liar di ranjang. Kau harus pergi ke tempat lain, tempat dimana seseorang bisa mengobrol dengan nyaman.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN