Berhenti menanam perasaan pada orang yang gak bisa merawatnya. Karena gue tau rasanya jika tanaman itu layu... bahkan mati.
-Nandira Kirana-
***
Sudah 10 menit lamanya kaki ini mondar-mandir di toilet. Sekalian mengulur waktu, tangan gue enggan membuka knop pintu. Naluri mengatakan kalau berdiam diri di toilet lebih baik daripada melihat sesuatu yang menyakitkan di luar sana.
"Duuhh!"
Pintu toilet pun berkeringat menyaksikan keraguan gue. Sudah berkali-kali mengulur tangan untuk membukanya, namun selalu saja terlintas tentang takutnya penyesalan.
Jarum jam tepat menunjukkan pukul 20.30 WIB. Mungkin sudah waktunya pulang, tapi mana mungkin secepat itu. Acaranya bahkan baru dimulai setengah jam yang lalu. Napas gue terembus pasrah, gak ada alasan lagi. Mau gak mau gue harus terima, bukan bersembunyi kayak gini.
Namun, hati seperti memerintah kaki agar tidak keluar. Sedangkan otak bersikeras nyuruh keluar, dan didukung oleh lambung yang berdemo minta makan.
Gue menatap cermin untuk terakhir kali, dan kali ini harus berhasil melawan rasa takut hati. Dalam hitungan ketiga, gue membuka pintu dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
Namun keberadaan lelaki di depan pintu membuat tubuh yang barusan dilatih agar baik-baik saja jadi terlonjak.
"Haah!" gue menarik napas spontan dan sedalam-dalamnya.
Kedua tangan pun reflek terangkat sambil memejamkan mata akibat sosok itu. Dia berdiri di hadapan gue dan siap menolong kalau-kalau mengalami gravitasi karena terkejut.
"Eee, sorry..., lagi," katanya dengan rasa bersalah.
"Lo ngapain di sini?" tanya gue setelah mengembuskan napas sambil mengembalikan keadaan tubuh.
Dia melihat bagian baju yang tadi ketumpahan minumannya. "Gue cuma mau mastiin kalo lo gak papa."
Gue menarik napas lagi. "Gue gak papa. Makanya kalo jalan jangan sambil minum. Makasih sebelumnya dan..., permisi."
Kembali gue lanjutkan langkah tegar menuju tempat pesta. Tempat di mana gue harus berlatih sabar dan terbiasa. Ya, pokoknya harus terbiasa dengan ini. Sampai kapan pun gak ada gunanya kalau cuma bisa merasakan sakit dan sakit. Gue harus terbiasa supaya dapat keluar dari penderitaan ini.
"Eh, Nandira."
Dan langkah tegar itu terhenti. Gue menoleh ke arahnya dengan tatapan heran. "Kok, tau nama gue?"
"Gue juga tau tanggal lahir lo, alamat rumah lo, juga nama orang tua lo."
Gue sempat terpaku dan menatapnya penuh selidik. Apa maksud orang itu. Jangan-jangan dia punya niat jahat.
Terpaksa gue berjalan cepat ke arahnya, lalu protes. "Terus lo mau apa kalo tau nama orang tua gue? Mau ngatain nama emak bapak gue!?"
Dia diam sebentar. Lalu, tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata.
Apanya yang lucu? Bukannya memang sudah kebiasaan teman sebaya seperti itu, ngatain nama orang tua. Bahkan gue sudah mengalaminya sejak duduk di bangku SD.
"Hahahaha! Ha ha aduhh, sabar, berenti dulu, perut gue sakit...."
Gue menatapnya sebal. Dia pun berhenti dari ketawanya setelah menyadari tatapan itu.
"Apa!" kata gue kesal.
"Gak lucu, tau." Gue melanjutkan langkah setelah menatapnya sinis.
"Eh,"
Suaranya itu gak kedengaran lagi karena jarak yang gue buat. Kakak kelas itu mengganggu fokus saja! Sudah susah payah melatih diri untuk tegar, sekarang malah ambyar karena rasa sebal.
Kembali gue dudukan b****g di kursi semula. Sebagian tamu undangan sedang menikmati hidangannya, sebagiannya lagi asyik dengan hiburan di bar. Dan kepala gue pusing karena mode lampu DJ ini. Ditambah lagi dengan suara yang bising, membuat pita suara ingin berteriak.
Tangan gue menopang kepala di atas meja sambil mencoba menutup telinga. Lalu, terasa tepukan ringan seseorang mendarat di pundak.
"Nan!" serunya di antara suara bising musik DJ.
"Apaan?" kata gue yang sudah tahu itu suara Glen.
"Lo gak makan?"
"Gak, deh. Kepala gue muter-muter rasanya."
"Gue ambilin, nih?" tawarnya.
Gue menolehkan wajah ke arahnya. "Napsu makan gue ilang..., terus rasanya pengen--humpp!"
Langsung gue tutup mulut ini sambil menahan sesuatu yang ingin keluar. s****n! Otak gue gak bisa nerima situasi dan keadaan, setiap terbesit kemauan untuk pulang, rasa mual menyerang. Ini karena syaraf-syaraf gue tahu kalau nanti bakal naik mobil lagi. Seandainya tadi bawa motor sendiri, pasti gue sudah pulang dari tadi.
Glen menyodorkan gelas berisi sirup dan nyuruh gue minum. Namun, rasa mual justru makin terasa setelah meminumnya.
"Ini apa?"
Glen yang juga gak tahu pun bertanya dengan gerakan kepala pada orang yang tadi memberinya minuman itu.
"Koktail."
"Koktail," kata Glen memberi tahu, padahal gue sudah dengar tanpa dia kasih tahu lagi. Dan anehnya dia berteriak histeris setelah mengatakannya.
"Whaat!? Kenapa lo kasih--!" protesnya pada orang itu.
Gue cuma diam karena belum tahu itu apa. Melihat Glen yang panik dan narik tangan gue dengan cepat menuju toilet, gue cuma manut dengan langkah terseret-seret.
Sekarang kami berdua berada di dalam toilet, di depan wastafel, dan dia maksa gue buat muntah.
"Mending sekarang lo muntahin, Nan!" serunya.
"Haa?" Gue yang masih belum mengerti cuma bisa masang raut cengo.
"Udah buruan muntahin!" geram Glen sambil mengarahkan kepala gue ke wastafel sambil memijati tengkuk.
Gak tahu lagi gimana caranya menolak. Padahal gue malu banget kalau harus muntah kayak gini. Namun, perut yang memang sudah mual dan urat malu yang gak berfungsi membuat gue memuntahkan sesuatu.
Tangan gue membuat reflek yang bagus karena langsung menyalakan keran. Sekarang rasanya asam lambung naik dan cuma bisa memuntahkan air. Lalu samar-samar gue mencium bau alkohol.
Sambil terbatuk-batuk dengan mata berat gue protes padanya, "Lo kasih gue minum alkohol!"
Glen mengaitkan tangan yang lunglai ini ke pundaknya. Dia membopong keluar toilet menuju tempat semula. "Gue gak tau kalo itu koktail, Nan."
"Halaah!" protes gue dengan suara sayup.
"Lo gak papa, kan?"
Gue cuma ngangguk dengan mata setengah terpejam. Kepala ini sekarang rasanya benar-benar pusing dan tak berenergi. Gue baru ingat kalau belum makan nasi dari pagi.
Glen melepaskan kaitan tangannya saat gue merosotkan tubuh ke kursi dan menidurkan kepala di meja. Gue masih bisa mendengar suara musik yang bising dan suara Glen, hanya saja tak ada daya untuk merespon. Rasanya cairan tubuh gue hilang hampir seluruhnya.
"Lo beneran gak papa, kan, Nan? Kok lemes banget gitu, sih," kata Glen yang barusan mencoba mengangkat tangan gue yang berat.
Plok!
Gue menggunakan sedikit kekuatan untuk menggeplak pipinya dengan geram. Seenaknya saja mengangkat tangan orang dan menjatuhkannya tanpa aba-aba. Dia meringis kesakitan, padahal geplakan gue gak kuat-kuat amat.
"Sakit!" protes gue sambil mengangkat kepala sedikit dan menidurkannya lagi.
"Gue yang digaplok, dia yang sakit," kata Glen dengan wajah cemberutnya dan cibirannya.
"Perut gue sakit...." Meskipun cuma bergumam, gue harap Glen mendengarnya. Namun, pada kenyataannya, suara musik di sini mengalahkan segalanya.
"Makanya makan, Nan, biar gak sakit perut."
Ternyata gerakan tangan gue membuat Glen mengerti. Dia bangkit dari duduknya setelah berkata, "Tunggu sini, gue ambilin."
Tapi gue menahan ujung bajunya, membuat dia berhenti dan melihat kepala gue menggeleng. "Gue mau pulang aja."
"Sekarang?"
Gue mengangguk yakin. Sambil membujuk melalui tatapan mata, gue harap kami bisa pulang sekarang.
Dia mengembus napas setelah berpikir beberapa saat. "Yaudah yok," ajaknya.
Rasa syukur bahagia sungguh tercurahkan. Gue pikir Glen bakal nolak dan nyuruh gue balik naik ojek, tapi ternyata tidak. Dia kembali mengaitkan tangan gue ke pundaknya. Padahal gue masih bisa berjalan sendiri tanpa bantuannya, tapi gakpapa, deh.
Mungkin gak seharusnya gue merasa senang pada saat-saat begini, tapi entahlah. Perasaan itu menjadi penenang, meski sesaat dan tanpa sepengetahuan siapa pun. Gue harap suara detak jantung ini tak sampai ke telinganya, dan biarkan kami bertahan... sebentar saja.
Gak ada kesempatan dalam kesempitan, hal ini terjadi dengan sendirinya tanpa diminta. Ingin sekali rasanya untuk berharap sekali lagi. Karena cinta tak pernah salah, maka berharaplah.
Namun segala harapan itu terasa hancur berkeping-keping. Bagaikan ranting pohon yang patah dan jatuh ke jalanan, terombang-ambing oleh angin, hingga akhirnya lebur karena terinjak-injak bahkan terbakar. Gue lupa tentang sosok yang telah mendapatkan cintanya.
"Dis."
Gladis menoleh ke arah kami karena panggilan Glen. Saat itu pula, segala harapan yang baru saja gue bangun beberapa detik yang lalu, hilang.
Semua orang tahu arti mimik wajahnya, yang menyembunyikan cemburu di balik senyuman. Bodoh, gue menjadikan diri sendiri terlihat bodoh. Ke mana perginya rasa malu? Wahai diri yang diliputi cinta! Tidakkah kau malu berada di posisi seperti ini?
Perlahan gue melepaskan kaitan tangan di pundaknya dan membuat jarak yang cukup... jauh. Gladis membantu kami dan menyuruh gue duduk di kursi dingin dekat situ.
"Kenapa?" tanya Gladis.
"Gak sengaja minum," jawab Glen sambil mengisyaratkan minuman yang dimaksud. Gladis mengerti dengan ekspresi itu.
"Kalian mau pulang?"
"Eee...,"
Gue membuang pandangan ke arah lain. Seharusnya gue tahu kalau mereka ingin bicara pribadi, tapi kaki terasa enggan untuk melangkah pergi.
"Aku mau ngomong sekarang."
Glen sempat bingung, tapi tertawa kecil setelahnya. Lalu suara mereka mengecil dan menjauh. Oh, tidak. Apa gue melakukannya lagi?
Perut yang tadi terasa sakit pun jadi mati rasa, begitu juga kepala. Sempat gue merutuk sambil memukul jidat, menyadari apa yang seharusnya tidak terjadi. Tangan gue menopang kepala di atas meja, dan lambung menahan hati agar tak jatuh, tapi nyatanya lambung pun tak memiliki energi yang cukup.
Gue sedikit tersentak karena Gladis duduk di kursi sebelah setelah meletakkan segelas minum di meja. Gak ada waktu untuk berlatih Nandira, berusahalah untuk terlihat biasa tanpa perasaan.
"Kepala lo masih pusing?" Gladis membuka obrolan.
Gue mengangkat kepala dan menyandarkan tubuh seperti yang dilakukan Gladis.
"Sedikit." Ucapan itu keluar dari bibir yang berdusta.
"Minum," pintanya.
"Makasih...," kata gue sambil mengambil pemberiannya dan meminumnya.
Gue menyadari tatapan dalamnya. Kalau saja gue gak berani bertanya, sesuatu yang memalukan mungkin akan menyapa.
"Ada yang salah?"
Dia mengembus napas panjang. "Sedikit."
"Eee..., maaf kalo gue--"
Gladis memotong ucapan itu. "Gue maafin," katanya dengan tatapan serius.
Entahlah, rasanya seperti...
"Dengan syarat, jauhin Glen," sambungnya.
Meski itu hal yang sungguh sangat gue rasakan pedihnya, tapi elakkan harus tetap keluar untuk menyembunyikan segalanya.
Gue tertawa. "Pasti. Tanpa lo minta gue juga bakal ngejauhin anak itu, kok, lagian siapa yang tahan dengan keusilannya. Kan?"
Gue berharap keseriusan di wajah Gladis luntur karena ucapan santai itu. Namun tidak, dia malah semakin serius.
"Jadi itu yang lo suka," jawabnya.
Sepertinya gue salah bicara. Mengucapkan tentang keusilannya justru membuat gue awkward.
"Gue tau lo punya perasaan ke Glen, entah rasa sahabat atau yang lain. Tapi, emangnya bisa cewek sama cowok sahabatan?"
"Ke--!"
Gue menghentikan sendiri ucapan itu. Benar kata Gladis, memangnya bisa? Dia mengatakan apa yang gak pernah gue pikirkan.
"Udah berapa lama? Yang gue tahu kalian bersahabat sejak kelas 5 SD. Apa sejak itu juga perasaan lain tumbuh di hati lo?"
"Mana mungkin...," dan gue cuma bisa bergumam.
"Bukannya egois. Tapi Glen udah milih gue, dan gue gak mau berbagi, apalagi terbagi."
Sekarang rasanya angin di sini seperti uap es, semakin lama semakin membuat beku. Air kolam di hadapan kami mungkin akan membeku lebih dulu.
"Glen gak pernah percaya tentang argumen gue yang bilang kalau lo ada perasaan lain, makanya dia selalu biasa aja. Sekarang gue tau, dan lo juga tau kalo dia gak akan bales perasaan lo. Jadi gue mohon, berenti."
Mungkin menjadi sebuah batu untuk sementara waktu lebih baik. Gue gak percaya dengan kenyataan ini.
"Glen pernah cerita. Katanya, lo nyuruh dia supaya jangan buat gue sedih. Tapi nyatanya, lo yang buat gue sedih, Nan...,
"Dia gak akan nganter lo balik. Gue udah minta tolong Ari buat nganterin lo."
Ari, kakak kelas itu?
"Gak usah repot-repot..., gue bisa pulang sendiri."
Gladis menahan tangan gue. "Dia udah nunggu di depan."
"Gue gak kenal dia," kata gue sambil melepas pegangan tangannya.
"Nandira!"
Seruan Gladis itu memaksa gue berhenti di sela-sela kehancuran.
"Ari suka sama lo. Ini kesempatan yang bagus biar lo lupain Glen."
Jadi itu alasannya. Tapi percayalah. Ucapan Gladis itu bukannya menenangkan, justru menambah rasa sakit dari ujung kepala sampai ujung hati. Sebisanya gue tumpukan kekuatan di pelupuk mata, agar tidak mengalir sesuatu yang menambah kehancuran.
"Makasih. Tapi gue gak suka sama dia, atau siapa pun, termasuk Glen!"
Untuk beberapa waktu, kami saling menatap. Bertukar pikiran secara tersirat. Gue tahu, gue paham, dan gue salah. Harusnya gue gak pernah menghancurkan hatinya.
"Happy Birthday, Gladis..., wish you all the best...."
Kata-kata itu menjadi akhir dari obrolan kami malam itu, dan menjadi akhir dari kekuatan yang tertahan. Air mata sebening kristal mengalir dengan derasnya, mengalahkan setiap air yang jatuh. Punggung tangan pun kelelahan untuk menghapusnya. Mungkinkah ada air mata yang mengalir lebih banyak dari ini?
Setiap langkah menuju pintu keluar menjadi saksi, tentang derasnya air yang jatuh dari pelupuk mata. Meski tak diinginkan, mereka tetap meluncur dan terjun di kedua pipi. Punggung tangan pun tak bosan menghapus jejaknya.
Indera penglihatan gue menangkap sosok yang benar-benar menunggu di depan.
"Em..., hai," sapanya.
Untuk beberapa detik mata yang penuh air seperti kaca ini menatapnya sendu.
"Makasih...," ucap gue lirih.
"Sama-sama," jawabnya.
"Dan berhenti menanam perasaan pada orang yang gak bisa merawatnya. Karena gue tau rasanya jika tanaman itu layu..., bahkan mati."
Gue melanjutkan perhentian yang sekejab itu, dan kembali mengusap air yang mengalir.
Di luar sini, angin berembus kencang, namun bukan pertanda hujan. Sudah beberapa bulan hujan tak turun, dan tak menjadi saksi atas sesuatu yang pernah terjadi. Teringat tentang hangatnya hujan pertama kali, yang menjadi saksi perubahan rasa di hati. Lalu yang kedua menjadi saksi kekecewaan. Semoga selanjutnya dapat menjadi penenang atas rasa gundah yang terus-menerus melanda.
Ari mendorong motornya sambil mengikuti langkah gue. Dia tak bersuara lagi setelah meminta izin untuk menemani, dan gue tak bersuara setelah keluar dari tempat itu.
Pikiran yang kalut dan hati yang layu membuat langkah tak terasa semakin menjauh. Tak tahu lagi sudah sampai mana. Kaki seakan mengikuti jalan yang dapat dipijak tanpa tahu ke mana arahnya. Hanya angin malam dan suara kendaraan yang meliputi kami.
Gue berhenti setelah menjernihkan pikiran dengan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Ari juga menghentikan langkah dan dorongan motornya.
"Udah capek?" tanyanya kelelahan.
Gue baru memikirkan betapa susahnya dia mendorong motor dari tadi.
"Sorry..., gue--"
"Oke, oke, gak papa. Tunggu sini, gue cariin minum."
Ari bergegas setelah menyetandarkan motornya. Dengan perasaan yang sama, gue cuma bisa duduk di pinggir trotoar sambil nungguin motornya. Dia kembali setelah beberapa menit, dan memberikan sesuatu yang tadi ditawarkannya.
"Makasih...."
"Oke," jawabnya sambil membuka minumnya dan meneguknya.
Gue membuka tutup minuman yang dia kasih, dan mencoba menenangkan pikiran dan menikmati kebebasan hati yang sudah terjerat beberapa waktu lalu. Memang tidak mungkin untuk menghilangkan itu semua, tapi beristirahat dari semuanya akan membuat gue perlahan terbiasa.
"Nandira Kirana," ucap gue memperkenalkan diri secara formal. Setidaknya agar perkenalan kami dimulai dengan sesuatu yang wajar.
Dia menjabat tangan gue dan memperkenalkan dirinya. "Manhari Nawyan,"
Selanjutnya, kami hanya diam dan minum. Semoga tidak ada lagi cinta yang salah.
_______________
Deg-deg-an gak nih :D. Jangan lupa klik lovenya yah.