Bab 1 : Rencana Balas Dendam
Seorang wanita muda berjalan menelusuri lorong sebuah klub malam ternama hari itu. Stiletto hitamnya menghentak lantai marmer di bawahnya. Langkahnya tegas dan teratur. Dengan wajah cantik dan angkuhnya dia mengetuk sebuah pintu. Tak lama seorang gadis berpakaian minim membukakan pintu dan menyapanya.
Gadis itu lantas memberikan sebuah tabung bening berisi sebuah benda kenyal kepadanya. “Urusan gue cuma sampai di sini ya, By! Setelah ini gue nggak mau ikut campur lagi sama masalah kalian.”
Wanita itu lantas mengintip ke arah seorang pria yang terkapar di sofa dengan keadaan telanjang bulat. Dia lantas mendengus jijik. “Si b******n,” umpatnya lirih.
Wanita itu kemudian kembali kepada si gadis muda tadi. “Oke. Barangnya udah gue terima. Duit elo udah gue transfer. Lima puluh juta,” katanya kepada gadis itu.
“By, kesepakatan kita kan cuma tiga puluh juta.”
Ucapan gadis tersebut menghentikan langkah si wanita muda tadi. Dia menoleh dengan wajah datarnya. “Gue tambahin. Buat bayar uang kuliah adek elo,” ujarnya. “Tagihan room sama minuman kalian juga udah gue bayar,” lanjutnya sebelum melangkah menjauh.
“Abby! Thank you,” kata si gadis dengan senyuman penuh syukur.
Wanita itu, si Abigail tidak menanggapinya. Dia melanjutkan langkahnya dengan senyuman bahagianya. Wanita itu memasukkan tabung bening tadi ke dalam tasnya dan pergi dari klub. Abigail mengendarai mobil sedan hitamnya dengan kecepatan tinggi. Meski jalanan tidak selenggang biasanya tapi itu tidak lantas membuatnya menurunkan kecepatan mobilnya.
Bahkan dengan santai, wanita itu memainkan ponselnya meski beresiko buruk. Seraya menyetir dengan sebelah tangan, dia menelepon seseorang. “Rin? Gue dapet barangnya. Gue ke rumah sakit sekarang.”
“Apa? By---” ujar seorang wanita di seberang sana.
Abigail memutus teleponnya secara sepihak bahkan sebelum si penerima telepon menjawab ucapannya. Dia semakin mempercepat laju mobilnya dan berhenti di sebuah rumah sakit universitas kedokteran yang terkenal di kota tersebut. Setelah memarkirkan mobilnya, dia duduk diam, menunggu ponselnya berbunyi.
Tak lama, ponselnya benar-benar berdering. Abigail dengan santai mengangkatnya. “Gue parkir di seberang mobil elo, sedan hitam.”
Abigail lantas melambai pada seorang wanita yang berlari-lari kecil keluar dari mobilnya dan menghampirinya. Dengan napas terengah, wanita itu mendelik kepada Abigail. Dia tampak marah saat melihat tabung kaca tersebut. “Gila ya lo, By? Lo beneran mau …” Wanita itu menghela napas panjangnya.
“By … gue tau elo marah dan sakit hati, tapi ya nggak gini caranya. Ini kan tindakan ilegal, By. Gue juga bakal kena getahnya kalau sampai kita ketahuan. Lisensi gue bisa dicabut tau nggak!”
Abby mengendikkan bahunya pelan. “Kalau nanti ketahuan, biar gue yang tanggung. Gue janji nggak bakal sebut nama elo, Dokter Karina.”
Dokter Karina lantas menghela napas panjangnya. Dia sebenarnya berat untuk melakukan permintaan Abby. Namun dia juga merasa ingin membantu sang sahabat untuk membalaskan dendamnya. Karena jujur saja, dia adalah orang yang paling tahu bagaimana hancurnya hidup Abby karena seorang pria.
Waktu sepuluh tahun, tidak lantas bisa menghilangkan ingatan dan rasa sakit yang diderita oleh Abigail karena pria itu. Seorang Karina yang tidak mengalaminya saja sampai detik ini masih tidak bisa melupakannya. Bahkan amarahnya terus muncul kala mengingat kejadian waktu itu. Apalagi Abby yang mengalaminya sendiri. Hidup wanita itu pasti sangatlah berat.
Terbukti dengan kepribadiannya sekarang yang berubah drastis. Abby yang dulu sangat lembut, periang dan juga penyayang, kini sudah menjadi sosok wanita dingin dan angkuh. Karina sungguh menyayangkan perubahannya. Bahkan wanita itu hampir lupa sama sekali dengan sosok Abigail yang dulu bersahabat dengannya di Sekolah Menengah Atas.
Dokter Karina lantas menerima tabung kaca tersebut dari tangan Abby. “Gue usahain ini. Gue nggak janji ya, By. Prosesnya penuh resiko. Jadi gue yakin yang terjadi nanti itu yang terbaik,” ujarnya kepada wanita itu.
Abby mengangguk kecil. “Thanks, Rin.”
Dokter Karina mengulas senyuman tipisnya. “Lagi pula sebenernya elo bisa coba cara yang lebih normal kan, By.”
“Normal?” kata Abby bingung. “Maksud elo …“
“Ya … elo tau maksud gue. Elo bisa kasih obat apa kek biar kalian bisa berhubungan seks tanpa cara ekstrem kayak gini.”
“Gue udah nggak waras kalau sampai mau berhubungan intim sama b******n itu lagi,” balas Abigail dengan marah.
Dokter Karina mengangguk-angguk cepat, takut Abby akan merespon lebih kerasa dari ini. “Oke. Gue cabut ya!” katanya sebelum pergi meninggalkan Abigail dan masuk ke dalam lift.
Abby menghela napas panjang. Perkataan Dokter Karina sontak mengingatkannya kepada masa lalu. Masa-masa kelamnya yang dia alami hampir sepuluh tahun lalu. Dijadikan obyek taruhan oleh seorang pria yang dia sayangi, betapa hancur hatinya kala itu. Abigail yang polos sampai rela memberikan kegadisannya pada si pria.
Dia adalah Daniel Steffan Sebastian, pria yang dia curi benihnya saat ini. Dan dengan benih tersebut, Abby berjanji akan membuat hidup Daniel bagai di neraka.
Gadis itu lantas menyeringai kejam, mematut bayangan wajahnya dari kaca yang ada di dalam mobil. Setelah ini, dia berjanji tidak akan mengampuni Daniel sebelum pria itu menangis darah dan bertekuk lutut di hadapannya.
***
“Loh, Mbak Abby!”
Abigail tersenyum kecil menanggapi sapaan seorang petugas keamanan yang ada di kantor papanya. “Pak Arman, papa saya ada kan, ya?”
“Sepertinya tadi sudah datang kok, Mbak. Coba saya tanya ke resepsionis dulu ya, Mbak.”
Abby mengangguk, lantas mengekori langkah pria bertubuh tinggi besar itu menuju ke bagian resepsionis. “Mbak Lina, tadi Pak Alan sudah datang kan?”
Gadis itu, si resepsionis yang bernama Lina lantas mengangguk membenarkan. “Udah kok, Pak. Memang ada apa?” tanyanya.
“Ini ada Mbak Abby datang mau ketemu.”
Si resepsionis sontak mendesah malas melihat sosok Abigail yang tersenyum miring kepadanya. Abby ingin tertawa saat melihat wajah masam si resepsionis. Dia masih ingat benar si resepsionis tersebut menangis karena ulahnya satu bulan yang lalu.
Abby menunggu Lina menelepon dengan mata yang berkeliaran, menatap sekeliling kantor ayahnya yang tidak banyak berubah meski katanya kantor itu baru direnovasi. Namun kemudian matanya tertuju kepada sebuah lukisan besar yang terpajang di dinding. Mendadak hatinya diliputi kehangatan saat melihatnya.
Dia senang karena papanya meletakkan lukisan tersebut di sana, lukisan yang dibuat oleh Abby sebagai hadiah atas pembukaan usaha baru papanya dua tahun lalu. Abby kira papanya telah lupa dengan lukisan tersebut.
“Mbak Abby! Mari saya antar ke atas.”
Abigail mengangguk dan mengikuti security tadi untuk masuk ke dalam lift, menuju ke ruangan papanya. Saat sampai lantai teratas gedung, wanita itu melihat sosok Anita, sekretaris papanya yang sedang berada di mejanya. Tanpa banyak berpikir Abby langsung menghampiri gadis itu.
“Papa saya di dalam kan?”
“Oh, Mbak Abby. Silahkan, Mbak. Sudah ditunggu Pak Alan.”
Abigail pun beranjak membuka pintu ruangan papanya. Begitu masuk ke dalam, wanita itu melihat papanya sedang duduk di kursi kerjanya sambil memeriksa beberapa dokumen. Pria tua itu hanya menoleh sekilas pada Abby saat tau dia datang dan melanjutkan pekerjaannya.
“Sibuk, Pa?”
“Lumayan,” kata papanya. “Tumben kamu datang? Ada apa?” balas pria itu dengan kepala yang tertunduk, menatap dokumen di atas mejanya.
“Abby hamil, Pa.”