Part 2 - End

1427 Kata
Sudah 4 bulan berlalu sejak perjanjian bodoh antara Elisa dan Gilang terikat. Status mereka masih sama, berpacaran. Namun... tanpa perasaan yang jelas di antara keduanya. Dan kini mereka pun sudah menyelesaikan Ujian Nasional. Hanya tinggal menunggu pengumuman mengenai kelulusan mereka. Tak ada putih, tak ada hitam. Yang ada hanya warna abu-abu. Sebuah warna yang menunjukkan sebuah kondisi tanpa kejelasan. Terkadang Elisa bertanya dalam hati, sampai mana hubungan ini terus berlanjut? Sampai kapan hubungan ini bisa bertahan? Hingga pada saat nanti mereka ada di sebuah titik terjenuh dalam hubungan, lalu memutuskan untuk berpisah? ‘Perpsisahan’. Satu kata yang entah kenapa membuat Elisa merasa tidak nyaman. Mungkin… jauh di lubuk hati yang paling dalam, ia tidak ingin berpisah dengan Gilang. Padahal awalnya dialah yang menolak mentah-mentah permintaan Gilang yang menurutnya cukup gila itu. Apa mungkin suatu saat nanti ia akan berpisah dengan Gilang? Apa suatu saat nanti… Gilang akan meninggalkannya? Mencampakkannya? Memikirkan hal itu membuat salah satu bagian hati Elisa merasa sangat tidak nyaman. Ini… sebuah rasa sakit. Bahkan entah kenapa ia merasa ada sebuah genangan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Apa ia akan menangisi Gilang? Namun, ada satu pertanyaan yang dapat mewakili semua ini. Kenapa ia terus memikirkan Gilang?   ***   "Yeay, gue lulus!!!" teriak Elisa dengan gembira dan penuh semangat ketika ia melihat namanya tertera di mading sekolah dengan nama 'Elisa Permata' dan dinyatakan 'LULUS.' "Yeay, gue juga El!" teriak Manda yang tak kalah semangatnya. Namun setelah itu, ia tidak ikut tradisi corat-coret baju. Elisa sibuk mencari seseorang yang akhir-akhir ini mengisi hatinya. Gilang… Di mana dia sekarang? Apa dia tidak datang di acara kelulusan? Tidak mungkin. Saat matanya bergerak liar mencari sosok itu, sebuah tangan menarik lengannya. Elisa tidak melawan, karena tanpa melihat pun ia tahu ini tangan siapa. "Apaan sih Lang, main tarik-tarik aja lu!" Gilang tertawa kecil. "Hehe sori-sori, kebiasaan sih." Elisa membalasnya dengan menjulurkan lidahnya. Sebuah cibiran lucu yang mewakilkan hatinya yang lega telah bertemu seseorang yang ia cari sedari tadi. "Mau ngapain nih?" tanya Elisa sedikit malas. "Hmm… gimana kalau ke pantai lagi? Terus kita bisa nonton film lagi deh! Anggap aja merayakan kelulusan hehe" jawab Gilang dengan tawa khasnya. "Kan gue udah janji." sambungnya. "Ayooo!" teriak Elisa dengan semangat. "Eh, tunggu bentar. Gue ambil mobil dulu ya. Soalnya parkirnya kejauhan haha. Abis parkiran sekolah rame banget jadinya ya… terpaksa deh parkir jauhan hehe." Elisa tertawa geli saat mendengar kata-kata yang Gilang ucapkan. Ia memukul lengan Gilang pelan searaya  berkata "lebay lu haha! Yaudah sana ambil. Gue tunggu di sini ya" “Okey!” kata Gilang sembari berjalan meninggalkan Elisa.   ***   Sudah 20 menit lebih Elisa menunggu di gerbang sekolah, tapi tidak ada tanda-tanda Gilang akan menghampirinya. Gilang kemana sih? Batinnya terus bertanya-tanya. Entah kenapa, sebuah perasaan tak nyaman terus menghantui pikirannya. Ia berharap itu hanyalah sebuah perasaan. Tak lama setelah itu, ponsel Elisa berdering. Senyumnya mengembang saat melihat nama pemanggilnya menunjukkan nama Gilang. Tanpa pikir panjang, ia segera mengangkatnya. Namun senyumnya perlahan hilang ketika mendengar suara tangisan yang bukan suara Gilang. Jantungnya berdegup kencang dan perasaan tak nyaman itu kembali muncul. Ada apa? "I-ini... Kak El?..." Suara tangisan itu ternyata suara Nina, adik Gilang.  "Iya kenapa, Nina?" tanya Elisa dengan suara panik. Kenapa Nina menangis? "I-itu kak... Kak Gilang…" suara tangisan Nina semakin menjadi. "Apa?! Gilang kenapa?!" Elisa sudah tidak sabar. Namun sebuah kalimat yang Elisa dengar membuat tubuhnya kaku tidak bergerak. Nafasnya mendadak bergemuru tak karuan. Matanya memerah menahan air mata. Bahkan aliran darahnya seolah terhenti karena kaget yang teramat sangat. "Kak Gilang kecelakaan."   ***   "El, ini gue Manda. Keluar yuk, kita ke Starbucks. Gue traktir deh" bujuk Manda sambil mengetuk beberapa kali pintu kamar Elisa. Namun yang ada hanya sebuah keheningan tanpa adanya jawaban. Di dalam kamar itu, ada seorang gadis yang mengurung diri di dalam selimut. Menangis… tanpa isakan. Air matanya terus membasahi pipinya yang belum berhenti bersedih sejak 3 hari lalu. "Aku mencintaimu. Tapi maaf, aku tidak bisa bersamamu selama yang kamu inginkan Elisa. Namun percayalah, bahkan jika kita tak lagi dapat Bersama, hatiku hanya milikmu." Kalimat-kalimat itu terus terulang bak kaset rusak dalam otak Lisa. Ia berusaha mengenyahkannya, namun itulah yang menjadi biang kerok atas deraian air matanya ini. Dalam rindu kuberharap ada sebuah kebahagiaan yang akan kudapatkan. Namun apa merindukan harus sesakit ini? Kenapa merindukan harus sesakit ini? Bahkan saat kau tahu, bahwa seseorang yang kau rindukan itu takkan kembali. Pikir Elisa dalam hati. Ia merasa bodoh. Kenapa ia bisa jatuh terlalu dalam seperti ini? Kenapa mencintai dan merindukan menjadi dua hal yang sangat menyakitkan yang harus ia rasakan? Di saat orang lain bahagia karena cinta, ia tidak dapat merasakannya. Ia tersiksa. Kepercayaannya tentang cinta yang tidak pernah ia percayai sebelumnya roboh. Ia benci. Benci kepada Gilang. Ia benci perjanjian bodoh yang terjadi kala itu. Jika perjanjian itu tidak pernah ada, Elisa takkan menangisi Gilang hingga seperti ini. Bahkan Gilang sendiri belum menepati janjinya untuk pergi ke pantai dan menonton film lagi.  Elisa pun beranjak dari kasur yang menemaninya sejak 3 hari terakhir ini. Ia berencana untuk membersihkan dirinya dan juga membersihkan segala kenangan tentang Gilang yang terukir di dalam hatinya. Meski ia tahu, itu pasti membutuhkan waktu yang sangat lama. Matanya masih bengkak, meski ia sudah mandi. Karena saat mandi pun, ia masih menangis. Entah kenapa air matanya tidak dapat diajak kompromi untuk berhenti, seolah cadangannya tidak akan pernah habis. Hari ini ia akan ke pantai. Sendirian… tanpa Gilang. *** Elisa pun sampai di pantai yang sempat ia datangi dengan Gilang beberapa bulan lalu. Kenangan pada masa itu kembali terputar di kepalanya, seperti sebuah film romantis yang indah. Namun tidak berakhir dengan akhir yang bahagia. Ia berjalan ke arah bibir pantai, merasakan sapuan ombak laut yang membasahi kakinya. Angin pantai menerpa wajahnya yang masih terlihat sedih. Ia menghela nafas, berusaha menormalkan detak jantung dan suasana hatinya. Dadanya terasa sesak, seolah rusuk-rusuknya mengepit jantung. Membuatnya sulit bernafas, meski banyak udara segar di sekitarnya. "Hey Lang... Lu tau ga? Gue kangen sama lu. Kangen cibiran lu, kangen ejekan lu, kangen senyuman lu, kangen…" suaranya terhenti, air mata kembali membasahi pipinya. Namun ia tetap lanjut bergumam "…kangen suara lu, kangen ketawa lu, kangen semua tentang lu, Lang. Apalagi waktu kita main basket bareng. Gue kangen saat-saat itu" ia tersenyum pahit. Suaranya terdengar lirih, menyayat hati. "Elu bahkan belum nepatin janji lu ke gue kan? Janji itu hutang loh. Harusnya lu sekarang di sini, di samping gue. Lagi ngejek gue kek, lagi ngacak-ngacak rambut gue kek, atau apa gitu, terserah lu. Yang penting, gue harap lu di sini," tangisannya terdengar begitu pilu "Dan yang paling parahnya, gue cuma bisa berharap Lang. Ngga lebih. Karena biar gimana pun… gue harus ngerelain lu." Ia terdiam, membiarkan tiap tetes air mata terus mengalir membasahi pipinya. Ia tidak peduli lagi dengan tatapan orang-orang yang kebingungan melihatnya. Ia hanya ingin di sini, tempat di mana pertama kali ia merasakan cinta. Sebuah perasaan aneh, yang juga berasal dari orang yang aneh. Seseorang yang awalnya menjadi musuh, kini menjadi seseorang yang berharga yang mengisi tempat spesial di hatinya. Dan seseorang yang telah tiada, meninggalkan sejumlah kenangan yang tidak bisa hilang begitu saja. "El! Elisa!" panggil seseorang dari belakang Elisa. Ia tak langsung menoleh. Dalam hatinya ia bergumam ‘seandainya orang yang manggil gue itu elu Lang. Gue pasti seneng’ Ia mengusap wajahnya dengan perlahan, menghapus sisa-sisa air mata agar habis tak bersisa. Barulah ia menoleh ke belakang, dan dahinya berkerut. Seorang lelaki bertubuh tinggi, berwajah ganteng dan berkulit putih. Rambutnya warna kecoklatan, matanya berwarna coklat gelap. Terlihat sebuah rasa nostalgia di sana. Namun Elisa tak mengenal siapa dia. "Hai El! Masih ingat gue ngga?" tanya lelaki itu kepadanya Suara itu… Elisa berusaha mengingatnya meski itu sulit karena kini pikirannya hanya dipenuhi dengan Gilang. "Vino?!" dan lelaki yang kini di depannya pun mengangguk membenarkan perkataan Elisa.  "Iya bener banget. Wah… udah lama banget ya ga ketemu. Terakhir kalo ga salah waktu perpisahan SMP deh, hahaha" ujarnya seraya tertawa. Ini Vino, sahabat Elisa saat masa SMP. Dia baik, ganteng, dan termasuk jajaran siswa paling diincar di kalangan cewe-cewe. Namun hanya satu gadis yang boleh dekat dengannya, yaitu Elisa Permata. Elisa mengangguk mengiyakan. "Iya nih. Jadi kangen masa SMP" padahal dalam lubuk hati yang terdalam, hanya Gilang yang ia rindukan saat ini. "Mau ke gedung lama di sekolah? Kayanya udah makin canggih deh" ajak Vino. "Wah, boleh tuh. Yuk!" Elisa menyetujui ajakan Vino untuk pergi bersama. Setidaknya saat ini, Elisa bisa melupakan sedikit masalah hatinya. Dan tanpa sepengetahuan Elisa, Vino berharap kehadirannya dapat mengobati rasa sakit di hati Eisa. Berusaha menjadi yang terbaik agar dapat mengganti kesedihan di hatinya menjadi cinta yang baru.   === TAMAT ===
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN