5. Saus dan Minuman

2274 Kata
Pelajaran olahraga hari ini, kami semua disuruh lari mutarin lapangan futsal oleh Pak Legi. Pemanasan katanya. Padahal badan gue memang sudah panas dari semalam, ditambah lagi cerita Glen tentang Gladis yang bikin gue seperti di kelilingi api unggun. Gue sudah lari sebanyak lima putaran. Kaki pun sudah meminta istirahat, padahal masih ada lima putaran lagi. Gue berhenti sebentar dengan napas tersegal. Anak-anak yang lain ada yang berlari, ada yang berlari kecil, ada yang berjalan, untungnya tidak ada yang ngesot. "Ayo Kinan! Lari!" seru Glen yang barusan ngelewatin gue. "Capek, gila! Gak adil, nih, masa jumlah putaran laki-laki dengan perempuan sama!" protes gue sambil berlari kecil di belakangnya. Macam biasa, Anakan Katak itu cuma tertawa. Dia berjalan mundur. "Yok, Nan, balapan. Yang kalah harus nerima ajakan yang menang." "Ogah!" dengan senang hati gue menolak. "Huu, gak seru, ayok laah," bujuknya. "Males!" Glen melambatkan langkah mundurnya. "Kinan cemen," cibirnya. Saat itu gue melihat peluang supaya bisa berlari lebih dulu. Sebelum Glen berlari lagi, gue tarik bajunya dan berlari secepat kilat meninggalkannya di situ. "Yang kalah nyuci piring!" seru gue. "Ih, dasar licik ...." Bukannya berlari, dia malah santai-santai dengan jalannya. Gue baru selesai diputaran ke-10. Kini napas gue benar-benar sulit diatur. Tubuh ini ikut terkapar di pinggir lapangan bersama anak cewek lainnya. Sedangkan gue lihat si Glen sudah bermain bola dengan teman-temannya. s****n! Berarti dari tadi anak itu sudah selesai lari. Glen melihat gue yang tak berdaya dan termakan tipuannya. Dia menghampiri sambil senyum-senyum menahan tawa. "Gak adil! Lo boongin gue," protes gue sambil duduk dan meluruskan kaki. Dia berjongkok di depan gue dan tertawa geli. "Gimana?" ledeknya sambil menaik-turunkan kedua alis. Tiba-tiba saja gue jijik melihatnya. Gue usir anak itu. "Pegi sana!" Dia malah ketawa, lalu membisikkan sesuatu di telinga. Membuat tangan gue reflek menutup bagian bahu kiri saat bisikan Glen menembus telinga hingga ke otak gue. Dia langsung bangkit dan berlari sebelum gue berteriak dan melempar sepatu yang sudah seminggu gak dicuci ke arahnya. "s****n! Dasar!" Dia tertawa tambah jadi karena sepatu yang gue lempar melesat dan tidak mengenainya. Glen melempar balik sepatu itu sambil bilang, "Benerin sana." Tawanya yang renyah terdengar. Memang dasar kurang ajar! Langsung gue pakai lagi sepatunya dan berjalan ke toilet sambil menarik-narik lengan atas baju agar menutupi bahu. Bikin gue malu saja. Di toilet, gue merutuki baju olahraga yang kebesaran ini. Padahal dari awal sudah memesan sesuai ukuran, tapi kenapa jadinya besar banget, mbeweh-mbeweh begini. Jangan-jangan waktu pembagian baju, kaosnya tertukar. Kalau begini jadinya malah bikin kerjaan lagi. Musti ngecilin baju di tukang jahit, nih. Pelajaran olahraga kali ini, gue gak semangat banget. Baju s****n ini mengganggu keaktifan bergerak. Mending gue pakai baju SMP kalau begini ceritanya. Setelah pelajaran olahraga selesai, gue jadi orang pertama yang ganti baju sebelum istirahat. Teman-teman yang lain memilih untuk jajan dulu di kantin, termasuk si Glen. Gue rapiin ikatan rambut yang acak-acakan akibat olahraga tadi. Setelah puas ngaca, gue keluar dari toilet. Baru saja berjalan lima langkah dari sana, kesialan menyapa dari arah yang tak terduga. Gue kepeleset plastik jajanan yang berisi saus, guys. Sakitnya mah gak seberapa, tapi malunya itu menusuk hingga ke tulang ekor. Beberapa anak ada yang tertawa melihat adegan jatuh yang memalukan. Sekarang gue malu, dan rok osis gue merah-merah karena saus. s**l banget hari ini. Lalu dua anak laki-laki di depan kelas itu, yang gue rasa adalah pelaku pembuangan plastik saus, mendekat dan minta maaf. "Ini, nih, mbak, pelakunya. Hajar aja," kata seorang laki-laki sambil menarik kawannya. "Mbak, mbak! Adek kelas peak!" Gue lihat pelaku pembuang plastik itu menjitak kawannya. Gue malu gak ketulungan. Mana ini daerah kelas sebelas pula. Bingung dan jengkel berdebat di dalam otak. Mau marah gak berani, mau langsung kabur tapi rok penuh saus. Hingga akhirnya gue cuma bisa bilang, "Tega amat, sih, Bang! Sakit, tau...," kata gue, sengaja menggunakan kata 'Bang' biar dia juga malu. Dan itu berhasil membuat temannya tertawa. Gue lihat nametag-nya, Bayu. "Hahaha, Abang tukang bakwan!" tawanya sambil mendorong bahu pelaku itu. Lelaki itu menggaruk tengkuknya dan bilang, "Maaf ya, Dek. Tadi pas ngelempar udah diprediksi bakal masuk tong sampah, tapi gagal." Akhirnya rasa malu gue hilang sebagian karena pelakunya minta maaf. Namun, kakak-kakak kelas di situ malah ngeledekin. "Hayolo, Ri! Tanggung jawab." "Parah, harus operasi itu." "Bawa ke rumah sakit." Apaan dah sumpah! Malu gue jadi balik lagi. Dikira mereka bakal ngeledekin anak laki itu doang, malah gue juga diledekin. "Iya sih, Ri! Parah lo ini, androknya kotor tuh," kata Bayu. Ari, si pelaku itu, membuka jaketnya dan nyuruh gue nutupin bekas saus di rok. "Yaudah nih, pake ini aja," katanya. Membuat Bayu dan temannya yang lain semakin menjadi-jadi meledeki kami. Sialan! Batin gue. Udah kayak di sinetron aja! "Eng, gak usah deh, gapapa. Yang penting besok-besok prediksi lemparannya harus pas, biar gak ada yang kepeleset lagi." Sebelum jalan menjauh, gue dengar mereka tertawa terpingkal-pingkal dan Ari bilang, "Wih, iya, Dek, makasih, loh," katanya ngangguk-ngangguk. Gue sudah sampai di kelas. Sepanjang koridor tadi, tersadar kalau perhatian anak-anak terpusat ke rok gue. Bahkan, beberapa kawan yang kenal melontarkan berbagai pertanyaan. "Kenapa rok lo, Nan?" "Abis main saos di mana lo, Nan?" "Kena apaan, tuh, Nan?" "Androk lo gak dicuci apa, Nan?" "Itu tembusan apa saos, Nan?" Gue jawab seadanya dan sejujurnya saja sambil buru-buru ke kelas. Beruntungnya tadi sepanjang koridor gak ketemu Glen. Kalau saja dilihat anak itu, pasti cocotnya yang mengeluarkan ejekan dan tawa itu terdengar menghebohkan. Namun, anehnya, saat Glen duduk di kursinya, dia sibuk bertanya tentang rok gue. "Memangnya kenapa rok lo, Nan?" "Ih, tau dari mana lo?" "Apa, sih, yang gue gak tau. M*sdal*pah kawin lagi aja gue tau," katanya. Gue bergidik ngeri mendengar ucapannya. "Dasar, penggosip," gumam gue. "Mana, coba liat." Glen sibuk mendorong-dorong bahu dan punggung gue supaya berdiri. "Apa sih anak ini." Gue pukulin tangannya itu. "Kena apa geh, Nan? Siapa yang nganuin?" Gak tahu gue juga kenapa Glen kepo banget. "Kepo amat, geh. Emangnya mau lo apain kalo tau orangnya?" "Mau gue nikahin sama m*sdal*pah," katanya. Gue reflek tertawa. "Ngapa gak lo aja." "Sorry ini mah, Gladis gak ada duanya." Hm. Sudah-sudah, gak usah dilanjutin. Buat gue pengin berenang di kolam saus jadinya. *** Matahari terus terbit dan tenggelam pada cakrawalanya. Sang bulan pun dengan setianya selalu memantulkan cahaya matahari untuk sang malam. Sedangkan pagi tidak pernah absen dalam memproduksi embun. Hingga senja datang menampakkan keindahannya. Sore itu, gue dengan Glen sudah janjian mau joging di stadion. Setelah sangat lama tidak main dengannya, akhirnya dia ngajak juga. Gue tahu dia sudah punya pacar, dan wajar kalau dia jarang main sama gue, tapi gak seharusnya tiap main sama gue, yang dia omongin itu Gladis. Kenapa sih, dia gak pernah paham kalau gue tuh, gak mau dengerin cerita dia. Sudah sering kali gue sindir-sindir, tapi tetap saja. Kali ini, rasanya gue setengah niat dan setengah gak niat nerima ajakan anak itu. Bosan gue, pasti dia bakal cerita tentang Gladis. Gladis yang seru lah, Gladis yang manja lah, Gladis yang lucu lah, yang cantik lah, yang imut, yang romantis, yang pengertian, yang penyayang. Halah! masih banyak lagi pokoknya. Gak ikhlas gue nyebutin semuanya. Ddrrtt drrttt drttt Antara sadar dan tak sadar, gue meraih HP di atas nakas dengan mata setengah terpejam. Tanpa melihat siapa penelpon, gue langsung menjawabnya. "Halo." "Nan! Bentar lagi gue otw, siap-siap!" ucap Glen dengan semangatnya. "Iya-iya ...," kata gue malas. "Bangun tidur tah, lo?" tanya pria itu. "Hmm ...." "Dasar kebo. Ya udah buruan." Tut. Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, gue mendudukkan tubuh di kasur. Kaki ini menggesek-gesek tempat tidur karena gatal. Nyamuk mana yang barusan gigit gue, awas saja kalau dapat, gue mulitasi. Tak sadar kaki yang gatal itu menyepak buku di atas kasur hingga membuatnya jatuh. Badan ini terlalu malas untuk mengambil buku itu. Sebelum bergegas mandi, gue ngambil baju di lemari dan berjalan ke kamar mandi. Sekitar lima belas menitan di kamar mandi, badan gue jadi seger. Sempat manggilin emak yang dari tadi tidak kelihatan batang hidungnya, ke mana perginya, perasaan kemarin baru arisan. Sambil menggosok-gosok rambut dengan handuk, gue berjalan ke kamar. Terus, gue dikejutkan dengan sosok anak kurang ajar yang sekarang tengah duduk di depan TV sambil baca buku diari gue. "Woy!" teriak gue sambil merebut buku dari tangannya. "Eh, yaelah, Nan, gue belom selesai baca." "Nan! Kinan!" Glen bersikeras ingin merebut buku itu balik. Bahkan, kami sampai rebutan pintu kamar karena buku itu. Gue berusaha menutup pintu sedangkan dia menahan pintu. Hingga akhirnya gue menyepaknya dan mendorong pintu itu dengan keras. Glen meringis. "Huu, pelit!" hardiknya dari depan pintu. "Biarin!" kesal gue. Sumpah, demi pintu kamar, gue kesal banget sama dia. "Btw, emang lo jatuh cinta sama siapa, Nan!" Jantung gue yang semula sudah deg-deg-an, kini jadi berdetak hebat. Kalau saja ada mesin buat ngecek detak jantung, mungkin detak jantung ini sudah seperti benang kusut. Mampuslah, mampuslah, mampuslah. Sekarang gue harus bisa sekuat mungkin meyakinkan Glen kalau itu bukan dia. Bersyukur gue karena gak pernah menuliskan secara terang-terangan nama dia di sana. Terimakasih Ya Allah, terimakasih. "Bukan urusan lo!" jawab gue. "Yaelah, Nan! Tega amat lo gak mau ngasih tau gue. Gue aja selalu ngasih tau elo," protesnya. Gue meneguk air ludah. Baru kali ini gue ngerasain keringat dingin. Bagaimana kalau gue bohong? Tapi siapa yang harus dijadikan batu loncatan? "Suka-suka gue, lah!" "Serius, lah, Nan ... masalah cinta ini, masa tega lo gak mau cerita sama gue. Lo anggap apa gue ini?" protesnya lagi. "Ya manusia, lah!" "Ih, parah ... jatuh cinta itu harus diutarakan, Nan. Sini, gue bantuin makanya. Siapa, sih, yang udah buat lo jatuh cinta?" "Bukan urusan lo, udah pegi sana!" "Wih, diusir gue. Katanya mau joging, Nan?" "Gak jadi! Pegi sama Gladis aja sana, ngapain ngajak-ngajak gue!" "Galak amat ... PMS tah, lo?" "Gak usah nanya-nanya!" "Dih ... ayolah, Nan. Gladis lagi pergi sama maminya jalan-jalan." "Ngapa lo gak ikut?" "Ya, gue sebagai orang yang mencintainya, menghargai waktunya sama maminya, lah." "Halah! Cinta-cinta taik ayam!" "Ih, PMS beneran lo ini." Gak gue jawab ucapannya. Biarlah, setidaknya dia tidak sibuk bertanya lagi siapa orang dibalik buku diari itu. Terdengar Glen yang masih membujuk di depan pintu saat gue sisiran. "Ayolah, Nan ... bosen gue gak ada kawan ...." "Kinan ...." Setelah puas bercermin, gue membuka pintu, lalu menyaksikan Glen yang tumbang karena sebelumnya dia bersandar di bidang pintu. Kaki gue reflek melangkah mundur. Gue menahan tawa saat dia meringis sambil mengelus bokongnya. "Aduuh ...." "Sukurin," cibir gue sambil berjalan duluan ke pintu depan. "Buruan! Mau gue kunci pintunya." "k*****t lo ya, Nan. Bukannya dibantuin kek," keluhnya. "Minta batuin Gladis sana." "Huu," keluh Glen yang siap menarik rambut gue, tapi tertahan. "Sensi amat geh tiap gue ngomongin Gladis," gumamnya. Gue pura-pura gak dengar dan mengencangkan suara kuncian pintu. Pukul 16.00 WIB, kami sudah sampai di stadion. Suasananya ramai, wajar saja karena akhir pekan. Gue sama Glen masih berjalan di lingkaran area berlari, kami masih pemanasan. "Glen, emangnya Gladis gak marah kalo lo maen sama gue?" Gue merasa gak nyaman dengan semuanya. "Nggak. Dia tau kok, kalo gue mau jogging sama lo. Kan, gue izin dulu." "Ooh ... bagus, deh." "Kenapa emangnya?" tanyanya. "Ya, gue gak mau aja kalau nanti dikatain perusak hubungan orang." Glen malah tertawa. "Ya nggak, lah," katanya sambil mendorong pipi imut gue. Gue lap pipi yang bersih lagikan harum dari sentuhan tangannya yang banyak daki. "Tangan lo bau." Glen reflek mencium tangannya. "Mana adaa, wangi gini," belanya. "Idung lo bermasalah," kata gue. "Gak percaya nih, nih, cium, nih!" Glen nempelin tangannya ke hidung gue. "Bau, ih," protes gue yang penuh dusta. "Idung lo berarti yang bermasalah!" Sekarang dia memencet hidung gue dengan geram sambil memegangi kepala. Jelas gue meracau karena gak bisa napas, dan dia malah tertawa di atas penderitaan orang. "Glen! Ih! Gak bisa napas!" Pukulan sudah siap melayang padanya. Namun, liciknya dia malah lari saat gue tengah kesal-kesalnya. Dia membuat gue berlari satu putaran stadion. Sekarang gue kecapekan dan gak berhasil nge-gebuk dia. "Haduh ... capek, istirahat dulu." Gue berhenti dan duduk berselonjor di pinggir lapangan, menyeka keringat yang membasahi dahi. Alamatnya bakal mandi lagi sampai rumah. Glen berhenti di sana dan tertawa melihat kelemahan gue. Dia pun melanjutkan larinya hingga satu putaran lagi. Selanjutnya, dia berhenti dan ikutan duduk berselonjor di sebelah gue. Dug! Akhirnya berhasil juga nge-gebuk bahu dia. Dia meringis. "Aawh, sakit, Nan ...," katanya. "Rasain." Lalu seorang wanita datang sambil membawa nampan yang terdapat minuman di atasnya. Dia menawarkan minuman itu pada kami. "Permisi, Mas, Mba. Kami lagi ngadain testi moni untuk produk baru kami. Kebetulan ini cocok banget buat pasangan kayak Mas dan Mbaknya. Boleh diambil Mas, Mbak," ucap wanita muda itu. Kami sempat saling pandang karena ucapan itu. Gue berniat mengklarifikasi ucapannya yang menyatakan kami pasangan. "Eee--" "Gratis, Mbak?" Glen malah bertanya antusias. "Iya, gratis, Mas. Asalkan mau difoto. Boleh, kan." Gue sudah melototi Glen, tanda kalau menolak. Namun, dia malah mengambil minuman itu sambil bilang, "Boleh kok, Mbak." Sialan. Gue bukannya gak mau, cuma gemetaran. Apa sih, maunya hati ini! Sebisanya, gue bersikap normal. Bersikap seperti biasanya tanpa ada sesuatu lain tergambar di raut wajah. Jangan sampai gue jadi salting. "1... 2... 3..." Cekrek. "Terimakasih, Mas, Mbak, semoga suka dengan produk kami, dan semoga langgeng. Permisi." "Iya, mbak, sama-sama," ucap Glen. Sedangkan gue cuma tersenyum dan mengangguk sambil membalas senyum wanita itu. "Ih, peak," lalu gue bergumam mendengar tanggapan Glen itu. Jangan tanyakan tentang hati. Please, jangan. Gue gak tahu sejak kapan jadi orang baperan kayak gini. Gue bahagia, gue senang, sesederhana itu. ______________ Dua bab hari ini :D Jangan lupa follow writernya :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN