Part 6

1873 Kata
Suasana pagi yang sejuk, tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas, membuat Fitri semakin bersemangat dalam menjalani hari Minggu yang sangat dinanti-nanti ini. Setelah selesai membantu sang Ibu menyiapkan menu sarapan pagi serta menaruhnya ke meja makan, Fitri melangkahkan kakinya menuju halaman rumah, berniat untuk memanggil sang Bapak dan kedua adiknya yang sedang asyik bercocok tanam. Kemarin, teman dekatnya Bapak yang juga berjualan di pasar, memberi Bapaknya hadiah berupa bibit tanaman karena telah membantunya menyiapkan acara tasyakuran aqikahan anaknya sedari awal hingga acara selesai. Alasan kenapa sang Ibu dan Bapaknya pulang telat kemarin. Bukan karena terlalu lama di pasar, tapi karena membantu teman dekatnya dalam mensukseskan acara tasyakuran aqikahan anaknya. Saat sampai di sana, Fitri melihat Bapaknya sedang mengubur sesuatu di paving bag berisi tanah, yang sepertinya adalah bibit cabe. Dion yang sedang memasukkan tanah ke dalam empat paving bag lainnya yang masih kosong, dan Ayu yang sedang memindahkan paving bag yang sudah berisi bibit ke tempat yang cocok untuk mereka tumbuh dan berkembang, tak jauh dari halaman rumah mereka. "Pak, Dion, Ayu, sarapan pagi sudah siap. Makan dulu yuk? Bercocok tanamnya dilanjutkan lagi nanti," ajak Fitri kepada sang Bapak dan kedua adiknya, yang sepertinya jika Fitri tidak memulai untuk berbicara, ketiganya tidak akan menyadari keberadaannya. Saking fokusnya mereka terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. "Udah waktunya sarapan ya, Kak? Dion kira waktu sarapan masih lama, soalnya perut Dion yang biasanya jadi alarm buat nunjukin jam makan nggak bunyi-bunyi dari tadi." Fitri yang mendengar ucapan canda bernada serius yang dilontarkan Dion, tergelitik untuk tertawa. Begitu pun dengan Bapak dan Ayu, adik bungsunya. "Hahaha, kamu ada-ada aja sih, Dek. Jelas lah nggak bunyi-bunyi, orang dari tadi kamu fokus banget kerjaannya. Seharian nggak makan pun alarm di perut kamu nggak bakalan bunyi deh, Dek, kalo kamu terlalu fokus sama sesuatu. Lupa makan, Lupa waktu, jangan sampe ya kamu lupa untuk bernafas, hehe. Yuk ah ke dalem, kasian Ibu udah nunggu dari tadi." "Iya, ih si Aa. Ngelawaknya kepagian tau A, bikin kita yang belum makan terkuras abis tenaganya gara-gara harus ketawa ngedenger lawakan receh dari Aa." Kali ini Ayu yang menanggapi ucapan Kakaknya. "Kalo bilang lawakan Kakak receh, harusnya kamu nggak ketawa dong, Dek, aneh!" "Yeh, Aa. Ari si Aa pan terang kita teh kaluarga receh, nya upami mireng nu recehan sapertos nu Aa carioskeun tadi nya kagugu atuh, A. Bikin seuseurian. Kumaha ih si Aa teh, sok pura-pura poho kitu jadi jalmi. Tong mulai atuh, A,"dumel Ayu menjawab perkataan Dion, menjelaskan fakta sebenarnya tentang keluarganya. Keluarga receh. Julukan yang mereka sematkan sendiri, karena kebiasaan mereka yang mudah tertawa, walaupun ucapan atau lawakan yang mereka dengar terdengar receh dan krik krik sekali pun. (Yeh, Kakak. Kakak kan tau kita itu keluarga receh, yang kalau denger yang recehan kayak yang Kakak bilang tadi ya lucu tau, Ka, bikin ketawa. Gimana ih si Kakak, suka pura-pura lupa gitu jadi orang. Jangan mulai deh, Ka.) "Haha, hereuy atuh, Dek. Hampura Aa nya." (Haha, bercanda kali, Dek. Maafin Kakak ya). "Ntos ah, tong jarogol bae. Jiga meong jeung beurit terang nte? Hayu ka lebet, karunya si Ibu ntos ngantosan ti tadi. Hayu, Teh, urang suang ka lebet ayeuna. Sieun bisi si Ibu sewot pedah kalamian teuing ngantosan."( udah ah, jangan bertengkar terus. Kayak kucing dan tikus tau nggak? Yuk ah ke dalam, kasihan si Ibu udah nunggu dari tadi. Yuk, Kak, kita ke dalem sekarang. Takut kalau si Ibu marah karena kelamaan nunggu) Mendengar kedua anaknya saling beradu mulut dengan menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Sunda. Bahasa Fitri, dan kedua adiknya sedari kecil karena tempat di mana mereka tinggal merupakan daerah pedesaan yang hampir semua penduduknya menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari mereka. Kecuali anak-anak yang kini mulai terbiasa berinteraksi dengan menggunakan bahasa Indonesia, efek kebiasaannya di sekolah yang dianjurkan oleh guru-gurunya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa wajib yang harus mereka pakai ketika sedang berbicara selama para murid-murid masih berada di lingkungan sekolah. Aturan itu dibuat, bukan untuk memusnahkan bahasa daerah dari peradaban, tapi lebih kepada agar para murid juga terbiasa berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa pemersatu bangsa. Karena di luar sekolah, murid-murid dibebaskan untuk berbahasa sesuai dengan keinginan mereka. Karena para guru tahu, jika mereka tidak dibiasakan sedari kecil untuk berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia, mereka akan susah bergaul dengan warga daerah lain, selain daerah mereka. Karena terkendala oleh perbedaan bahasa. Orang Jawa, orang Sunda, Orang betawi, dan yang lainnya akan nyambung dan saling mengerti jika saling berbicara dengan menggunakan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Beda cerita jika semuanya tak menguasai bahasa Indonesia, pembicaraan di antara mereka tidak akan nyambung, kerena semuanya tidak saling mengerti apa yang diucapkan satu sama lain. Para guru harap, murid-muridnya mampu menguasai berbagai macam bahasa. Bahasa daerah, sebagai bahasa daerah asal mereka. Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional. Juga diharapkan untuk mengusai bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional. Perkataan sang Bapak berhasil melerai perdebatan di antara dua kakak beradik yang terpaut usia dua tahun itu. Terlihat dari keempatnya yang sudah berlalu meninggalkan halaman rumah, menuju tempat makan, di mana sang Ibu sudah duduk cemberut memandangi wajah keempatnya yang baru saja datang itu. Ibu Fitri cemberut karena terlalu lama menunggu kedatangan mereka. "Lama banget datengnya. Keburu dingin nih masakan Ibu. Tau gitu tadi Ibu masaknya agak siangan aja, atau nggak mending Ibu nggak usah masak aja sekalian. Biar kalian nggak ke ganggu bercocok tanamnya karena harus makan," gerutu Ibu dengan nada merajuknya yang sangat kentara. Keempat orang yang baru saja tiba di meja makan pun langsung saling beradu pandang, seakan membicarakan sesuatu. Berkompromi lewat tatapan mereka untuk membuat sang ratu di rumah mereka ini kembali ceria seperti biasanya. "Ibu, tadi si Aa ngelawak dulu di depan. Makanya kita kelamaan di luarnya." "Ibu yang cantik, maafin kita ya? Dari abis subuh Aa udah nggak sabar lho buat bisa makan masakan Ibu. Kan apa yang selalu Ibu buat selalu menjadi makanan favorit kita. Jadi nggak mungkin lah kita lewatin." "He'em, yang ada kalo kita nggak makan masakan Ibu ratu, kita nggak semangat buat ngapa-ngapain." "Jangan cemberut gitu dong, Bu. Coba senyum cantiknya mana? Ibu tau nggak, Bu. Sehari aja kita nggak liat senyuman Ibu rasa-rasanya seperti ada yang hilang. Semua aktivitas yang kita lakukan jadi kurang maksimal karena kehilangan asupan senyuman manis dari Ibu. Senyuman Ibu layaknya masakan tanpa garam, layaknya kopi tanpa gula, layaknya tanaman tanpa disirami air, layaknya sepatu kanan tanpa sepatu kiri. Semuanya terasa hambar, pahit, layu, dan ada yang hilang. Jadi, tetap tersenyumlah untuk kami, Ibu." Setelah keempatnya saling bergantian merayu sang ratu di rumah itu dengan ucapan manis mereka, kini keempatnya menatap sang ratu dengan senyuman yang sangat manis. Senyuman semanis madu. Melihat apa yang dilakukan suami dan ketiga anaknya, Ibu yang tadinya cemberut pun kini mulai menampilkan senyumnya. "Kalian paling bisa ya, kalau urusan merayu Ibu? Ya udah ayo kita sarapan. Sebentar lagi kita harus sudah ada di pasar untuk membuka warung." Mendengar itu membuat keempat orang berbeda usia itu mengangguk dan mulai duduk di tempat mereka masing-masing. Saat dilihat hampir semuanya telah meneguk air minumnya, menandakan bahwa sarapan pagi bersama telah selesai, Fitri memberanikan dirinya untuk memecah keheningan. Memberitahu mereka terkait rencana yang sudah ia pikirkan matang-matang sejak semalam. Rencana untuk mendaftarkan dirinya untuk mengikuti casting di Ibu kota. "Ekhem, Pak, Bu, Dek. Fitri mau bicara sesuatu." Fitri menatap wajah mereka satu per satu dengan tatatan seriusnya. "Fitri sudah memikirkan ini matang-matang sejak semalam." "Ada apa, Nak? Ceritakanlah. Bapak, Ibu, dan kedua Adikmu siap untuk mendengarkan." "Sepeti yang kalian tahu, Fitri sudah sejak kecil bercita-cita ingin menjadi artis." Semuanya mengangguk menyetujui. "Fitri ingin mendaftar untuk mengikuti casting di Jakarta. Boleh kan? Bapak dan Ibu mengizinkan Fitri, kan?" Fitri menatap serius Ibu dan Bapaknya yang terlihat sangat terkejut itu. Mereka kira cita-cita Fitri yang ingin menjadi artis hanya celetukan biasa yang gadis itu ulang-ulang setiap kali ditanya perihal cita-cita. "Kamu serius, Nak? Menjadi artis tak semudah dan tak seindah yang kamu kira lho," ucap sang Ibu seraya menatap hangat ke arah Fitri. "Aku serius, Bu. Fitri rasa ini akan menjadi pembuka jalan Fitri untuk mewujudkan cita-cita Fitri selama ini." "Baiklah kalau begitu. Bapak dan Ibu akan menyetujui, juga mendukung rencana kamu itu. Bapak harap, semoga dengan kamu mendaftar dan mengikuti casting, kamu bisa menjadi artis. Menggapai cita-cita yang kamu inginkan selama ini." "Aamiin," ucap semuanya kompak, mengaminkan harapan yang dilontarkan sang Bapak, sang kepala keluarga. "Dion juga dukung, Teh." "Ayu juga. Ayu juga dukung semua yang Teteh mau jalani. Yang penting Teteh bahagia." "Alhamdulillah kalau semuanya setuju dan dukung Teteh. Karena penutupan pendaftaran tinggal tiga harian lagi, jadi hari ini berhubung Adek-adek nggak sekolah, boleh nggak Bu, Pak, kalo kita bertiga di rumah aja buat ngelengkapin persyaratannya? Nggak banyak sih, di antaranya harus bikin video. Tapi butuh banyak waktu karena harus punya konsep yang bagus supaya videonya menarik. Nggak apa-apa kan?" ucap Fitri kepada Ibu dan Bapaknya disertai dengan tatapan memohonnya. "Boleh banget dong, Nak. Ya sudah Ibu dan Bapak berangkat dulu ya, Ibu doakan semoga kamu selalu diberikan kemudahan oleh Allah dalam menjalani sesuatu." "Aamiin, makasih ya Bu, Pak," ucap Fitri kemudian berdiri menyalami Ibu dan Bapaknya yang akan berangkat ke pasar itu, diikuti oleh kedua adiknya. "Assalamu’alaikum." "Wa’alaikumussalam." Setelah kepergian sang Ibu dan Bapak ke pasar, ketiganya saling bekerja sama untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Fitri yang bertugas untuk mencuci piring dan baju, Ayu bertugas untuk menyapu dan mengepel semua ruangan di rumah itu, juga Dion yang bertugas untuk menyelesaikan kegiatan bercocok tanam tadi. Terbiasa melakukan pekerjaan rumah dengan berbagi tugas, membuat tugas ketiganya dapat terselesaikan dengan cepat dan mudah. Tak sampai satu jam, semua pekerjaan rumah sudah diselesaikan oleh ketiganya. Kini Fitri dan kedua adiknya sedang duduk di kursi depan, memikirkan konsep apa yang akan Fitri perankan. Tema yang sangat bersahabat dengan kehidupan Fitri saat ini yaitu tentang laki-laki dan perempuan desa, membuat berbagai ide mulai bermunculan di benak ketiganya. Di mulai dari Fitri, Dion, kemudian Ayu, mulai mengutarakan pendapatnya. Ketiganya berdiskusi dengan sesekali diselingi oleh candaan yang keluar dari mulut Dion, hingga kesepakatan di antara mereka bertiga pun diambil dengan saling menggabungkan ide masing-masing. Fitri dan Ayu mulai mengganti pakaiannya, kemudian mengubah penampilan mereka dengan mengubah model rambut, dan merias wajah mereka dengan make up natural. Dan Dion yang mulai menyiapkan set pengambilan video mereka yang akan bertempat di halaman rumah. Ketika semuanya sudah siap, pengambilan video pun dimulai. Fitri dan Ayu dengan penampilan mereka yang sangat mencerminkan gadis desa dengan rambut mereka yang dikepang dua, juga wajah mereka yang dirias se-natural mungkin ala gadis desa, mulai saling beradu akting dengan berbagai aktivitas, gaya, serta dialog dengan logat khas Sunda, yang direkam dengan apik oleh Dion, dengan hanya bermodalkan handphone seluler-nya. Video pun jadi setelah mereka melakukan beberapa kali take video. Tak ingin membuang-buang waktu, dengan bermodalkan handphone seluler-nya Fitri mulai mengumpulkan semua persyaratan yang harus ia sertakan dalam satu berkas seperti formulir pendaftaran online yang telah ia isi, foto berukuran 3x4, serta video beraktingnya, lalu mengirimkannya ke alamat email yang tertulis di informasi pendaftaran. Fitri bersyukur, semua proses pendaftarannya telah selesai dalam waktu sehari. Ia harap, semoga doa-doanya dan keluarganya tadi segera terwujud, dan ia pun berhasil menjadi apa yang ia inginkan yaitu menjadi artis terkenal. Semoga saja. Apakah perjalanan Fitri untuk mewujudkan cita-citanya memang se-mulus itu? Atau mungkin itu hanya permulaan belaka, yang pada kenyataannya justru berkebalikan? Yaitu sangat sulit dan penuh rintangan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN