Akhir yang Menjadi Awal
“Airin! Buka matamu…”
Suara Freya serak, nyaris tak terdengar di tengah suara klakson mobilnya yang meraung. Bau bensin menusuk hidungnya, bercampur asap tipis yang mulai merayap masuk ke kabin mobil sedan hitam yang kini sudah tak berbentuk. Lampu jalan yang baru saja ia tabrak berkedip-kedip sebelum akhirnya mati, meninggalkan kegelapan.
Darah hangat mengalir di pelipis Freya, menetes ke gaun pesta warna putih yang ia kenakan. Tangannya gemetar saat menggenggam tangan Airin, adiknya. Tangan Airin dingin, terlalu dingin untuk seseorang yang masih hidup.
Dua bersaudara itu putri seorang pejabat, sekaligus pewaris sebuah perusahaan besar.
“Ka-kak,” bibir Airin bergetar. Matanya setengah terbuka, pandangannya kosong, nafasnya pendek-pendek. “Sakit kak…”
Freya menahan isak. Dadanya terasa seperti diremas dari dalam melihat sang adik terluka, darah mengalir dari kepalanya. “Tahan sebentar, Rin. Pertolongan pasti datang. Kakak di sini.”
Padahal Freya tahu, harapannya rapuh. Terlalu sunyi. Terlalu lama. Ia tidak tahu ponselnya dimana. Jalanan malam itu sepi, seolah dunia sengaja memalingkan wajah dari tragedi yang mereka berdua alami.
Hingga akhirnya mata Airin terpejam.
“Airin, please jangan pingsan. Kamu harus tetap sadar,” Freya berkata sambil menangis. Ia tak percaya bisa mengalami kecelakaan dengan adiknya. Selama ini sekalipun Freya tak pernah mengalami kecelakaan karena kondisi mobil selalu prima dan Freya juga tidak dalam keadaan lelah ataupun mengantuk. Ia mulai berpikir, “sepertinya ada yang membuatku celaka!”
Freya menoleh keluar jendela depan yang retak. Tak lama berselang lampu mobil lain berhenti beberapa meter dari mereka.
“Ah untunglah ada yang lewat,” ucapnya senang. Ia merasa ada harapan. Ia ingin keluar dari mobilnya tapi ia sangat kesulitan karena kakinya terjepit. Gadis berusia tiga puluh tahun itu berharap banyak. Ia tak ingin mati sia-sia bersama adiknya.
Freya terus memperhatikan pintu mobil terbuka. Seseorang turun dengan langkah santai, terlalu santai untuk situasi genting seperti itu. Tapi Freya tetap merasa senang karena ada yang menemukannya dan Airin. Tanpa tahu kenyataan pahit yang akan ia hadapi.
Hingga akhirnya orang itu semakin mendekat dan seketika Freya merasa sangat lega ketika menyadari itu adalah Bhima Arsenio. Suami Airin, adik ipar Freya sendiri. Setelan mahalnya rapi. Rambutnya tertata.
Freya dengan suara lirih berkata, “Bhima, tolong…”
Namun sedetik kemudian Bhima tersenyum. Seketika Freya merasa ada yang janggal dari mimik wajah adik iparnya itu. Tak ada sedikitpun kepanikan di wajah tampannya. Freya merasa darahnya berhenti mengalir. Bhima terlihat tak ingin menolong.
“Bhima apa kau? ” tanyanya, suara penuh ketidakpercayaan.
Bhima mendekat, menunduk sedikit, matanya menyapu kondisi Airin yang bersimbah darah. Tak menunjukan rasa panik karena istrinya terluka. Ia tidak menunjukan wajah iba.
Freya merasa apa yang Bhima lakukan seperti seseorang yang sedang memastikan sebuah pekerjaan selesai dengan baik. Jantung Freya berdetak sangat cepat seakan bersiap apapun yang Bhima katakan padanya.
“Sayang sekali,” ucapnya ringan. “Harusnya kalian langsung mati.”
Freya melebarkan matanya. Ia menatap Bhima. Pandangannya hanya pada mata Bhima, lelaki yang dulu sempat dijodohkan oleh orang tuanya tapi Freya memilih memberikan Bhima pada Airin, karena Airin sudah lama menyukainya.
Tapi sekarang Freya merasa ia salah besar memberikan Bhima pada Airin. Freya melihat Bhima seperti monster. Tatapan matanya, sikapnya dan perkataannya.
“Apa maksudmu!”
“APA KAU YANG MEMBUAT KAMI CELAKA?!”
Freya bertanya dengan meronta, berusaha membuka sabuk pengaman, tapi kakinya terjepit dan tangannya mati rasa sulit digerakkan. Ia tak berdaya. Rasa sakit menjalar hingga tulangnya.
“KAU… INGIN KAMI MATI?!” teriak Freya.
Bhima tak menjawab teriakan Freya. Ia segera menjauh dari mobil. Dan yang ia lakukan selanjutnya menoleh ke arah seorang pria bertopi hitam yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri Dan Bhima mengangguk pelan pada pria itu.
Pria bertopi itu mengangkat korek api seakan menyuruh pria itu melemparkan korek api itu ke arah mobil yang sudah mengalirkan bahan bakar.
Freya menjerit ia tahu apa yang selanjutnya yang akan terjadi.
“JANGAN BAKAR KAMI! KAMI MASIH INGIN HIDUP! TOLONG! BHIMA, APA YANG KAMU INGINKAN, AIRIN INI ISTRIMU!”
Bhima tertawa kecil. “Istriku?” Ia berseru, penuh racun. “Dia hanya alat. Sekarang akulah pemilik perusahaan keluargamu. Selamat tinggal…”
Freya berteriak sekuat tenaga berharap Bhima membebaskan ia dan Airin tetap hidup, “AMBIL! AMBILAH YANG KAMU MAU! TAPI JANGAN BUNUH KAMI!”
Bhima tak menganggap ucapan Freya. Ia menjentikkan jari. Dan pria bertopi melempar korek api ke dekat ceceran bensin.
Hingga akhirnya api menyambar. Cepat. Rakus. Dalam hitungan detik, nyala api jingga melahap bagian depan mobil. Panasnya dirasakan wajah Freya, membuat kulitnya perih.
“PANAS!!!”
Bhima melambaikan tangan pada Freya, gestur santai seolah berpamitan. “Selamat tinggal. Terima kasih sudah mewariskan perusahaan kalian.”
Freya melihat ke arah Airin dan berteriak sangat kencang.
“Airin… AIRIN!” Freya menjerit, tapi suaranya tenggelam oleh deru api.
Dalam detik-detik terakhir hidupnya, satu hal yang paling menyakitkan bukanlah panas yang membakar kulitnya, bukan pula tulang-tulangnya yang remuk.
Melainkan kenyataan pahit bahwa semua ini terjadi karena kesalahannya sendiri.
Karena dulu Freya mengalah.
Karena ia membiarkan adiknya menikahi monster.
Gelap menelan pandangannya.
Dan Freya Zahara mati dengan penyesalan yang lebih menyakitkan daripada kematian itu sendiri.
Tiba-tiba Freya terbangun dengan nafas tersengal.
Dadanya naik turun cepat, keringat membasahi punggungnya. Tangannya refleks meraba sekeliling—tempat tidur empuk, seprai bersih, aroma lavender yang familiar.
Bukan bau bensin. Bukan panas api.
Ia menoleh cepat ke samping.