Sejauh ini, hubungan gue sama Glen baik-baik saja. Juga tentang rasa yang ada di hati, alhamdulillah masih aman. Gue pikir ada baiknya kalau menjaga komunikasi sama dia. Belakangan ini, telinga gue sering banget dengar obrolan yang berbau cinta, cemburu, sahabat.
Gak salah, kan, kalau gue ngerasa ada di posisi itu. Bukannya GR, cuma pengin antisipasi. Jangan sampai gue banyak musuh gara-gara Glen.
Gue sampai di kelas setelah berjalan di koridor yang becek dan kotor. Hujan pagi ini membuat koridor yang dasarnya memang sering kotor menjadi sangat kotor.
Dari subuh, hujan sudah mengguyur kota kecil ini. Kota yang masih sedikit banyak terdapat pesawahan dan rawa. Sampai pukul 07.30 sekarang ini pun hujan belum juga reda. Meski tidak terlalu deras, tetap saja hal itu menghambat kegiatan pagi ini. Bahkan kelas baru terisi setengahnya, gue rasa setengahnya lagi masih berada di zona nyaman kamar masing-masing.
Tumben saja pagi-pagi begini perut sudah keroncongan, padahal biasanya gue sarapan jam 9 pagi saat istirahat. Cuaca dingin begini enaknya memang rebahan sambil ditemani s**u hangat dan bubur ayam. Gue jadi tambah laper karena pikiran sendiri.
Di kelas, gue gak punya teman khusus yang dekat selain Glen. Gue berteman dengan mereka seadanya dan seperlunya, dan anak-anak di kelas ini lebih suka ngobrol dan bermain dengan teman sebangkunya. Kalau begini akhirnya, gue jadi agak nyesel duduk sama Glen.
Menit sebelumnya gue masih merasakan ketenangan dan kedamaian kelas. Sampai akhirnya gue merasakan siksaan di telinga akibat suara cempreng cewek-cewek itu. Satu-satunya geng yang kalau ngobrol seenak udel dan ngerasa kelas milik sendiri yang lain ngekos.
"Serius lo jadian sama dia!!!"
"Iya...."
"What!!!"
Lalu teriakan kehebohan memenjara seluruh telinga tak bersalah yang ada di kelas. Bukannya gak berani protes, gue cuma malas jika akhirnya bakal berurusan dengan mereka. Gue mencoba sabar dengan lirikan tajam ke bangku mereka, lalu menyumpal telinga dengan earphone.
Terlihat dua anak laki-laki yang bukan penghuni kelas ini masuk dan berjalan ke bangku gengnya Dea. Pasti suara-suara cempreng mereka semakin jadi, beruntung gue gak dengar. Sekilas gue kenal dengan anak laki-laki itu, ternyata anak kelas sebelas yang kemarin buang sampah sembarangan dan bikin rok gue merah-merah.
Setelah itu, suara yang gak kalah memekakkan pun memenjara seluruh kelas. Kali ini Glen yang berteriak dengan semangat sambil berlari dan duduk di bangkunya.
"Kinaaaaan!!!"
Astagfirullah. Taubat aku Ya Allah. Ampuni dosa-dosa telingaku....
"Kinan! Kinan!" Glen menarik earphone yang menyumbat telinga gue dengan paksa.
"Apa-apaan, sih!" protes gue. "Gue bisa denger walaupun lo ngomong di dalem hati sekali pun!" kesal gue.
"Gak usah teriak-teriak!" Kali ini gue yang berteriak.
"Ya maaf, Nan...," melasnya.
"Ada apaan?" tanya gue atas panggilan antusiasnya tadi dan ingin memasang earphone kembali.
"Ya dengerin jangan pake hedset!" protesnya. Dengan malas, gue menurutinya dan memasang telinga untuknya.
Dia kembali bersemangat. "Ada info bagus! Gue mau daftar jadi ketua osis," katanya dengan sorot mata berbinar.
Gue diam sejenak dan siap untuk ngetawain Anakan Katak ini. "Pftt-- Hahahaha! Lo? Lo mau jadi ketua osis? Hahahaha!" Perut gue rasanya geli banget, nikmat sekali tertawa ini.
Glen menekuk wajah jeleknya dan menatap gue jengkel. "Sahabatnya punya niat baik bukannya didukung, diberi semangat, malah diketawain."
Gue mengatur napas dengan sisa tawa di tenggorokan. "Emangnya lo punya visi misi apa? Mau buat tanggal merah di hari senin? Hahaha!" Gue kembali tertawa mengejeknya.
Seperti yang gue tahu, Glen paling malas saat upacara bendera. Tak jarang dia bolos sekolah saat hari senin, atau ngumpet di kantin saat upacara, bahkan dia pernah pura-pura sakit dan tidur di UKS. Lebih seringnya, dia berdiam diri di atap bangunan sekolah, padahal semua murid tahu kalau di atas sana angker.
"Awas aja lo, ya, kalau gue jadi ketua osis! Gue suruh lo berangkat sekolah naek angkot. Hahaha!"
Gantian gue yang nekuk wajah. "Memangnya ketua osis berhak apa nyuruh-nyuruh!" protes gue.
"Berhak membuat peraturan, dong. Nanti gue buat aturan biar seluruh murid naek angkot ke sekolah, biar supir angkot cepet kaya. Hahaha!"
"Lo supir angkotnya," cibir gue sambil bangkit dan beranjak pergi.
"Mau ke mana, Nan?"
"Toilet."
"Ngapain?" tanyanya. Sungguh sebuah pertanyaan retoris bagi gue.
"Mau bantuin nenek gayung nguras bak mandi terus nemenin dia ketemu suaminya biar cepet-cepet cerai supaya bisa dinikahin sama lo!"
Glen terbengong.
"Ya mau pipis, lah!" kesal gue.
"Ya sapatau aja, kan, mau ngocok arisan."
Gue sudah siap mau ngejitak kepalanya pakai HP yang dari tadi tak lepas dari tangan, tapi gue sayang sama HP-nya, ntar lecet. Glen tertawa ketika gue berjalan keluar kelas.
Gue masih berdiam diri di toilet. Sudah gue buang segala macam air di dalam perut, tapi rasanya perut ini masih sakit dan sangat sakit. Rasanya melilit dan mau muntah. Kayaknya gue mau datang bulan.
Gue merutuki sakit perut bulanan ini. Kenapa harus datang saat di sekolah. Kalau datangnya dari tadi subuh, kan, gue bisa izin gak masuk sekolah. s**l banget.
Bel masuk sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Sepanjang koridor menuju kelas, kepala gue pusing dan rasanya gak enak mau ngapa-ngapain, penginnya cuma rebahan sambil guling-guling di kasur. Gue masuk ke kelas setelah mengucap salam, sudah ada Pak Yulius di sana. Gue tahu kalau Pak Yul ini baik, jadi langsung disuruh duduk.
Glen melihat gue heran. "Kenapa lo balik-balik lemes gitu?" tanyanya.
"Diemlah," jawab gue malas.
Gue telungkupkan kepala di atas meja sambil mengeluhkan perut yang sakit. Mana gak bawa minyak kayu putih. Gue elus-elus perut ini, berharap dia berdamai dengan rasa sakit dan keadaan sekarang ini.
"Kenapa, sih, Nan?" Glen yang dari lahir memang sudah kepo pun tak henti-hentinya bertanya. Membuat gue jadi pengin nendang anak ini sampai keluar galaxi bima sakti.
Gak gue jawab ke-kepo-an-nya itu.
"Nan," bisiknya sambil menoel bahu gue.
"Diem!" tegas gue walaupun berbisik. Pak Yulius sedang menjelaskan materi bahasa indonesia di depan.
"Lo abis ngapain?" bisiknya lagi.
Gue mencoba sabar dengan keadaan yang sebenarnya sangat sulit untuk bersabar.
"Lo gak abis ngapa-ngapain, kan?" tambahnya.
"Gue nanya serius, Nan...," bisiknya sekali lagi.
"Diem!!!" perintah gue yang reflek dengan suara keras.
Seketika jantung gue langsung berdetak kencang. Kini anak-anak di kelas memusatkan perhatiannya ke bangku gue dengan Glen, termasuk Pak Yul.
"Kamu nyuruh saya diam?" tanya Pak Yul yang spontan menghentikan penjelasan materinya. Anak-anak yang lain tertawa, termasuk Glen.
"Ng-nggak, Pak..., maaf..., dia gangguin saya, Pak," gue mengaduh sambil menunjuk Glen.
"Nggak, saya cuma nanya Pak, gak gangguin," Glen membela diri.
"Sama aja ngeganggu itu," balas gue ke Glen.
"Ya nggak, lah, orang nanya baik-baik, geh."
"Mana ada baik-baik!"
"Sudah-sudah, tolong kalau mau menyelesaikan urusan rumah tangga di rumah saja ya, Ayah, Bunda," ucap Pak Yul yang lebih terdengar seperti meledek. Sekali lagi anak-anak sekelas tertawa mengejek.
"Maaf, Pak...," kata gue.
Sebagai pihak yang membuat onar barusan, gue mengalah. Jangan sampai gue jadi tambah marah-marah karena tamu yang datang di waktu yang salah ini. Baru kali ini gue halangan hari pertama di sekolah, mana sakitnya gak tanggung-tanggung.
Waktu istirahat pun gue jadi gak nafsu makan, padahal pagi tadi perut ini keroncongan. Bahkan, sekarang gue belum sempat membeli pembalut dan memakainya. Perut gue gak sanggup untuk berdiri. Kalau saja gak punya malu, sudah ngesot gue dari tadi.
Mau minta tolong Glen beliin, tapi gue masih waras. Akhirnya gue minta tolong Ira yang barusan bangkit dari duduknya dan berjalan ingin keluar.
"Ira...," panggil gue.
Dia berhenti dan menoleh. "Kenapa, Nan?"
"Gue minta tolong, sih, Ra. Beliin gue pembalut," kata gue pelan. "Perut gue sakit banget, gak sanggup bangun."
"Kamu halangan hari pertama, ya? Kenapa gak ke UKS aja, Nan?" ucap Ira.
"Ada orang gak di UKS?"
"Gak tau. Tapi kalau kamu mau ke UKS, aku anterin."
"Yaudah, deh, Ra. Kayaknya rebahan di sana enak, deh."
Ira bantuin dan nemenin gue ke UKS. Dia juga yang jalan ke kantin dan beliin gue pembalut. Gak akan gue lupain kebaikan Ira ini, terimakasih yang sebanyak-banyaknya gue ucapin ke dia. Katanya, dia pun senang bisa bantuin gue.
Gue minta tolong Ira supaya dia ngizinin ke Miss Vio kalau gue sakit dan gak masuk di pelajarannya. Setidaknya di UKS ini, gue bisa rebahan dan mengatur posisi biar sakitnya terminimalisir. Di sini juga gue ketemu anak PMR, dia ngasih obat nyeri. Gue sempat ngobrol sama dia, namanya Muti.
"Lo kelas 10 apa?" tanya gue.
"10 IPA 1."
"Oh, anak IPA. Gue IPS 3."
"Sekelas sama Glen, ya?" tanyanya.
"Lo kenal?" tanya gue heran.
"Iya, yang pacarnya Gladis itu, kan?"
Baru ingat kalau Gladis kelas 10 IPA 1. Gue ingat itu karena terbayang suara Glen yang selalu menceritakan Gladis. Sampai warna cat tembok kamarnya Gladis pun dia kasih tahu ke gue. Gak penting banget, kan. Ngapa gak sekalian warna tahinya dia kasih tahu!
"Eee, lo sahabatnya?" tanya Muti.
Gue menatapnya, mencoba mencari sesuatu tersirat dari matanya atas pertanyaannya.
"Iya," jawab gue.
"Gue denger-denger, kalian deket banget, ya?"
Gue ngerasa gak enak dengan pertanyaannya. Rasanya pengin gue cari orang yang ngomong-ngomongin itu. Emang ya, anak-anak zaman sekarang ini banyak yang suka julid.
"Emang lo denger dari mana?" tanya gue balik.
Dia menggerakkan matanya ke kanan, ke kiri, memamerkan bulu matanya yang lentik, selentik perosotan water bom.
"Banyak, kok, yang bilang," katanya sambil menatap gue lurus. Sekarang rasanya seperti kami sedang perang mata.
Gue berdeham. "Gue kasih tau sama lo. Jauh sebelum Glen kenal sama Gladis, gue udah deket sama dia." Gue balas tampangnya yang menantang itu dengan penuh keyakinan.
"Yaa, sebenernya gak penting, sih, buat gue. Gue cukup tau aja." Dia mengukir senyum, entah senyum apa itu.
"Yaudah, gue duluan. Gws, ya...," ucapnya sebelum meninggalkan UKS.
"Makasih," kata gue, membalas senyum yang dia beri.
Gue rebahin tubuh di kasur sambil mencari posisi wenak. Sempat berpikir tentang ucapan Muti, membuat gue menggaruk-garuk kepala pusing. Dalam waktu satu menit ini, sudah sembilan belas kali gue ganti posisi. Seluruh kasur di dalam UKS sudah gue cobain. Mulai dari yang seprainya lusuh tak terawat, sampai yang bersih, harum, mewangi yang sekarang gue tempatin.
Gue taruh kepala ke ujung kasur sehingga sekarang darah gue turun ke otak karena posisi kepala yang menggantung, sedangkan badan telentang di kasur. Gue bisa ngelihat ujung rambut yang hampir menyentuh lantai. Suara keluhan dari tenggorokan gue gak berhenti dari tadi.
"Ya Allah, Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim, Allahuma sholi'ala sayidina Muhammad...
"Bismillah... Bismillah... Bismillah... A’udzu billahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir...
"Ya Allah...! Hilangkanlah...!"
Plok.
Gue tepuk bagian perut gue yang sakit setelah bosan mengelus-ngelusnya, berharap sakitnya hilang.
"Lo gak lagi ngisi, kan, Nan?"
Suara yang sangat-sangat familiar itu membuat gue membuka mata dan berteriak.
"Aaaaaaa!!!"
Glen yang terkejut jadi ikut berteriak, "Aaaaa!!"
Gue langsung bangun dari berbaring dan ngelemparin anak itu pakai bantal guling di atas kasur.
"Ngapain lo di sini! Muncul tiba-tiba! Bikin shok aja! Keluaaarr!!"
"Eh, Nan..., sutt... suutt...."
Gue diam sejenak dengan bantal tertahan di tangan karena isyaratnya itu keluar bersamaan raut wajah yang panik.
"Apa!" seru gue.
"Jangan berisik, nanti gue dimarahin," ucapnya.
Gue menurunkan bantal yang tadi siap menghajar Glen karena melihat suster penjaga UKS sudah berdiri di belakang Glen.
"Gue udah susah payah diem-diem masuk sini mau nengokin elo. Malah dilem---"
Ucapan Glen itu berganti jadi suara teriakan karena suster UKS menjewer telinganya.
"Aaaaa! Ampun Suster..., saya janji gak ngulangin lagi...," ucapnya setelah menyadari siapa yang menarik telinganya.
Dengan geram Suster Ana berkata, "Kalau ngulain lagi?"
"Yaa saya janji lagi...."
Ucapan Glen itu membuat Suster Ana tambah geram. Hasilnya dia dihukum, disuruh berdiri di atas kursi sambil mengangkat kain pel dan ember. Gue cuma bisa tertawa di tempat gue sambil mendekat ke jendela, menyaksikan Glen yang dihukum Suster Ana di depan UKS.
Hahaha! Habisnya, sih, dia ngeyel. Suster Ana sudah bilang gak boleh dan nyuruh dia balik ke kelas, tapi dia malah mencari cara agar tetap masuk.
Pulang sekolah itu gue puas ngetawain dia. Sekalian merayakan sakit perut yang sudah hilang, gue meledeknya dengan memperagakan tubuh persis seperti dia di hukum.
"Terus aja, Nan. Gak gue tebengin, nih," ancamnya. Membuat gue mengalah dan tidak mengejeknya lagi, padahal gue masih mau ketawa.
Karena hujan tadi pagi, gue gak bawa motor. Jadi, gue terpaksa naik angkot. Gue sudah menyiapkan segala sesuatunya, seperti memakai masker, menyumpal telinga dengan earphone dan mengeraskan volume musik, lalu memejamkan mata. Setidaknya semua itu membuat mual gue terminimalisir. Sekarang, tinggal melakukan hal yang sama di dalam mobil Glen.
Dan gue harus melalui ujian ini. Ujian cinta yang sungguh menyayat hati. Menyaksikannya bercanda ria dengan Gladis. Sedangkan gue cuma bisa pura-pura tidur sambil mendengarkan obrolan mereka.
Setelah cukup lama mereka ngobrol tanpa mempedulikan kalau ada nyawa di belakang, Glen pun bertanya.
"Nan, sehat?" kata Glen sambil melihat ke kaca atas, mengecek kondisi gue yang hampir berkarat.
Gue pura-pura gak dengar. Mata gue terpejam dan mulut gue tertutup masker. Telinga gue memang tersumpal earphone, tapi musiknya gak nyala. Entah kenapa gue mau mendengarkan obrolan mereka, padahal hati ini rasanya sudah tersayat-sayat. Inikah yang dinamakan menyiksa diri sendiri?
"Dia tidur?" tanya Gladis yang gue rasa barusan melihat ke belakang.
"Udah biasa," kata Glen yang memang sudah terbiasa.
"Maksudnya...?"
"Kinan itu phobia naek mobil. Setiap naik mobil pasti mabok, makanya dia tidur. Ditambah lagi, anak itu kalo udah tidur, bangunnya susah. Harus dipencet dulu idungnya, biar gak bisa napas, biar bangun," jelas Glen cekikikkan.
Memang dasar si mulut lemes! Pikir gue. Bikin malu aja.
"Oh," jawab Gladis yang sepertinya menyesal telah bertanya.
Menit berikutnya, Glen memulai obrolan kembali.
"Kamu mau langsung pulang atau apa?" tanya Glen.
"Terserah," jawab Gladis.
"Kok, terserah, sih...."
"Ya terserah! Mau langsung pulang juga gak papa."
Glen tak langsung menjawab. Untuk beberapa saat tak terdengar suara dari mereka. Gue jadi ngerasa bersalah, meski gak sepenuhnya. Dari suara Gladis itu, gue mengerti maksudnya. Dia sedang marah.
"Aku turun di sini aja."
"Ha? Mau ngapain turun di sini?"
"Suka-suka aku lah mau turun di mana."
Gue benar-benar ngerasa gak nyaman sekarang.
"Kamu marah, ya?"
Suara Gladis tak terdengar lagi. Gue cuma mendengar suara Glen yang membujuk. Sedikit gue membuka mata dan menyesal karena telah membukanya. Glen terus membujuk Gladis sambil menggenggam tangannya meski berulang kali Gladis menolak.
Gue sungguh merasa bersalah dan... sedih.
Harusnya gue gak berharap sedikit pun supaya Glen jatuh cinta sama gue. Gue pikir, setiap sentuhan yang gue terima dari dia bisa membuatnya jatuh. Namun, tidak. Gue terlalu naif. Gue sendiri yang menjadikan sakit itu ada. Bukan Gladis, apalagi Glen.
Katanya hati gak pernah salah.... Mana buktinya...?
_______________
Jangan lupa klik lovenya ya, follow juga writer-nya ;)