Sebentar lagi musim ulangan tiba, dan semangat belajar malah merosot. Gue gak pernah kayak gini sebelumnya. Apa yang salah? Jangankan belajar, mau jalan ke dapur buat ngambil minum saja gue malas banget.
"Astagfirullah!"
Emak yang lagi nyiapin makanan di meja makan kaget ngelihat gue yang merayap di lantai.
"Ma, minta minum," ucap gue sambil ngelus-ngelus kaki emak.
"Apa-apan kamu ini. Bangun!" perintahnya setelah geleng-geleng kepala.
Dengan malas, gue menurutinya dan menjatuhkan b****g di kursi makan. Lalu menuang air di teko ke gelas dan meminumnya.
Glek. Glek. Glek.
"Aaaah...."
Akhirnya tenggorokan gue yang tadinya seperti padang pasir jadi banjir.
"Bukannya sebentar lagi mau ulangan? Tumben gak belajar di rumah Glen?" tanya emak gue yang barusan menaruh tempe goreng di meja makan.
Gue menggelengkan kepala lambat sambil memakan sepotong tempe buatan emak. Asin, tapi enak. Gue mengambil sepotong lagi, dan sepotong lagi, dan lagi. Hingga emak memukul tangan gue sambil bilang, "Malah diganyang."
Gue cuma cemberut, tapi tetap mengganyang tempe itu.
"Makan pake nasi sana," suruhnya. Tapi gue gak lapar.
"Ma,"
"Hm?" sahutnya.
"Kalo Glen ke sini, bilang aku lagi tidur. Jangan disuruh masuk, ntar dia reseh," pesan gue sebelum meninggalkan dapur.
"Kenapa memangnya?"
"Lagi males belajar sama dia, hooamm...," kata gue sambil menguap ngantuk.
"Coba cek dulu, sapatau dia udah di depan," suruhnya.
Gue mendengarnya samar-samar dan bertekad agar tak melakukan suruhannya. Lalu gue menyesal telah keluar kamar. Nampak Glen sudah berdiri di depan pintu kamar gue sambil menyandarkan punggung di kusen pintu. Dia menaik-turunkan alisnya, protes.
Sudah terduga. Anakan Katak ini pasti datang ke sini untuk maksa belajar. Padahal sudah berkali-kali gue bilang "Males" via chat.
"Katanya udah tidur?" protesnya.
"Memang udah tidur. Ini lagi mimpi. Minggir," gue mengusirnya dari menghalangi pintu kamar.
Glen diam saja, tumben gak reseh. Gue memutuskan untuk berhenti sebentar dan melihat raut wajahnya yang menyebalkan. Detik berikutnya, dia mulai menggunakan jurus jitunya.
"Kinan temenin gue belajar, huhuhuhu. Kak Gilang nyuruh gue belajar, dan gue gak mau belajar sendiri nanti dimarah-marahin karena gak bisa-bisa, hiks...," katanya dengan suara tangis abal-abal sambil memeluk kaki gue.
Oke, gue sungguh menyesal karena telah memutuskan untuk berhenti sebentar dan melihat raut wajahnya.
Gue membuang napas pasrah sambil berjalan di belakangnya yang penuh semangat. Terdengar suaranya yang bersenandung ria sambil menikmati langkahnya. Untuk pertama kalinya, langit malam ini menjadi saksi kalau gue gak semangat berjalan ke rumahnya untuk belajar. Suara sendal gue yang ngesot di aspal pun menjadi saksi kalau kaki ini enggan melangkah.
Glen menghentikan langkahnya ketika sampai di gerbang rumah. Dia melihat gue yang masih tertinggal jauh dengan langkah terseret-seret sambil menggendong buku cetak dan buku tulis. Gue menyadari tampangnya yang geram. Dia pun kembali berjalan ke arah gue dan mengaitkan tangannya ke leher lalu menyeret supaya gue mempercepat langkah.
"Buruaaan!" geramnya. Gue cuma manut, mengikuti kehendak alam.
Sepertinya muka gue sudah cocok banget jadi zombie. Kepala gue juga dari tadi sudah oglek-oglek mau jatuh. Namun, gue berusaha untuk tetap mempertahankan pikiran dan mata agar memerhatikan penjelasan Kak Gilang.
Nyatanya usaha itu gagal. Kak Gilang menjentikkan jarinya di depan mata gue yang terpejam. Membuat gue terkejut dan buru-buru menyadarkan diri.
"Iya, gak, Nan?" tegasnya.
"Ha? Iya Kak," jawab gue asal.
Kak Gilang tertawa kecil. "Tumben ngantuk, Nan?"
"Iya, nih, Kak..., banyak pikiran," jawab gue yang sepertinya masih gak sadar.
Glen mendorong pipi gue. "Halah, gayaan banyak pikiran. Udah kayak ibu-ibu rumah tangga."
Gue mengaduh, "Iiihh!" geram gue yang hampir saja meninju jidatnya.
Kalau saja dia tidak memasang kuda-kuda tangan, sudah pasti tinjuan itu mendarat di jidat kerasnya. Glen cekikikkan, sedangkan Kak Gilang hanya tersenyum simpul.
"Yaudah kalian kerjain soalnya. Kakak mau ke dalem dulu." Kak Gilang meninggalkan kami.
Gue baru bisa menguap sekarang. Sambil meregangkan otot-otot tubuh, dengan sengaja gue arahin tangan ke muka Glen. Membuat kepalanya yang sedang fokus pada soal jadi terdorong. Tumben-tumben saja dia niat mengerjakan soal.
"Bangunin gue kalo Kak Gilang ke sini," pesan gue sebelum menidurkan kepala di meja.
"Yaelah, bukannya dikerjain malah tidur." Cuma itu yang mau gue dengar, sisanya hanya bualan tak berfaedah yang lolos dari mulut bawelnya.
"Kinan...."
Belum ada satu menit gue memejamkan mata. Anak itu sudah mencet-mencetin pipi gue pakai pena.
"Hmmhh!" Gue singkirin penanya itu.
"Jangan tidur..., Kinan...."
"Dieem!" perintah gue meski dalam keadaan terpejam. Gue memalingkan wajah yang sebelumnya menghadap ke arahnya.
Lalu dia pindah posisi dan terdengar suaranya yang cekikikkan dengan penanya di pipi gue. "Kayak squishy."
Gue membuka mata dan menatapnya dengan pelototan membunuh. Membuat dia berhenti dan kembali ke tempatnya untuk melanjutkan soalnya. Akhirnya, gue bisa tidur nyenyak.
Dalam waktu yang gak terlalu lama dan gak terlalu singkat itu, gue bisa dengan nyaman memejamkan mata dan mengistirahatkan otak. Tapi, tidak dengan hati. Ternyata hati gak pernah istirahat. Kenapa? Gue juga belum tahu.
Rasanya lelah... lelah sekali. Seandainya mengungkapkan isi hati itu mudah.
Pasti menyenangkan.
Berbagi kasih sayang...
Saling mengerti...
Mencintai...
Dan cintai....
Seandainya mencintai itu mudah....
Tidak, pada hakikatnya, mencintai memang mudah. Yang sulit itu membuatnya jatuh cinta padamu. Dan yang lebih sulit lagi, harus menyadari bahwa dia telah mencintai seseorang yang juga mencintainya. Apakah pantas kamu berdiri di antara mereka?
Aku tidak tahu. Hatiku pun tidak mau tahu apa yang dia rasakan. Dia telah jatuh, sejatuh-jatuhnya.
Jangan sampai dukun bertindak.
"Kinan!"
Tanpa aba-aba untuk mengisi darah ke otak, gue langsung mengangkat kepala. Barusan Glen mengguncang tubuh gue dan menyadarkan dari alam bawah sadar. Gue lihat Kak Gilang kembali berjalan ke arah kami. Dia meletakkan beberapa jajanan ringan dan minuman botol di atas meja.
"Sudah?" tanya Kak Gilang.
"Sudah," kata Glen.
Gue yang masih belum sadar sepenuhnya menyadari perubahan raut wajah Kak Gilang saat melihat wajah ini. Gue cuma bisa nyengir. Pasti Kak Gilang seperti itu karena gue belum sama sekali mengerjakan soalnya, tapi kayaknya bukan. Glen tersenyum geli sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya saat Kak Gilang memandang ke arahnya.
Gue merasakan keusilan yang Glen lakukan. Pasti ada sesuatu yang dia buat untuk ngerjain gue. "Kenapa, sih?" protes gue.
"Nggak papa," dustanya.
Kak Gilang tertawa geli sambil menggelengkan kepala. "Makanya Kinan, jangan tidur," katanya. Tumben saja Kak Gilang manggil Kinan, biasanya juga nama asli gue.
"Ya udah kita bahas soalnya."
Kak Gilang menghapus papan putih kecilnya yang sebelumnya berisi materi matematika.
Gue mencoba untuk tidak mempedulikan bentuk keusilan Glen dengan memerhatikan Kak Gilang. Namun, saat gue menundukkan kepala dan ingin menulis, gue lihat samar-samar pantulan wajah gue di kaca meja. Gue baru sadar kalau Glen telah mencoret pipi gue dengan tulisan.
"Iihh!" geram gue dan langsung memukul bahunya.
"Aw!" serunya kaget. "Apa, sih, Nan," katanya pura-pura gak tahu sambil menahan tawa.
Gue mengusap pipi lalu mengambil HP dan membuka kamera untuk melihat dengan jelas coretan spidol hitam di pipi mulus gue.
Hi, I'm Kinan :)
Sialan dasar. Mana susah dihapus lagi. Dia mencoretnya pakai spidol kecil warna-warni yang biasa kami gunakan untuk mewarnai tulisan. Warna hitam spidol itu memang terang dan susah dihapus. Untung saja dia tidak menggunakan spidol papan tulis. Kalau saja dia pakai itu, sudah gue pastikan dia gak akan tidur nyenyak malam ini.
Glen tertawa terpingkal, puas dengan hasil keusilannya. Apalagi pas gue menggosok pipi dengan botol minuman dingin yang terdapat sisa air di sisi botolnya. Setidaknya ini bisa membantu menghapus coretan jahanamnya.
"Hahaha! Sini-sini gue bantuin," katanya sok baik mau ngebantuin gue membersihkan pipi.
"Gak usah, tangan lo bau!" kesal gue sambil menyingkirkan tangannya.
"Orang mau dibantuin, malah gak mau...."
"Gak!"
"Jangan marah-marah, Nan..., nanti cepet tuua...," katanya.
"Bodoamat."
Sekarang hasilnya pipi gue jadi ada bekas hitam. Awas saja kalau besok sampai timbul jerawat akibat noda yang dibuatnya.
***
Hari jumat ini bakal jadi hari terakhir kegiatan belajar mengajar di semester ini. Senin besok dan beberapa hari ke depan, kami akan melaksanakan ujian kenaikan. Setelah itu, class meeting dan libur panjang. Yeay! Liburan! Hore! Dan gue mungkin cuma rebahan. Kondisi gue yang mabukan ini tidak memungkinkan untuk perjalanan jauh.
Mungkin gue cuma jalan-jalan naik motor, mengelilingi kota kecil yang asri ini sambil menghirup oksigen sebanyak-banyaknya setiap pagi dan petang. Menyambut ayam jantan berkokok dan matahari terbit. Menanti indahnya senja dengan segelas teh tarik di Warung Bude. Pasti tak jauh menyenangkan dengan jalan-jalan ke luar kota.
Rasa malas dan ngantuk gue menjalar hingga hari ini. Jam kosong pelajaran terakhir ini membuat gue tertidur pulas di dalam kelas yang kacau balau dengan kegiatan masing-masing. Ada yang ngobrol, ngerumpi, ngomongin tupperware. Ada yang main bola, main engklek, gerobak sodor bahkan panjat pinang. Ada juga yang diam termenung meratapi nasib, seakan hidup tak mampu, mati pun tak mau. Sedangkan gue memutuskan untuk berkeliling dunia lewat mimpi.
Gak tahu sudah sampai negara bagian mana, tiba-tiba saja gue terkejut dengan suara Glen yang berteriak di telinga.
"Kinaaaaaan!"
"Hah!" Gue langsung menegakkan badan dan merasakan oksigen yang menipis di paru-paru.
"Nah, bangun juga akhirnya. Dari tadi dibangunin dengan segala cara gak mempan-mempan," kata Glen. Gue tahu, pasti barusan dia mencet hidung gue, makanya sekarang gue kekurangan oksigen.
"Ngapain, sih, lo itu gangguin gue tidur aja bisanya!" kesal gue.
"Masih mending daripada gangguin orang mati," guraunya.
"Arrghh!"
Glen tertawa. Entah karena leluconnya sendiri atau karena kekesalan gue.
"Udah bel pulang, tau. Makanya gue bangunin. Emangnya lo mau tidur di sini sampe pagi?" katanya dengan senyum geli sambil mengaitkan tasnya ke bahu.
Gue cuma mendengar kata-katanya sambil membereskan buku yang tadi belum dibereskan. Glen pamit keluar duluan dengan suara tawa terakhirnya.
"Gue duluan, ya. Kitorang tunggu di mobil."
Gue cuma bergumam dengan rasa jengkel yang masih tersisa. Kenapa, sih, dia selalu tertawa. Padahal gak ada yang lucu. Perasaan senang sekali kalau buat gue marah.
Dengan malas, gue bangkit dan mengaitkan tas ke punggung. "Duluan, ya, Ra," kata gue sambil melewati Ira yang sedang piket.
Ira melihat gue sambil tersenyum. "Eh, Nan...."
Gue lanjut berjalan meskipun mendengar suara kecil Ira yang masih memanggil. Rasanya pengin cepat sampai rumah dan melanjutkan tidur. Bahkan sekarang sepertinya gue masih setengah sadar. Apalagi saat orang-orang di sepanjang koridor ngelihatin gue. Sebagian di antara mereka memanggil nama gue, Kinan. Gue merendahkan hati dengan menjawab panggilan mereka lewat dehaman, meski hanya dehaman paksa.
Lalu langkah gue terhenti di ujung koridor, dan kesadaran kembali seutuhnya. Gue mendengar suara anak yang tertawa. Langsung saja gue mengambil HP dan membuka kamera, melihat wajah yang lagi-lagi terkena keusilan Glen. Kali ini dia menulis tulisan:
Panggil aku Kinan
Gue sudah berancang-ancang dengan napas yang naik-turun sangat cepat.
"Gleen!!!"
Suara teriakan yang memekakkan itu membuat anak-anak lain kebingungan dan yang lainnya lagi tertawa.
Gue melihat Glen yang sedang berjalan bersama Gladis. Tanpa menunggu lagi, langsung saja gue samperin mereka. Mereka terkejut karena gue tiba-tiba berhenti di depan mereka dengan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun.
Glen terlihat menahan sesuatu dalam dirinya, dan gue menurunkan sedikit emosi saat bicara dengan Gladis. "Pinjem sebentar, ya," kata gue dengan senyum paksa.
Gladis terlihat bingung. Sekarang biar gue tunjukkan sesuatu yang membuatnya bingung itu dengan menjambak rambut Glen dan menggigit lengan atasnya dengan geram. Gue gak tahu sedang sadar atau tidak sampai melakukan hal ini. Sebelumnya, gue gak pernah ngegigit dia kayak gini.
"Aaw! Iya-iya, Nan..., ampun! Akhh!"
Tapi gue masih geram dan gak akan berhenti menyakitinya. Gue sudah cukup tersakiti atas hal ini. Sampai akhirnya, Glen meracau karena tak kuasa menahan gigitan di lengannya meski terlapisi lengan baju. Lalu dia tak sengaja menabrak orang hingga membuat kami jungkir balik.
Padahal gue sudah melepas gigitan saat menyadari Glen mengalami gravitasi yang membuatnya harus nyungsep. Namun karena semula dia memegang kepala dan bahu gue untuk melepas gigitan, membuat gue juga tertarik dan harus merasakan kejadian seperti di sinetron!
Ada rasa dingin, hangat, manis, pahit, senang, dan jengkel yang gue rasakan. Sebelum segalanya menjadi heboh, gue melawan diri agar buru-buru bangkit sambil menyempatkan untuk memukul bahunya. Sepertinya gue menghancurkan hati seorang gadis. Glen berdiri dari jatuhnya dan ingin nyamperin Gladis yang barusan berjalan duluan.
Dia sempat berhenti dan nyuruh gue bangun karena gue masih nyaman duduk di lantai ini. Gue mengisyaratkannya agar berjalan duluan dengan gerakan kepala. Tanpa berlama-lama lagi, dia ngejar Gladis yang pasti marah besar. Kejadian kemarin saja membuatnya marah, apalagi ini. Gue juga gak tahu kenapa Glen masih ngebolehin gue bareng mereka.
Gue mengusap pipi yang masih menampilkan coretan itu. Lalu bangkit dan bergerak ke toilet, menghapus keusilannya. Dari pantulan kaca itu, gue bisa lihat air yang menghapus coretan dan air yang mengalir dari pelupuk mata. Meski mereka sama-sama air, tapi rasanya berbeda.
Untuk kedua kalinya, toilet ini jadi saksi bisu atas air mata gue. Sulit... ini sangat sulit....
Kling.
Glen : "Nan maap ya gue duluan. Gladis ada urusan."
Glen : "Atau nanti gue jemput lo lagi ke sekolah."
Gue sengaja mengulur waktu. Gue bisa naik ojek, tapi sedihnya ojek tidak ada. Oke, mungkin akhir pekan kang ojek pada liburan. Jalan kaki pun tak akan terasa kalau kondisinya seperti ini.
Sekuatnya, gue menahan air mata yang sangat berharga ini agar tak jatuh di jalanan. Tak ada lagi yang boleh menjadi saksi bisu atas air mata ini, cukup toilet saja. Terlalu banyak rasa di dunia ini. Gue pikir, selama ini rasa pahit adalah rasa paling buruk di antara rasa. Ternyata pahit saja tidak cukup.
Ada rasa yang tak biasa...
Yang mulai kurasa...
Yang entah mengapa...
Mungkinkah...
Ini bertanda...
Aku jatuh cinta...
Cintaku yang pertama...
~Mikha Tambayong~
Gue memutuskan untuk berdiam diri di kamar dan menguncinya. Menghindari pertanyaan emak yang tak henti-hentinya bertanya, kenapa baru sampai rumah jam 18.00.
"Nandira!" serunya dari depan pintu.
"Tadi di sekolah banyak tugas, Ma. Makanya pulangnya lama," dusta gue.
"Bukannya senin ulangan, masa masih banyak tugas."
Gue terlalu bodoh untuk membohongi emak gue.
"Tugasnya di luar pelajaran," kata gue dengan suara tertahan.
Terdengar suaranya yang mengembus napas pasrah. "Yaudah mandi dulu sana. Pulang sekolah bukannya beres-beres mandi, bersihin badan, malah langsung ngamar."
Gue gak akan keluar sampai besok pagi. Ajakan Glen untuk belajar pun seluruhnya gue tolak dengan baik. Dia gak bisa maksa gue malam ini.
Suara bujukannya di depan pintu kamar gue masih bertahan meski gak gue respon. "Ayolah, Nan...."
"Kak Gilang udah nungguin, tuh...."
"Senin ulangan, loh...."
Lalu, gue dengar suara emak.
"Yaudah, Glen, kalau dia gak mau belajar...," katanya. "Emangnya tadi di sekolah ada tugas apa?" tanyanya.
"Nggak ada tugas, tuh, Te...," jawab Glen.
"Kata Nandira ada tugas. Dia baru sampe rumah jam 6 tadi."
"Jam 6!?"
"Iya, makanya Tante juga gak percaya. Dari mana dia ini!" tegas emak gue.
"Eee..., tadi emang ada sedikit persiapan buat clasmet, Te. Makanya agak lama, hehe. Yaudah, deh, Glen pulang aja. Makasih, Te...."
Pendusta... tidak apa... setidaknya dia pergi dan membuat emak gue percaya.
Tapi ternyata, tidak. Dia tidak benar-benar pergi.
"Kinan...."
Gue terkejut dengan suara bisikan dari arah jendela.
"Nan, lo marah ya sama gue?" suara itu muncul lagi.
"Gue bukannya gak mau ngejemput lo lagi tadi, tapi karena gue--"
"Pergilah Glen. Gue gak papa," gue memotong penjelasannya.
"Maap, Nan..., coba buka kalo emang gak papa." Dia mengetuk kaca jendelanya.
Hal itu justru tambah membuat air mata gue ngalir bersamaan dengan sesak di d**a.
"Kinan...."
Tek.
Gue mematikan lampu kamar. Memberinya isyarat kalau gue sudah ingin tidur.
"Yaudah, deh ... bye ...," lirihnya.
Dan kini gue benar-benar bisa membuatnya pergi.
_____________
Ingat, jangan lupa klik lovenya untuk cerita ini dan follow authornya :*