Reaksi Ken

1781 Kata
Brugh! Ken meletakkan tasnya dengan sedikit kasar kemudian merebahkan diri ke atas ranjangnya. Tangannya terangkat dan bertengger di atas dahi dengan ia yang memejamkan mata. Menghela nafas berat, ia masih geram dengan kelakuan gadis yang berani memeluknya. Tubuhnya tiba-tiba terasa digelitik. Ia segera bangkit menegakkan punggungnya kemudian membuka kaosnya dan membuangnya ke tempat sampah. Rasanya jejak tangan gadis itu masih menempel di bajunya dan itu benar-benar memuakkan. Ia kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata hingga perlahan meraih alam mimpi. "Ken! Kemari!" teriak sebuah suara yang berbaur dengan suara deburan ombak. Ken membuka matanya dan mengarah pandangan pada sumber suara. Di sana ia melihat mamanya tengah bermain voli pantai dengan papa juga paman dan bibinya. Tanpa menunggu, Ken segera berjalan menyusul mereka. "Ken, lempar bolanya!" teriak Ara yang sebelumnya melempar bola ke arah Ken dan memintanya mengembalikannya. Sesuai perintah mamanya, Ken melempar bola ke arahnya namun berhasil papanya kembalikan. Duk! Bola itu berhasil Tara smash namun mengenai net hingga bola menggelinding jauh. "Aku akan mengambilnya." Ken berlari mengejar bola yang berlari ke arah bibir pantai. Namun ia gagal meraihnya hingga bola itu terbawa ombak. Ken berusaha meraihnya dan … berhasil. Kemudian ia hendak kembali menyusul keluarganya namun tiba-tiba merasakan tarikan di kaki. Glup! Glup! Seketika Ken nyaris tenggelam saat kakinya kian ditarik. Ia berusaha berteriak namun sia-sia. Air justru masuk ke dalam mulutnya hingga membuatnya nyaris kehabisan nafas. "Kau harus mati, Ken." Slap! Seketika Ken terbangun dari mimpinya. Ia terengah dengan nafas tersengal juga keringat membanjiri wajahnya. Selalu saja ia mengalami mimpi buruk setelah seseorang yang tidak ia kenal berani menyentuhnya. Tok … tok … tok …. Zio masuk ke kamar Ken meski tak ada suara Ken mengizinkannya masuk. Ia sudah biasa, bahkan kamar Ken sama seperti kamarnya sendiri. "Hei, kau kenapa, Bung?" tanya Zio yang seketika duduk di tepi ranjang dan menepuk bahu Ken. "Mimpi buruk lagi?" tanya Zio kembali. Ken mengusap keringat dengan kasar kemudian menjawab namun tak menjawab pertanyaan Zio. "Ada apa?" "Malam ini malam Minggu, ayo keluar. Kau butuh refreshing otakmu, Bung," ujar Zio yang merasa prihatin dengan keadaan Ken. Ia sudah lama tinggal seatap dengan Ken dan tahu semua tentangnya atau apa yang ia rasakan atau alami. Dan sebagai seorang sepupu merangkap sahabat, ia ingin Ken sembuh. Sejak beberapa tahun yang lalu ia dan Ken tinggal satu atap jauh dari kedua orang tua masing-masing. Kedua orang tua mereka telah bertahun-tahun tinggal di Inggris. "Aku malas, pergilah," jawab Ken seraya bangun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Zio hanya bisa menggeleng pasrah. Selalu saja seperti ini saat ia mengajak Ken keluar sekedar jalan-jalan seperti pemuda pemudi lain pada umumnya. Ia tidak ingin Ken terus-terusan berada dalam zona nyaman dan membawanya menuju kelainan. Jbles! Ken menutup pintu kamar mandi mengabaikan Zio yang menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Tap! Tap! Tap! Zio berjalan ke arah kamar mandi kemudian berdiri di samping pintu kamar mandi dengan bersedekap d**a dan satu kaki terangkat menekan dinding di belakangnya. "Ayolah, Ken. Sampai kapan kau seperti ini? Meski kau menghindari wanita, bukan berarti kau menutup diri dari masa keemasan kita sekarang. Nanti saat kau tua kau akan menyesal karena kehilangan keemasan masa mudamu," tuturnya berusaha membujuk Ken untuk pergi bersamanya. "Sejak kapan kau menjadi cerewet?!" balas Ken dari dalam kamar mandi. "Sejak kau membuatku khawatir jika kau akan mengidap kelainan," jawab Zio dengan kekehan kecil tanpa bisa Ken dengar. Cklek! Seketika pintu terbuka dan Ken menatap Zio dengan mata memicing tajam. "Apa?!" tanya Zio dengan tampang bodohnya. "Tsk." Ken berdecak kemudian kembali memasuki kamar mandi dan menutup pintu dengan keras. "Hahaha." Zio tertawa hingga memegangi perutnya. Diketuknya pintu dengan kepalan tangannya dan setengah berteriak. "Woi! Ken! Nanti om dan tante akan mencarikanmu jodoh kalau kau tak mencarinya sendiri. Mereka pasti tidak ingin anak tersayang mereka beradu pedang di atas ranjang. Hahaha," gelak tawa Zio kian melebar. Ia yakin sebentar lagi Ken akan keluar dan menuruti keinginannya. Dan benar saja, Ken benar-benar keluar dari kamar mandi namun untuk menyeret Zio keluar dari kamarnya. Jbles!! Ditutupnya pintu kamarnya dengan kasar mengabaikan gelak tawa Zio yang masih membahana. Brugh! Ken merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuknya dan menatap langit-langit kamarnya. Ia sudah bisa melupakan wajah wanita itu, tapi tidak dengan yang telah ia lakukan. Bukan Ken tidak ingin sembuh. Ia sangat ingin sembuh dan melupakan kenangan buruk itu. Tapi rasanya masih tersimpan ketakutan tersendiri baginya. Drt … drt …. Getar suara ponsel menghentikan lamunan Ken. Ia segera mengambil ponsel dari atas nakas dan mengangkat panggilan. "Halo. Ada apa, Bu," ujarnya saat mengangkat panggilan. ["Apakah perlu sebuah alasan seorang ibu menghubungi anaknya?"] "Baiklah, aku kalah." Ara terdengar terkekeh kemudian kembali bersuara. ["Bagaimana keadaanmu? Tidakkah kau merindukan ibu dan ayahmu?"] "Tsk. Untuk apa? Nanti Ken merusak kemesraan ayah dan ibu," jawab Ken dengan seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. ["Kalau begitu pulang dan bawa kekasihmu. Jadi kita bisa bermesraan bersama."] "Tsk. Kau menakutkan, Bu." Tawa renyah pun terdengar dari sana. Ken yang mendengar tawa ibunya merasakan hatinya terasa hangat. Rasanya, hanya ibunya satu-satunya wanita yang bisa ia andalkan dan sangat ia sayang. ["Ayahmu sangat mengkhawatirkanmu, Ken."] "Aku baik-baik saja, Bu. Katakan pada ayah agar berhenti memikirkanku. Aku sudah dewasa." ["Justru karena kau sudah dewasa. Ayah khawatir kau bermain pedang karena selama ini seperti tak tertarik dengan lubang."] "s**t!" batin Ken yang sudah sangat hafal dengan suara ini. Setelahnya gelak tawa pun kian terdengar hingga memekakkan telinga. "Mereka benar-benar," geramnya. "Jika aku di sana, sudah kujahit mulut mereka," ucapnya kemudian. ["Sudah, jangan menggoda kakakmu."] Samar-samar Ken dapat mendengar suara ibunya yang menasehati krucil kesayangannya yang kian hari semakin menyebalkan. ["Keluarlah, Ken. Ibu tidak keberatan kau pergi bersama teman-temanmu. Asal tetap di jalan yang lurus."] "Tsk." Ken berdecak. Pasti Zionis itu mengadu pada ibu, batinnya. "Aku malas, ingin istirahat," kilahnya. ["Apa kau belum sembuh? Ken, itu sudah sangat lama, berhentilah memikirkannya."] Ken terdiam tak menjawab. Satu tangannya terkepal kuat di atas pangkuan. ["Ibu pikir, kau harus melawan ketakutanmu itu. Jika kau menghindar, kau tidak akan bisa melawan ketakutanmu selamanya, Ken."] "Sulit, Bu. Rasanya Ken takut setiap kali melihat bagaimana mereka menatap Ken." ["Sayang, dengarkan ibumu ini. Percayalah, mereka tidak ingin melukaimu."] Rasanya Ara sudah lelah mengatakan hal yang sama dan menasehati Ken seperti ini selama bertahun-tahun. ["Kau butuh teman, Ken. Suatu saat kau akan tahu betapa pentingnya seorang teman. Entah itu seorang gadis atau pria sepertimu, kau membutuhkan mereka. Kelak Zio akan menikah dan memiliki kehidupannya sendiri. Lalu bagaimana denganmu?"] "Ibu, aku masih muda. Bukankah ayah juga dulu seperti itu? Ayah bahkan menikahi ibu di usianya yang hampir kepala tiga." ["Justru itu, ibu tidak ingin kau sama seperti ayahmu."] Ken terkekeh kecil mendengar balasan ibunya. Saat ini pasti wajah ibunya tengah memerah karena apa yang dikatakannya. ["Baiklah. Kalau begitu cepat pergi bersama Zio jalan-jalan. Jika tidak ibu akan mencarikanmu seorang gadis."] Piip …. Ara mematikan sambungan telepon, tiba-tiba sebuah tangan memeluknya dari belakang. "Kau sama seperti ayah dan ibu dulu," ucap Saska dengan menelusupkan wajah di ceruk leher sang istri. Padahal keduanya tak lagi muda, tapi mereka selalu terlihat mesra di manapun berada. "Aku hanya khawatir Ken akan selamanya seperti ini. Sudah 16 tahun berlalu dan Ken masih seperti ini," jawab Ara dengan helaan nafas lelah. "Dia hanya belum menemukan gadis yang tepat," balas Saska. Seketika Ara tersenyum kecil dan setengah menoleh menatap sang suami. "Tidak selamanya kisahmu akan menurun pada anakmu, Suamiku," ujarnya dengan tangannya yang membelai lembut wajah Saska. Saska tersenyum tipis. "Kau benar, tapi tidak ada yang tahu masa depan, Istriku." Dikecupnya bibir Ara sekilas kemudian menghadapkan tubuhnya padanya. "Mungkin inilah yang ibu khawatirkan dulu hingga mengira anaknya sendiri seorang gay," ujar Ara diiringi kekehan kecil mengingat masa lalu. Rasanya baru kemarin, nyatanya sekarang anak-anak mereka sudah sebesar ini. "Tsk. Itulah wanita, selalu tak sabaran," cibir Saska dengan decakan ringan. "Apa aku tak salah dengar? Jika kau lupa, siapa yang tak sabaran." Ara menekan-nekan kecil d**a bidang sang suami dengan jari telunjuk. Mengingatkan siapa yang selama ini tak sabaran. "Tentu saja kau. Dulu aku selalu sabar menghadapi sifat keras kepalamu yang menolak menikah denganku," balas Saska dengan mudah. Wajah Ara bersemu merah. Entah kenapa setiap membicarakan masa lalu selalu membuat wajahnya terasa panas. Tanpa keduanya ketahui, dua gadis cantik menghentikan langkah di ambang pintu melihat kelakuan kedua orang tua mereka. "Ya Tuhan, orang tua itu," gumam keduanya bersamaan dengan menepuk jidat. **** Suasana taman kota begitu ramai dengan muda-mudi yang terlihat berkerumun dan berbincang. Bukan hanya pasangan kekasih, beberapa pemuda juga terlihat nongkrong di pinggir jalan. Akhirnya dengan amat sangat terpaksa Ken bersedia mengikuti ajakan Zio dengan berjalan-jalan. Apa yang membuat Ken malas berbaur dengan banyak orang adalah, tidak jarang ia akan bertemu gadis yang tak tahu malu dan sengaja mengajaknya berkenalan hingga meminta nomor telepon. Mau bagaimana lagi, wajah tampannya memang seolah menjadi magnet tersendiri menarik kaum hawa untuk mendekati. Berbeda dengan Zio, dia dengan senang hati berkenalan dengan gadis yang mendekat. Bahkan ia tak segan bertukar nomor telepon dengan gadis yang baru ditemuinya. Jika gadis itu menarik tentunya. "Lalu, apa yang kau cari?" cibir Ken pada Zio yang berjalan di sampingnya. "Tsk. Ayolah Ken, siapa tahu salah satu dari banyaknya orang di sini." Menunjuk beberapa gerombolan gadis yang terlihat bercengkrama. "Adalah jodohmu," lanjutnya dengan merangkul Ken. "Kau masih muda, berhentilah memikirkan yang namanya jodoh," balas Ken dengan memutar bola mata malas. "Apa kau tidak tahu? Cita-citaku nikah muda seperti ayah dan ibu." "Tidak. Aku tidak tahu," jawab Ken cuek kemudian kembali melanjutkan langkahnya hingga langkah kakinya membawanya masuk ke sebuah restoran tak jauh dari taman. Setidaknya suasana restoran tidak seramai di taman dengan banyaknya macam gadis yang terlihat nakal dan tak jelas, batinnya. Brugh! Baru saja menginjakkan kakinya ke dalam restoran, ia sudah disambut sentuhan empuk saat bertabrakan dengan seorang gadis. "Ka-- kau?" gumam gadis itu yang terkejut melihat siapa yang ia tabrak. Alis Ken mengernyit menatap gadis itu. "Kau?" Kini giliran Zio yang bersuara saat menyadari siapa yang bertabrakan dengan Ken. "Aurora!" Ketiganya menoleh ke sumber suara dan seorang pria tampan berlari kecil mengejar gadis yang ia panggil Aurora. Gadis yang bertabrakan dengan Ken di depan pintu restoran dan gadis yang sama yang Ken acuhkan saat bertanya letak lapangan basket sebelumnya. "Maaf! Aku memilihnya!" teriak Aurora hingga membuat pengunjung restoran menoleh ke arahnya. Kemudian ia bersembunyi di balik punggung Ken dengan wajahnya yang ketakutan. Kedua tangannya memegang lemah jaket Ken dan mengintip pria yang mengejarnya dan saat ini menatapnya tak percaya "Apa gadis ini gila?" batin Ken dengan menoleh pada Aurora di belakangnya. "Kumohon, bantu aku. Dia ingin memaksaku," bisik Aurora dengan merengek menatap Ken. Jurus ini biasanya sangat mempan menggaet pria dimana ia menunjukkan ekspresi kelemahan dan imut di saat bersamaan. Dipastikan tidak akan ada pria manapun yang akan menolak. Tapi … benarkah? Coba kita lihat bagaimana reaksi Ken setelahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN