Setelah peristiwa hari itu, gue merasakan sesuatu yang gak biasa, seperti cara orang memandang. Aneh, emangnya salah gue apa?
"Hai,"
Gue menghentikan langkah karena sapaan Gladis. Dia berdiri dan memberikan undangan. Awalnya gue kira itu undangan pernikahan dia dengan Glen. Otak ini terlalu gila sampai-sampai memikirkan hal itu.
"Dateng, ya." Gladis memberikan undangan pesta ulang tahunnya.
"Hm..., oh, happy birthday," ucap gue setelah bingung mau ngomong apa.
Gladis tersenyum simpul. "Nanti. Bukan hari ini," katanya dengan tatapan penuh. Dia melanjutkan langkah setelah mengatakan itu.
Gue juga melanjutkan langkah. Mata gue menatap kosong sambil memikirkan sesuatu, bukan pelajaran. Padahal saat ini pelajaran lah yang harus dipikirkan. Namun, di benak gue terpikir soal Gladis. Tatapannya itu membuat gue takut kalau dia membaca hati yang menanam cinta pada Glen.
Sepertinya memang harus menjaga jarak dengannya. Jangan sampai seseorang mana pun menyadari dan memiliki bukti atas perasaan yang sudah tersimpan baik-baik. Tentu saja gue gak mau jadi perusak hubungan orang.
Gue beruntung karena ujian ini. Kursi kami yang sebelumnya rapat-rapat kini menjadi renggang. Hal itu diatur guru untuk meminimalisir contekan. Dan gue berjanji pada diri sendiri untuk tidak memberi contekan pada siapapun, termasuk Glen.
Bunyi bel membuat anak-anak masuk ke kelas masing-masing. Ujian akan segera dimulai. Gue menyadari Glen yang sudah duduk di kursinya dan menadah tangan berdoa. Menit berikutnya dia menoleh dan berkata, "Nan, kalo gue nanya--"
"Gak," gue potong ucapannya itu. Walau dia tidak melanjutkan ucapannya pun gue sudah tahu maksudnya. Pasti dia mau minta contekan.
Glen memanyunkan bibirnya. "Pelit!" katanya.
"Biarin."
Jam istirahat itu, gue diam di kelas. Dari jendela kelas terlihat fenomena menggelitik di lapangan futsal. Anak-anak bandel itu dihukum lari mengelilingi lapangan. Sudah tahu sedang ujian, mereka malah bermain bola, bukannya belajar. Hal itu membuat guru BK geram. Seperti ingin mencubit ginjal mereka.
Gue tertawa melihat Glen dan anak lainnya yang sedang diocehi Bu Efril. Pasti mereka menyesal karena telah bermain bola hingga mendapat amukan Bu Efril yang kalau sudah ngoceh akan sulit berhenti.
"Emang ya anak-anak IPS ini! Sudah tau lagi ulangan, bukannya belajar malah main bola! Giliran nilainya kecil disuruh remed gak mau!"
Kami tertawa kecil melihat Glen yang kini berkeringat, dia sedang mengejek ocehan Bu Efril. Bahkan memperagakannya persis dengan gaya Bu Efril yang berkacak pinggang dan nunjuk-nunjuk.
"Awas ya kalau nanti ibu liat nilai kalian jelek! Ibu suruh lari muterin t**i sapi."
Gue dan beberapa anak laki-laki yang tadi dimarahin Bu Efril pun pecah tawanya mendengar ucapan terakhir Glen, yang sebenarnya tak diucapkan Bu Efril. Glen menutup mulutnya yang suka reflek bicara seenaknya. Dia mengisyaratkan untuk diam, takut ketahuan oleh Bu Efril.
Memang dasar si mulut lemes. Apalah yang ada di benaknya itu. Dan apalah yang buat gue bisa jatuh cinta dengan makhluk ini. Mungkin humornya dan sentuhannya. Namun sayangnya, cinta ini bertepuk separuh tangan. Cintanya telah milik orang lain.
Mau dibawa ke mana perasaan ini? Mau sampai kapan kayak gini terus? Coba pikir, memangnya siapa yang mau jadi seperti ini? Gue juga gak mau.
Tapi...
Gue mengembus bosan. Ujung-ujungnya pasti nyalahin hati. Emangnya siapa yang gerakin hati? Kenapa gak dia yang di salahin? Kenapa harus hati? Hati itu gak salah apa-apa. Dia adalah organ yang paling jujur. Hanya saja sering dikendalikan oleh hawa nafsu.
Glen menjentikkan jarinya, membuat gue sadar dari lamunan. Anak-anak yang lain sudah pada pergi setelah puas ngadem di sini. Tempat duduk gue dengan Glen ini memang strategis, ada kipas angin di atas bangku kami.
"Ngelamun aja. Mikirin apa, sih?" tanyanya.
"Mau tau aja."
"Mau tau banget ini mah. Gak usah kebiasaan nyimpen masalah sendiri, kasih tau buruan!" Tiba-tiba saja dia jadi kesal.
Seandainya urat malu ini putus, tentu sudah gue teriakin di telinganya itu kalau gue jatuh cinta padanya! Namun, entah beruntung atau merugi, gue masih punya malu dan gak akan mengatakannya. Mau taruh di mana muka ini kalau sampai berani ngomong begitu. Belum tentu Glen akan membalas. Dan mungkin saja malah membuat berantakan hubungan gue dengan dia, juga hubungannya dengan Gladis.
"Lo gak percaya sama gue, Nan!" tegasnya karena gue belum bersuara.
Gue coba mengontrol emosi yang bergejolak dengan membaca buku agama, sebentar lagi masuk dan ujian agama islam dimulai. Anak ini bukannya pergi malah masih duduk di meja sambil melototin gue.
"Udah sana pergi, ganggu gue belajar aja."
Gue mendorongnya dari meja, membuatnya berdiri dan pindah ke kursinya, meninggalkan meja gue yang kini hangat karena bekas bokongnya.
Dia terlihat geram dan ingin meremek muka gue. "Dasar Kinan!" kesalnya.
***
Glen Tyo Handika, tiga kata, empat belas huruf, satu nama, dan sangat berarti. Gue gak tau sudah sejauh mana mencintainya. Kalau lah ada jarak yang sangat jauh, sudah tentu sejauh itulah cinta gue padanya.
Kepada siapa gue harus bercerita. Buku diari saja tidak cukup untuk mengungkapkan semua cinta ini. Gue butuh makhluk yang bisa memberi saran, tapi gue gak berani mengungkapkannya.
Kalau cerita ke emak ... ah, nggak. Bisa-bisa habis gue diocehin plus di-julid-in. Emak gue juga pasti gak setuju kalau gue sudah cinta-cintaan.
Ira...? Salah gak ya kalau cerita sama dia.
Gue menoleh ke bangkunya yang terletak di ujung kelas. Kira-kira kalau cerita, dia bakal jawab apa? Gue memperkirakan tentang jawabannya.
"Hah! Lebih baik kamu ngomong aja sama dia dengan jujur."
Buru-buru gue menggelengkan kepala dan berhenti mempertimbangkan ingin cerita ke siapa. Sudahlah, biar gue simpan sendiri saja.
Malam ini kami akan pergi ke pesta ulang tahun Gladis. Semua perlengkapan gue dan kado untuknya sudah disiapkan dari pagi. Sesuatu yang mengusik pikiran gak bisa berhenti dari hari saat Gladis memberi undangan. Apa yang harus gue lakukan ketika melihat sesuatu yang menyakitkan nanti.
Menangis? Ah, terlalu cengeng. Berlari? Itu terlalu ngetarain. Menjauh? Mana bisa, Glen nyuruh gue bawain kadonya. Lalu terbesit ide berlian di benak gue, pura-pura buta. Ya kali gue harus pakai kacamata hitam!
Belum selesai perasaan ini tercabik-cabik karena Glen minta gue bantuin dia nyari hadiah buat Gladis. Sekarang gue harus jadi saksi hidup atas pemberian hadiahnya pada Gladis.
Hati ini terlalu lemah untuk cinta yang salah. Raga ini sangat keberatan untuk menampung hati yang berisi cinta yang salah. Kisah cinta gue sungguh ambyar. Sangat sulit untuk dilanjutkan, tapi tidak bisa dihentikan.
Tin. Tin.
Glen sudah sampai dan gue sudah siap, tapi... hati gue belum siap. Gue pandangin wajah cantik yang menampilkan raut sedih di cermin. Dia begitu enggan untuk melangkah keluar. Dia tidak ingin merasakan sesak yang menghalangi jalan napas. Dia tidak ingin melihat sesuatu yang menyakitkan. Dia sudah lelah dengan kenyataan ini.
Paras itu tak akan membuat dia jatuh cinta. Make up indah yang menempel di wajah itu tak akan berpengaruh padanya. Wangi parfum yang menyengat pun tak mungkin mampu membelokkan perasaannya. Apalagi hanya dress putih selutut.
Tin. Tin.
Sekali lagi Glen memencet klaksonnya. Gue meneguhkan hati. Dengan perasaan tegar, gue mengangkat kado Glen yang telah gue bungkus untuk Gladis. Gak lupa juga kado pribadi gue untuk Gladis.
Perlahan agak cepat, gue berjalan keluar dengan langkah tegar. Lalu, langkah tegar itu terhenti ketika mendengar respon Glen.
"Astagfirullah, Kinan! Lo tuh mau pergi ke pesta ulang tahun apa arisan PKK?"
Gue menatapnya sebal. "Kenapa emangnya?"
"Dandan dikit, tah," ujarnya.
Tadi, gue memang sudah dandan rapi. Tapi karena merasa tak ada gunanya, jadi gue hapus dan bersiap melangkah. Gue menutup pintu dan duduk di samping kemudi setelah menaruh kado di jok belakang.
"Dah, jalan," ucap gue dengan suara datar, namun tegar.
Glen mengembus napas panjang dan menjalankan mobilnya. Sepanjang jalan gue berlatih untuk menahan mual. Sambil melatih otak, gue coba membayangkan sesuatu yang tenang seperti air dalam botol. Hal itu dapat membuat impuls yang dikirim otak jadi netral sehingga tidak membuat perut gue mual.
Namun, Glen yang tiba-tiba membelokkan stir dan berhenti mendadak ini membuat tubuh gue terdorong. Menjadikan syaraf sensorik gue mengirim impuls ke otak berupa serangan yang kini membuat mual. Buru-buru tangan ini menutup mulut dan menahan sesuatu yang ingin keluar. Setelah itu, gue bisa protes.
"Glen, apa-apaan, sih!"
"Sekarang lo turun, terus minta mba-mba di dalem situ ngerias muka lo."
Dahi gue berkerut heran. Glen menunjuk salon kecantikan di sana. Ternyata barusan dia memarkirkan mobilnya di depan sebuah salon. Apa-apaan ini, gue merasa terendahkan sebagai seorang perempuan.
"Gak mau, ah!" tolak gue.
Sekarang dia malah turun dan membuka pintu di samping gue, memaksa supaya turun dan menuruti suruhannya. Glen menarik tangan ini dan menutup pintu mobil. Lalu menyeret masuk dan mendudukkan b****g gue di kursi rias salon itu. Gue gak ngerti apa yang terjadi barusan. Glen nyuruh mba-mbanya untuk ngerias muka gue.
"Mba, tolong riasin ya, tapi jangan lama-lama. Yang penting rapi dan..., cantik."
"Tapi--"
Glen menahan bahu gue agar tetap duduk, diam, dan manut. "Gak ada tapi-tapi."
Dia beranjak dan menunggu di kursi tunggu ketika mba yang akan merias muka gue mengangguk, meng-oke-kan permintaan Glen.
Gue merasakan tangan yang bergetar sambil meremas bagian bawah dress yang gue pakai. Pristiwa apa ini? Hati ini gak bisa menerimanya dengan normal. Sesuatu yang tadi telah gue ajarkan untuk tegar, kini menjadi lemah dan berbunga bahkan berkupu-kupu.
Nggak. Nggak boleh. Gue harus bisa menahan ekspresi wajah. Kaca rias yang lebar ini bisa membuat Glen melihat muka yang memerah padam seperti kepiting rebus. Kursi tunggu yang Glen tempati berada di belakang kursi rias yang gue duduki.
Dengan jelas, gue bisa melihatnya dari pantulan cermin, begitupun dengan dia. Meski sedikit terhalang oleh sang perias, tidak membuat gue mengalihkan perhatian darinya pada detik-detik ini.
Gue lihat Glen sedang mengutak-atik HP-nya. Kemeja yang dia gunakan sangat keren, membuatnya jadi tambah perfect. Matanya yang indah dengan bulu mata lentik dan alisnya yang tebal membuat sorot matanya tajam ketika menatap, tapi juga bisa menjadi sendu jika mengiba. Kulitnya memang tidak terlalu putih, tapi itu justru membuatnya terlihat macho. Bibirnya terukir indah dengan warna yang sangat alami, gue tahu banget kalau dia bukan perokok.
"Alisnya mau dicukur gak, Mba?" tanya perias sambil merapikan rambut atas gue sebagai sentuhan terakhir.
Lamunan gue terbuyar ketika Glen mengangkat kepalanya setelah mendengar ucapan perias wajah.
"Jangan Mba," ucap gue panik. "Nanti botak, dong," sambung gue.
Dia tertawa. "Ya nggak lah, Mba. Dicukurnya itu sambil dibentuk."
"Gak usah cukur alis, Mba. Biarin aja kayak gitu."
Gue kaget karena Glen sudah berdiri di dekat kami.
"Oke, Mas, sudah selesai," kata perias itu sambil membereskan alat riasnya.
Oke, oke, tenang Nandira. Sekarang gue harus apa? Rasanya benar-benar gugup dan takut salah tingkah. Ayolah, kuatkan hatimu dan tahan semu di wajahmu.
Gue keluar duluan ketika Glen membayar biaya rias. Pada kesempatan ini gue coba mengembalikan ketegaran hati. Jangan sampai hal ini membuat hati ini tak terkendali. Suara pintu salon membuat gue memutar badan dan melihat Glen yang baru keluar.
"Udah?" tanya gue memastikan sambil berlatih tegar.
Dia menatap gue agak lama, lalu bilang, "Nah, gitu kan, cantik," katanya.
Gue cuma tertawa kecil. Padahal dalam hati sudah gak tau seperti apa rasanya. "Makasih," jawab gue santai.
Dia tertawa. "Kayaknya nanti bakal ada yang dapet pacar baru," ledek Glen sambil ngedorong bahu gue dengan bahunya ketika kami berjalan menuju mobil.
"Apaan, sih. Gue gak berani memulai hubungan."
"Coba aja dulu, Nan."
"Nggak."
"Haha. Dasar Kinan!"
Kami sampai di lokasi pesta ulang tahun Gladis. Acaranya diadakan di puncak, tempat bersantai untuk renang sekaligus bar and resto. Baru saja kaki gue melangkah, mata ini sudah dimanjakan oleh indahnya dekorasi dan kerlap-kerlip lampu. Suasananya ramai dan meriah, seluruhnya memakai dresscode. Perempuan memakai gaun putih dan laki-laki memakai kemeja abu-abu. Gladis sendiri yang memilih dresscode ini, dan itu sesuai dengan tema putih abu-abu yang dia ambil.

Gladis menghampiri kami setelah selesai berbicara dengan beberapa temannya. Dia memang cantik sekali, ditambah dengan gaun yang melekat padanya, membuat Gladis terlihat seperti princess.
Dia memakai gaun berwarna hitam selutut dengan tali lengan berukuran kira-kira 5 cm melingkar di pundaknya. Warna gaunnya yang gelap itu membuat kulitnya seperti memancarkan cahaya. Rambutnya dibiarkan terurai sebagian, dan sebagiannya lagi dikepang melingkar ke belakang. Hal itu terlihat tambah indah karena tiara rambut mutiara melekat di sisi kepangannya.
"Hai," sapanya pada kami.
Gue cuma tersenyum dan sedikit mengalihkan pandangan saat mereka bersenda gurau. Andai gue bisa membuat telinga tidak berfungsi sebentar saja. Glen mengambil tas kadonya dari gue dan memberikannya pada Gladis.
"Happy Birthday, Dear...."
Gladis tertawa kecil dan menerimanya dengan sangat bahagia. Kali ini gue gak bisa mengalihkan pandangan. Dengan perasaan yang harus dipaksakan, gue tersenyum dan memberikan hadiah padanya.
"Happy Birthday,"
Gladis tersenyum dan menerimanya. "Makasih, Nan..., harusnya lo gak perlu repot-repot ngasih gue hadiah. But, thanks."
"Gue..., gak repot, kok."
Sekali lagi dan lagi gue memaksakan diri untuk tersenyum dan terlihat bahagia. Glen merangkul tubuh Gladis, begitupun dengannya. Mereka memang terlihat sangat cocok. Glen yang penyayang dan Gladis yang manja.
"Sini aku bawain," kata Glen, menawarkan diri untuk membawakan tas kado yang dipegang Gladis. Mereka beranjak ke bar utama.
Gue baru bisa mengembuskan napas, membuang segala keperihan yang dari tadi menyekap rongga d**a. Selanjutnya hanya harus bertahan dan menunggu waktu pulang. Kursi dingin yang dilapisi kain itu kini gue duduki. Gue sengaja memilih tempat yang tidak mengarah langsung ke bar utama, dan gue hanya kenal beberapa orang di sini.
Ternyata Gladis juga mengundang kakak kelas, dan tidak semua anak kelas 10 dia undang. Hanya teman sekelasnya saja dan sebagian dari kelas lain yang hanya kenal dekat dengannya. Gue cuma melihat rombongan Dea yang sekelas dengan gue, sisanya anak kelas lain.
Suara pembawa acara sudah terdengar, kami semua disuruh berdiri untuk mengawali acara. Gue sudah berdiri tidak jauh dari tempat duduk, sedangkan yang lain berusaha untuk berjalan ke depan. Hal itu membuat tubuh ini tersenggol-senggol karena tidak ingin melangkah maju. Hingga akhirnya membuat seseorang tak sengaja menabrak dan menumpahkan minuman ke baju gue.
"Hah!" Gue terkejut dengan rasa dingin pada kaki sebelah kanan.
"Sorry, gue--"
"Eh, gak papa, gak papa."
Gue mencegah dia dari berlutut untuk membersihkan tumpahannya. Baru gue sadari setelah bertatap wajah dengannya, dia orang yang pernah membuat gue kepeleset plastik saus.
Gue mengambil kesempatan ini untuk pergi ke toilet. Setidaknya tumpahan ini memberikan keberuntungan buat gue agar tidak menyaksikan sesuatu yang menyakitkan di sana.
_______________
Hm, gimana, nih :D. Klik lovenya untuk cerita ini ya, follow juga writernya :)