Keterpurukan Jean

1571 Kata
Pria dengan badan tambun itu berdiri dekat koridor rumah sakit. Dia berkacak pinggang, mengamati daerah sekitar yang entah mengapa seperti mengundang perasaan mencari-cari terhadap sebuah objek yang ditujunya. Jika dikatakan dia tengah berpikir panjang untuk menyelesaikan masalah, bisa saja. Sepanjang aktivitas hari ini, penglihatan soal kondisi istrinya masih belum kunjung menemukan tanda-tanda jalan keluar. “Dad!” panggil suara yang sontak membuat arah pandangan Gregory mengarah ke sana. Dia bingung untuk mengatakan apa, soal penglihatan yang ditatapnya saat ini. “Liana?” balasnya lemah lembut. Memegang pergelangan tangan sang ayah, Liana langsung membawa laki-laki berkulit sedikit putih itu untuk bisa menapak ke suatu tempat. Kali ini kelihatannya hendak memberi tahu soal sesuatu yang dia lihat. “Lihat itu, Dad!” Diam dan tidak banyak berbuat apa-apa, wajah Gregory merespons dengan senyum kecil. Dia mengusap wajah, lantas menarik napas dalam-dalam. Apa yang terlihat depan sana sedikit membuat dirinya lega karena memastikan bahwa Jean baik-baik saja. Tabung oksigen yang terpasang di hidungnya membuat Gregory menahan tangis tersebut. “Bagaimana kondisi Mom? Dokter mengatakan apa barusan?” Menunduk ketika sang ayah bertanya pasal itu, wajah Liana terlihat murung. Dia menelan ludah susah payah dan melirik balik ke arah ayahnya lagi. “Mom masih cukup mengkhawatirkan. Kata dokter, perlu beberapa waktu bahkan hari sampai Mom kembali tersadar.” Mengacak rambut dengan kasar, wajah Gregory ikut terlipat kusut. Dia menyandarkan dirinya di dinding rumah sakit, kemudian memejam lagi untuk beberapa waktu ke depan. Dunia Liana dan Gregory benar-benar sangat hancur sejak Jean dinyatakan masuk rumah sakit beberapa waktu lalu. “Kita tunggu saja sampai Mom sadarkan diri, Dad. Aku yakin Mom pasti kuat,” tandas Liana yang mencoba menyemangati sang ayah. “Iya, Liana. Dad mengerti itu, kita akan selalu menunggu sampai Mom sehat lagi. Sebentar lagi, tidak akan lama, yakin dan percaya sama Dad.” Berpindah tempat untuk duduk di kursi tunggu, Gregory bersama Liana saling menatap kosong. Keduanya memainkan gerak jari jemari untuk bisa memaklumi keadaan ini. Lama kelamaan rasa khawatir dan takut pasal kondisi Jean pasti usai dipikirkan. Mereka memantapkan perasaan untuk bisa berpikir positif. Walau bagaimanapun, yang paling penting adalah berdoa bahwa korban cepat mendapatkan kesembuhan. Terburu-buru berdiri saat ada laki-laki jas putih berkalung stetoskop keluar, Liana dan Gregory paham bahwa lawan pandang mereka hendak mengatakan soal kondisi pasien. “Iya, Dok, bagaimana keadaan istri saya?” Gregory terburu angkat bicara. Menarik napas panjang dengan sekali helaan, dokter berumur empat puluh tahunan itu langsung menggeleng sebentar. Beliau ingin mengatakan pelan-pelan tentang kondisi pasien bernama Jean yang masuk ruangan dua jam lalu. “Tenang, Tuan, saya harus menjelaskan pelan-pelan pasal keadaan Nyonya Jean.” “Iya, bagaimana dokter?” “Nyonya mengidap penyakit serius. Dengan itu, kami belum bisa mengatakan langsung apa yang dialami oleh pasien. Mungkin menunggu beberapa waktu lagi sampai hasilnya keluar.” Belum benar-benar puas, wajah Gregory menyimpan rasa penasaran yang tidak bisa hilang dari sana. Lekat dan seperti sudah berontak akan jawaban yang sebenarnya. “Saya ingin mengetahui fakta yang ada, Dok. Katakan sekarang!” “Maaf, Tuan, tidak bisa. Kami juga harus menguji ulang sampai semua benar-benar pasti. Sebelumnya bukannya Nona Liana telah mengerti jawaban ini?” Mendengar itu, Liana yang terdiam seketika berbicara cepat. Dia menjelaskan bahwa sebelumnya ucapan sang dokter sudah dijelaskan pada ayahnya. “Sudah, Dok. Dad memang sulit menerima fakta yang ada. Maafkan beliau, dokter.” Menghindar dari tempat sebelum tersenyum kecil mendapat jawaban dari Liana, dokter itu pergi meninggalkan Gregory dan putrinya itu. Sekarang hanya tersisa Liana dan sang ayah yang lamat-lamat kembali terduduk di tempat sampai menunggu konfirmasi dari suster bahwa mereka diizinkan masuk menemui pasien. “Kita tunggu di sini dulu, Dad. Mungkin suster sebentar lagi akan memberikan informasi untuk kita mengunjungi Mom di dalam,” ucap Liana yang seolah-olah mencairkan suasana. Dia ingin sekali melihat orang tuanya baik-baik saja, tanpa ada pemikiran ini dan itu, yang kesannya membuat sakit. “Baik, Dad sudah mengerti. Terima kasih, anakku.” Terduduk di kursi usai mengatakan itu, Gregory masih terus menatap lembut wajah putrinya yang berdiri di depan mata. Entah mengapa ekspresi pria empat puluh tahunan itu mendadak iba dengan Liana yang terus menerus menampakkan usahanya. “Untuk apa Dad berterima kasih kepadaku? Ini bukan kesalahan siapa-siapa, Dad!” ujarnya setengah tegas. Hening dan bungkam, Gregory masih harus menetralkan pikiran tak enak di dalam kepala. Dia juga harus banyak-banyak berpikir cerah terhadap tanggapan Liana barusan. Jika seorang wanita muda seperti Liana saja mampu menyelesaikan permasalahan ini, bagaimana mungkin tidak ada yang bisa ikut seperti itu. Ini juga demi kebaikan yang diterima Jean jika sadarkan diri nanti, melihat keluarganya tak terus menerus larut dalam kesedihan seperti ini. “Mungkin Dad bisa menangis melihat kondisi Mom kamu. Bukan sebentar, yang pasti sepanjang mungkin sampai Dad mengaku lelah.” “Terus? Dad ingin rencana melakukan itu, bukan?” Tersenyum miring mendengar putrinya berkata seperti itu, wajah Gregory sontak buyar akan kesedihan. Dia menarik napas dalam-dalam, lantas berpindah arah menghadap Liana yang sudah terduduk di sebelah. “Dengarkan Dad, Liana.” Saling berhadapan, wajah Liana seakan-akan bertanya tentang apa yang ingin disampaikan oleh laki-laki itu kepada dia setelah ini. Bingung, semua yang mereka hadapi terasa kaku untuk bergerak. Hanya tindakan kecil yang mampu terlihat dan bisa menjadi patokan dalam perjalanan itu nantinya. “Dad menyayangi Mom, juga dengan kamu. Untuk kalian, Dad akan ikuti apa pun itu alasannya. Terima kasih, karena putri Dad sudah berhasil membuat Dad bahagia dan lepas dari kesedihan.” Tersenyum bahagia yang terlihat semakin lebar, Gregory mengacak puncak kepala Liana. Mereka berdua tertawa kecil dan menikmati kesedihan itu dengan senyum kebahagiaan. Sebenarnya bukan melupakan soal keadaan Jean, tetapi ini masuk dalam usaha mereka menghibur diri. Bagaimana lagi usaha yang mampu dikatakan selain berbuat seperti sekarang. “Aku bahagia bisa melihat semua ini cair seketika. Dad harus tetap tenang, percaya pada Mom, bahwa semua ini akan selesai dengan baik-baik saja. Liana sayang Dad dan Mom.” Berpelukan, anak dan Ayah yang dilanda perasaan haru saling tersenyum. Mereka menyemangati bentuk dari tindakan dan pilihan hati dalam masa-masa Jean yang tak sadarkan diri. Percuma terus menerus menangis, jika faktanya ini tidak bisa menyelesaikan masalah. Lebih baik seperti ini, sampai detik demi detik masalah usai secara perlahan tapi pasti. “Dad janji jangan bersedih lagi, ya.” Liana menampilkan deretan gigi. “Tentu saja, Liana. Dad ikut Liana saja, bahagia walaupun semua beban hidup banyak menimpa.” “Dad hebat, Liana bangga punya Dad sebagai seorang Ayah.” “Dad jauh lebih bahagia, karena Liana bisa membuat semua ini berubah seketika. Liana jauh lebih hebat, bukan?” Merenggang dari sana, Liana terbangun karena sepasang matanya harus mendapati dua suster keluar dari ruangan di depan sana. “Itu susternya,” tandas Liana diikuti gerak terbangun cepat. Mengiringi perjalanan putrinya, Gregory hanya bisa mengamati dari belakang. Dia percaya jika Liana bisa menyelesaikan ini, apa lagi urusan tanya bertanya pada seorang suster itu saja. “Bagaimana keadaan Mama saya, suster? Kami sudah diizinkan masuk, bukan?” Melirik ke arah suster satunya lagi, kedua suster tersebut sekarang saling tatap. Mereka mungkin bingung menentukan keputusan untuk memberi jawaban pada seorang keluarga pasien seperti ini. Sesungguhnya cukup menyentuh, apa lagi melihat perjuangan diri itu masing-masing. “Bagaimana? Aku sulit menentukan jawabannya.” Memejamkan mata yang bisa diartikan sebagai kata yakin, suster satunya meminta untuk setuju. Tindakan Liana dan Gregory dipercaya tidak akan membuat suasana semakin rumit. Bisa saja dengan kehadiran keluarganya, pasien atas nama Jean itu sadar dari koma yang dialami. “Baik, kita lakukan saja, ya.” Setuju dan langsung mengangguk memberi jawaban pada Liana, wanita berseragam putih yang khas sebagai seorang suster membiarkan untuk kedua sosok di depan mereka masuk dalam ruangan. Mungkin ini yang lebih baik dari pada melihat orang menunggu harapan tersebut. “Kita akan bisa bertemu Mom, Dad! Liana bahagia.” Berteriak senang dengan tawa yang melebar memenuhi sudut bibir, Liana langsung menapak masuk. Dia meninggalkan Gregory yang masih cukup sesak menahan kesedihan dalam hati. “Terima kasih, Suster.” Berkata seperti itu setelah putrinya masuk, Gregory turut memejamkan mata. Dia enggan melihat Liana menyadari bahwa tetes mata itu tumpah ruah membasahi pipinya. Apa lagi jika Jean tahu, pasti segala pikiran buruk ikut menyertai dan membuat tidak baik-baik saja. * Sampai di dalam ruangan tempat Jean dirawat, kaki Gregory langsung berhenti kaku. Dia setengah tidak tega karena melihat wajah Liana berharap penuh haru. Menunggu Jean tersadar, bukan waktu yang cepat. Dokter beserta para suster sudah memberikan jawaban yang cukup mudah dipahami. “Maafkan Dad, Liana.” Berjalan pelan menghampiri keberadaan Liana yang mendekap tubuh sang mama, Gregory awalnya ragu-ragu. Dia masih enggan menapak lebih dekat, apa lagi mengamati dengan jelas putrinya tersebut merindukan sosok Mama. Walaupun baru beberapa waktu kehilangan Jean sebentar saja, tetapi perasaan sayang dalam benak Liana terukir jelas. Dia sepi kehilangan seorang Mama yang tidak berdaya di pembaringan. “Hentikan, Dad! Ini bukan kesalahan siapa-siapa. Kita harus bisa banyak mencintai keadaan. Dad selalu ajarkan itu pada Liana, dulu.” Ingin menjatuhkan air mata karena tidak sanggup menahan tangisnya, tetapi Gregory memahami janjinya pada sang putri. Liana sudah paham bahwa sang ayah turut mengucapkan itu di awal perkataan saat berada di kursi tunggu beberapa waktu lalu. Itu tidak mungkin bisa diingkari pula oleh ayahnya secara begitu saja. “Mom bahagia Liana berada di dekatnya.” Lepas dari pikiran buruk ini dan itu, sekarang Liana bersama sang ayah saling tatap. Keduanya memeluk tubuh Jean yang terbaring di ranjang rumah sakit. Mereka banyak-banyak beradaptasi dengan segala kekecewaan serta permasalahan yang terjadi. Intinya adalah bahagia walaupun hati khawatir parah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN