Part 1
Elisa melirik ke arah jendela. Tidak ada satu pun materi pelajaran yang masuk ke dalam ingatannya. Ia sibuk memandang Gilang, seseorang yang belakangan ini telah menjadi musuhnya. Dia sedang latihan basket di lapangan untuk persiapan turnamen basket antar sekolah minggu depan.
Gilang adalah seorang siswa yang bisa dibilang cukup tampan di mata kaum hawa dan juga pintar. Paling hebat dalam mata pelajaran olahraga, dan tentu saja, mahir bermain basket. Dia sering menjadi shooter. Hampir sama dengan Elisa, yang merupakan kapten basket putri di sekolahnya.
"El, Elisa! Ayo ke kantin!" ajak Manda, sahabatnya.
Sempat ia sedikit terkaget, namun menormalkan kembali raut wajahnya. Manda menatapnya heran.
"Ada apa, El?" tanya Manda
Elisa menggeleng, "Engga, gapapa kok. Yuk." jawab Elisa seraya bangkit dari tempat duduknya, menuju pintu kelas. Karena Elisa tidak begitu fokus, tidak sengaja pula ia menabrak seseorang di depannya.
"Sakit banget, apaan sih…Lah, elu?!” kata Elisa kaget.
Bagaimana mungkin? Baru beberapa saat lalu lelaki itu ada di lapangan basket, dan sekarang sudah di hadapannya? Cepat sekali!
"Kalo jalan liat-liat dong bocah" kata Gilang sambil berjalan melewati Elisa.
Apa? Bocah? Apa Elisa tidak salah dengar? s****n! Memang dasar lelaki di kelas ini tidak ada yang beres! Elisa berjalan sembari menghentakkan kakinya beberapa kali. Ia masih kesal karena perkataan Gilang barusan. Itu pertama kalinya ia disebut 'bocah' di depan wajahnya sendiri.
"Udahlah El, ga usah dipikirin" ujar Manda yang berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkah Elisa yang terkesan berjalan cepat. Elisa menoleh kearah sahabatnya itu dengan wajah tidak percaya.
"Ga usah dipikirin gimana? Seriusan? Udah berapa kali dia ngatain gue, Nda? Padahal gue ga pernah ganggu kehidupan dia kan!" seru Elisa membalas kalimat sahabatnya.
“Ya ngga usah kali. Diemin aja dulu. Ntar dia juga bosen sendiri" balas Manda seraya berjalan ke arah kantin yang sudah ramai.
Elisa pun mengikuti langkah Manda, namun sebuah tangan menahannya hingga punggungnya pun menabrak loker yang tadi di sampingnya. Betapa kagetnya ia ketika melihat wajah Gilang di depannya. Ia menggerutu dalam hati, kenapa ia bisa selemah ini.
"Lu mau apa sih?!" Elisa menatapnya dengan tatapan marah. Namun Gilang justru tersenyum, membuat bulu kuduknya merinding.
"Kita harus bicara. Ikut gue." Kata Gilang sambil menarik tangan Elisa dengan paksa. Walaupun Elisa sudah berkali-kali menolak, namun Gilang tetap pada pendiriannya. Hal itu terus terjadi, ketika mereka telah sampai di atap sekolah. Sebuah tempat sepi yang merupakan tempat rahasia Gilang ketika dia sedang ada masalah. Dia menikmati pemandangan di luar gedung sekolah itu dari sini. Semuanya terlihat jelas. Berbagai gedung-gedung tinggi menjulang pun terlihat kecil.
"Lu mau ngomong apa, hah?!" tanya Elisa setengah membentak. Ia sudah muak dengan Gilang! Apa yang Gilang inginkan darinya?
"Gue pengen buat perjanjian sama lo." Kata Gilang dengan percaya diri.
Dahi Lisa mengkerut heran, "perjanjian apa?"
"Kalo tim gue bisa menang di turnamen minggu depan, lu harus ikutin apapun permintaan gue. Kalo tim gue kalah, gue bakal lenyap dari kehidupan lu selamanya.” Jelas Gilang sambil tersenyum.
Lenyap? Ulang Elisa dalam hati. Hmm… menarik. Kalo nih cowo s****n bisa lenyap tak bersisa dari hidup gue, tandanya hidup gue bisa tenang kaya dulu dong?
"Lu yakin?" tanya Elisa seraya menaikkan sebelah alisnya. Gilang mengangguk dengan pasti.
"Sebenernya, apa tujuan lu mau bikin perjanjian aneh kaya gini?"
"Rahasia dong" jawab Gilang seraya menjulurkan lidahnya mengejek. Elisa berdecak sebal.
"Deal?" tanya Gilang seraya mengulurkan tangannya, untuk berjabat. Elisa pun menjabat tangan Gilang dan berkata, "deal."
*1 minggu kemudian...*
Elisa menggigit kukunya tanda ia sedang gelisah. Bagaimana ini? Sorak sorai penonton yang mendukung tim SMA 13, sekolahnya, terus menggema di kupingnya. Skor menunjukkan 59 - 27, yang jelas mengatakan bahwa tim basket putra dari sekolahnya itu menang telak.
Di pikirannya pun terus terngiang-ngiang akan ucapan Gilang tentang perjanjian di atap itu minggu lalu. Belum lagi raut wajah Gilang yang tampak sangat bahagia saat tahu timnya menang. Ia melihat kearah Eisa yang masih mengigiti kukunya. Dia tersenyum lucu dan menghampiri gadis itu.
Tanpa disadari Elisa, kini lelaki yang membuat ia gelisah itu duduk tepat di sampingnya. Ia terus mengumpat dalam hati. Seandainya waktu bisa diulang, Elisa tidak akan menerima tantangan Gilang jika tahu hasilnya seperti ini. Sebuah kemenangan telak yang tak terbantahkan.
"Apa?" tanya Elisa dengan nada datar. Namun matanya tidak dapat berbohong. Terlihat jelas rasa gelisah dan panik di sana.
Gilang tersenyum sambal berkata "jangan lupa dengan kesepakatan kita ya sayang."
Elisa menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Apa? Sayang?! Menjijikkan. Padahal dulu Gilang pernah memanggilnya 'bocah'. Namun kenapa sekarang berubah jadi 'sayang'?!
"Gue ga lupa" kata Elisa kesal, meninggalkan Gilang yang kini tersenyum geli kearahnya. Inilah saatnya, menjadikan Elisa miliknya.
"Gue cuma mau satu hal yang lu lakuin. Ga susah kok." Elisa yang tadinya hendak berjalan, mendadak diam membatu menunggu lanjutan kata-kata dari Gilang.
"Jadi pacar gue." Kata Gilang dengan senyum tulus.
Seolah merasa ada sesuatu yang salah, Elisa berbalik dan menatap Gilang dengan tatapan ‘gue-ngga-salah-denger-kan?’ Seolah mengerti maksud tatapan Elisa, Gilang menggelengkan kepalanya pertanda bahwa ini sebuah keseriusan.
Elisa menatapnya tak percaya, atas apa yang baru saja lelaki di depannya ini katakan.
"Lu gila ya!" teriak Elisa yang kemudian berlari meninggalkan Gilang yang tertawa terbahak-bahak karena responnya.
***
"El berangkat ya ma!" teriak Lisa yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Mamanya yang berada di dapur menyahut, "Iya! Hati-hati ya El."
Segera ia berlari keluar dari rumah, namun seketika itu pula pergerakannya terhenti.
"Gilang?! Lu ngapain di sini?" tanya Elisa yang tidak percaya dengan apa yang kini ia lihat di depannya.
"Ya gue mau jemput lu lah. Masa gue nongkrong depan rumah orang."
Mata Elisa membulat, mulutnya setengah menganga. Gilang pun tertawa melihat ekspresi Elisa.
"Kan mulai hari ini lu jadi pacar gue." Perkataan Gilang membuat Elisa kesal. "Ngarep lu! Gue ngga akan mau jadi pacar lu! Suka sama lu aja enggak!" kata Elisa yang masih kesal.
"Yaudah buruan. Tinggal 10 menit lagi pagar sekolah tutup loh." Kata Gilang padanya.
Apa?! 10 menit lagi? Kalo jalan kaki, bisa telat beneran gue. Ikut aja kali ya? Elisa berbicang dalam pikirannya. Ia pun dengan langkah yang ragu-ragu akhirnya masuk ke dalam mobil mewah milik Gilang. Melihat hal ini, sebuah senyum kemenangan terukir di bibir Gilang.
***
Sudah 2 minggu berjalan semenjak aktivitas antar-jemput Elisa dengan Gilang dimulai. Dan kabar mereka berpacaran pun tersebar luas di sekolah. Padahal Elisa sama sekali tidak menganggap mereka berpacaran.
"Mau kemana nih?" Tanya Gilang memecah keheningan di antara mereka. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan yang belum tahu akan kemana.
"Hmm… terserah lu aja, kan yang ngajak elu" jawab Elisa malas.
Gilang memang benar-benar seorang lelaki yang licik. Ia menyesal sudah menyetejui perjanjian bodoh itu. Kalau tahu begini, Elisa takkan menyetujuinya.
"Ke pantai aja gimana? Terus kita marathon film deh." usul Gilang padanya.
Elisa sedikit tersenyum dengan saran ini seraya berkata "yaudah, yuk."
Elisa memang sangat suka menonton film. Tapi ia tidak bisa sesering itu untuk melakukannya, karena biayanya pasti mahal. Kan buang-buang duit. Lagian, lebih baik uangnya dipakai untuk hal yang lebih penting kan? Mereka pun sampai di pantai. Pemandangan yang begitu indah dan angin laut seolah menyambut kedatangan mereka.
"Kenapa lu ngajak gue ke pantai?" tanya Lisa yang mendadak kepo.
Gilang tersenyum dan menjawab, "karena gue tau, elu suka sama pantai. Iya kan?"
Elisa mengangguk. Ia suka dengan pantai sejak kecil. Pemandangan yang indah, apalagi ketika kita dapat melihat pemandangan sunset yang tiba.
"Eh, lu kalo ke pantai lagi ajak-ajak gue ya!" pinta Elisa kepada Gilang.
"Emang kenapa?" tanya Gilang penasaran.
"Ya kan seru kalo bareng. Kalo sendirian sih gue ga mau. Kesannya kaya orang yang sendiri banget gitu." Kata Elisa menjawab pertanyaan Gilang. Gilang pun tertawa kecil dengan hal itu.
"Janji ya?" Pinta Elisa dengan tatatapan memelasnya.
"Iya deh, janji." balas Gilang yang masih tertawa. Dia mengacak rambut Elisa sambil tersenyum senang dan geram. Tentu saja rambutnya sedikit berantakan.
"Gilang! Benerin ngga?! Ini gue udah cape-cape sisir loh!" teriak Elisa kesal. Namun Gilang malah tertawa.
Entah apa yang Elisa rasakan saat ini, namun saat ini lah yang membuatnya tenang. Membuat suasana hatinya menghangat. Dan tanpa disadari, ada sebuah perasaan aneh ketika ia bersama Gilang. Sebuah perasaan yang mungkin seharusnya tidak ada di antara Elisa dan Gilang.
Tanpa disadarinya pula, ia telah jatuh kepada Gilang. Namun apakah Gilang akan menangkapnya?
To be continued...