Kesal

1510 Kata
“Ambil saja.” Ken melangkah mengabaikan Aurora yang tergagap. Bagaimana tidak? Aurora yang sangat yakin Ken akan menolongnya, justru sebaliknya. “Ken!” panggil Zio namun tetap berdiri tanpa mengikuti langkah Ken. Kemudian ia menoleh menatap Aurora yang masih terdiam tak bergeming seolah ia baru saja mengalami pencurian dan mengarah pandangan pada pencuri yakni Ken yang saat ini telah duduk santai di kursi meja restoran di sudut ruangan. Hap! Aurora tersentak saat sebuah tangan mencengkram pergelangan tangannya. “Apa maksudmu, Ra, kau lihat sendiri pria itu mengabaikanmu!” bentak Joe yang merupakan kekasih Aurora namun bagi Aurora ia hanya mantan. Mantan yang baru ia putuskan beberapa menit yang lalu. Hap! Zio mencengkram tangan Joe, sangat kuat hingga membuatnya melepaskan cengkraman tangan pada tangan Aurora. Aurora pun segera menarik tangannya dan mengusapnya perlahan seakan tangannya begitu sakit karena cengkraman tangan Joe. “Siapa kau berani ikut campur!” bentak Joe dan berusaha melepas cengkraman tangan Zio. Zio melepas cengkraman tangannya dengan kasar kemudian menjawab dengan senyuman yang merekah menggantikan raut wajahnya yang siap membunuh sebelumnya. “Dia temanku. Apapun urusanmu dengannya aku tak akan membiarkanmu menyakitinya.” Zio mengambil langkah selangkah kemudian mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Joe. “Kecuali jika kau ingin satu restoran ini menghabisimu saat ini juga. Tidakkah kau melihatnya? Melihat bagaimana tatapan buruk mereka terhadap pria yang memaksa seorang gadis seakan kau hanyalah seorang sampah.” Mata Joe tampak melebar. Dan saat Zio menarik kepala mengambil jarak, ia segera melayangkan pukulan namun dapat dengan mudah ditangkapnya. Hap! Tangan Zio meremas kepalan tangan Joe yang berhasil ditangkapnya membuat Joe meringis kesakitan. “Sebelum aku mematahkan tanganmu sebaiknya kau pergi,” ucapnya dimana raut wajahnya terlihat begitu dingin dan menatap Joe dengan pandangan menusuk. Setelah itu dilepasnya cengkraman tangannya dengan kasar. “Argh.” Joe meringis memegangi tangannya yang terasa patah hanya karena hempasan Zio tangan Zio, begitu juga dengan jari-jari tangannya yang terasa mau remuk. “Urusan kita belum selesai!” ucapnya pada Zio kemudian segera pergi dimana sebelumnya menatap Aurora dengan tatapan kemarahan. Sementara Aurora sendiri hanya diam menundukkan wajah dan bersembunyi di balik punggung Zio. Namun tak seorang pun tahu, seulas senyum amat sangat tipis terukir di bibir saat Joe telah pergi. “Kau tidak apa-apa?” tanya Zio yang segera berbalik dan menatap Aurora khawatir. “Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menolongku, tapi maaf, kau harus berurusan dengannya,” ujar Aurora dimana senyum kecil yang merekah saat menjawab pertanyaan Zio digantikan raut wajahnya yang penuh rasa bersalah di akhir kalimat. “Bukan masalah,” sahut Zio dengan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. “Sebenarnya apa yang terjadi? Ah, sebelum kau menjawab sebaiknya kita membicarakannya dengan duduk,” ajak Zio yang kemudian melangkahkan kakinya menuju tempat duduk Ken. Arah pandang pengunjung lain yang sebelumnya mengarah ke arahnya dan Aurora seketika menghilang, mereka tampak kembali menikmati makan malam mereka meski sesekali masih membicarakan perihal yang terjadi sebelumnya. Ken melirik pelan mengikuti gerak Aurora yang duduk di hadapannya kemudian melirik Zio dan menatapnya dengan pandangan tak terbaca, seakan mengatakan, “Apa yang dilakukannya?” Lewat tatapan matanya. Sret! Zio menarik kursi dan duduk mengabaikan Ken yang masih menatapnya tiada henti. “Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya pada Aurora. Ken mendengus, tahu begini ia tak akan sudi pergi. Ia hanya bersedekap d**a dan mengalihkan pandangan dari Zio maupun Aurora. Zio melirik Ken, karena sedari tadi Aurora terlihat menatap Ken tanpa jeda. Aurora baru mengalihkan pandangan saat menjawab pertanyaannya. Aurora menyelipkan anak rambut ke belakang telinga dan tersenyum menatap Zio. “Aku mau kita putus.” “Jangan!” potong Zio. Dahi Aurora tampak berkerut dimana ia setengah memiringkan kepala menatap Zio dengan pandangan aneh. Sama halnya dengannya, Ken pun juga menatap Zio dengan sebelah alisnya yang meninggi. Kelakar tawa Zio merekah. Ia memegangi perutnya menahan tawa kemudian mengusap setitik air mata di ujung matanya yang sebenarnya sama sekali tidak ada. “Hahahaha, maaf, maaf, habisnya kau mengatakan seperti itu,” ucapnya dengan tangan yang mengepal di depan mulut seolah berusaha menghentikan tawanya. Aurora tersenyum kecil seperti ikut menertawakan dirinya sendiri setelah tahu alasan Zio menertawakannya. “Ya Tuhan, kau membuatku terkejut,” ucapnya. Sementara Ken kembali mendengus dan memilih mengambil ponsel dari saku celananya. Ia berusaha menghindari percakapan terutama dengan Aurora. Lagi pula ia masih tak habis pikir dengan apa yang Aurora lakukan sebelumnya, merengek padanya seakan ia adalah orang ketiga antara ia dan pacarnya. ‘Strategi basi,’ batinnya dengan melirik Aurora sekilas. Sepertinya ia sudah bisa menangkap maksud Aurora. Sudah sangat jelas Aurora hanya ingin memanfaatkannya. Sret! Ken bangkit dari duduknya dan sontak membuat Zio terkejut “Mau kemana, Ken?” tanyanya. “Pulang,” jawab Ken singkat seraya berbalik dengan kedua tangan masuk saku jaket. Dapat membaca trik Aurora membuatnya muak harus duduk berhadapan dengannya. “Oi! Ken! Tunggu!” teriak Zio yang segera bangkit dari duduknya mengejar Ken. Sementara Aurora hanya diam menatap punggung Ken yang mulai menjauh. “Oi, Ken, kenapa buru-buru sekali? Ayolah, Bung, kita baru sampai bukan?” bujuk Zio saat berhasil meraih bahu Ken dan menahannya kembali melangkah. Mereka kini telah berada di luar di depan restoran namun masih bisa dilihat dari dalam lewat dinding kaca transparan restoran. Ken menoleh menatap Zio dimana sorot matanya tampak dingin. Zio yang sudah mengetahui sifat dan kebiasaan Ken tentu tahu makna dari tatapan itu. Ia setengah menoleh ke arah Aurora yang masih duduk di tempat dan saat ini mengarah pandangan ke arahnya. “Ayolah, Ken, anggap saja dia temanku. Kan sudah biasa aku mengobrol dengan gadis sementara kau seolah tak peduli,” ujarnya seraya kembali menatap Ken. “Kau tahu aku paling tidak suka dengan wanita sepertinya,” sahut Ken tanpa melunturkan ekspresi dingin dari wajahnya. Ekspresi dingin yang ia warisi dari sang ayah yang bisa membuat nyali siapa saja menciut, kecuali Zio. “Hei, apa maksudmu sepertinya? Kau tidak suka dengan wanita cantik? Ya Tuhan, Ken, kau membuatku khawatir,” potong Zio dengan ekspresi takut yang sengaja dibuat-buat. Melihat Ken menunjukkan kekesalan, ia justru menggodanya dan membuatnya candaan. Hanya ia yang berani melakukannya, jika orang lain mungkin Ken sudah melemparnya ke tempat sampah. Bahkan jika Zio bukan anak dari pamannya, Ken mungkin tak akan sudi dekat-dekat dengannya. “Terserah.” Hanya kata itu yang meluncur dari mulut Ken dan setelahnya ia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan restoran. “Haish, Ken, Ken. Woi, jika kau tersesat jangan meneleponku! Awas saja sampai kau merengek padaku memintaku menjemput!” teriak Zio dimana kedua tangannya berada di depan mulut seolah menjadi toa agar suaranya semakin keras dan Ken dapat mendengarnya dengan jelas. Ken hanya diam bahkan tak menoleh sama sekali namun dalam hatinya ingin sekali melempar sepatunya untuk membungkam mulut Zio. Ia benar-benar mengabaikannya dan berjalan meninggalkan Zio yang masih berdiri di depan restoran. “Ssh …. dasar anak itu,” gumam Zio yang mengarah pandangannya ke arah Ken yang mulai menjauh. Ia mengacak rambutnya frustasi merasakan sikap Ken yang menurutnya terlalu berlebihan. Namun mengingat Aurora masih duduk di tempatnya, ia memutuskan kembali ke dalam restoran untuk bicara dengannya. “Apa temanmu marah padaku?” tanya Aurora saat Zio telah kembali dan duduk di sebelahnya. Zio berdecak ringan kemudian mengambil minuman Ken yang belum sempat diminumnya lalu meminumnya hingga tinggal separuh. Tak! Bunyi kaki gelas kala mencium wajah meja membuat Aurora sedikit tersentak karena sedari tadi ia amat menunggu jawaban dari Zio. “Hah, bukan. Maafkan AC itu, ya, dia memang seperti itu dengan gadis yang baru ia kenal,” jawab Zio. “AC?” Aurora membeo dan membuat wajahnya terlihat semakin kawai. Semburat kemerahan terlihat samar menghiasi wajah Zio, ia pun segera mengalihkan pandangan. “Iya, AC, kau lihat sendiri dia sedingin AC kan,” paparnya. “Pft--” Aurora tertawa kecil dengan tangan kanannya terangkat dan berada di depan mulut guna menutupi gelak tawanya yang pecah. “Kau lucu sekali,” ucapnya disertai tawa ringan yang masih mengudara. Zio tertegun sesaat melihat tawa kecil Aurora, mau dilihat dari segi manapun Aurora memang cantik. “Ya, kau benar, temanmu itu terlihat begitu dingin,” ujar Aurora saat tawanya berhasil ia redam. “Boleh aku minta nomornya?” tanyanya tiba-tiba dengan tangan yang memangku rahang dan menatap Zio dengan sorot matanya yang tak dapat dijelaskan. Zio tersentak sesaat, mendengar permintaan Aurora seketika hatinya terasa mencelos. ‘Tsk, mau bagaimana lagi,’ batinnya disertai hela nafas berat. Di tempat lain, saat ini Ken tengah duduk di bangku taman tak jauh dari restoran sebelumnya. Ia berniat memanggil taksi online untuk pulang. Demi apapun, ia tak akan sudi lagi keluar dengan Zio. Sembari menunggu, ia terlihat mengotak-atik layar ponselnya. Menscroll layar perlahan yang menampilkan bacaan materi kuliah yang disimpannya. Tiba-tiba saja ia teringat Aurora, mulai sekarang wajah Aurora akan ia tandai. Aurora menjadi daftar blacklist mengikuti ratusan daftar blacklist wajah para gadis yang berusaha mendekatinya. Tap! Ken menghentikan gerak ibu jari yang menggeser layar ponselnya saat melihat sepasang kaki terbalut sneaker berdiri tepat di depannya. Ia yang sebelumnya menunduk menatap layar ponselnya pun, perlahan mengangkat kepala dan mendongak. Dan saat melihat dengan jelas siapa yang saat ini berdiri di hadapannya, seketika dahi dan alisnya tampak berkerut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN