Rumah Sakit

1586 Kata
Beberapa waktu lalu sejak peristiwa yang dimakan oleh kesedihan, menjadikan seketika Liana menjadi wanita yang tangguh. Dia harus bisa mengamati segala penglihatan depan mata, tentang Jean—mamanya—yang tidak lekat membuka matanya walaupun beberapa waktu lalu sudah berlalu. Ada yang lebih menakutkan sejak terjadinya peristiwa itu, terlebih soal bagaimana bisa seorang wanita setengah baya tersebut bisa segera sadarkan diri beberapa waktu ke depan. “Dad,” ucap Liana pelan. Mendengar itu, Gregory sontak menatap sang putri kemudian mengangkat kedua alisnya. “Ada apa Liana?” Urung untuk berbicara, pemikiran Liana masih terfokus pada sang mama yang terbujur kaku tidak berdaya di tempat. Dia bingung, ketika sepasang matanya harus sinkron terhadap hati yang sulit memaklumi soal ini. Sebenarnya bukan permasalahan serius, karena inti dari pembicaraan mereka ada di keadaan Jean yang masih ringkih menerima semuanya. “Ada apa, Liana? Katakan saja, apa pun itu reaksi dari Dad. Tenang, Dad tidak mungkin memarahi kamu bukan?” Tersenyum tipis ketika Gregory berbicara seperti itu, wajah Liana merespons dengan memejam sejenak. Dia menatap ke bawah lantas berbicara pelan pada dirinya sendiri mengenai kata-kata yang hendak dibicarakan. “Apa aku bisa meninggalkan Mom?” Menatap balik ke arah Gregory setelah berbicara seperti itu, ekspresi wajah Liana tercekat. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan pelan saat dadanya terlihat mengembang tinggi usai mencerna keadaan. “Liana ingin keluar sebentar, tapi....” Belum selesai berbicara, Gregory dari arah depan menandaskan. Laki-laki berumur empat sampai lima puluh tahunan yang siap siaga berhadapan dengan Liana langsung paham apa yang ingin dikatakan putrinya. “Dad paham, Liana. Kamu ingin keluar sebentar dan mencari makan, bukan? Dad tahu, kamu belum menikmati sesuap nasi sejak tadi.” Tersenyum lebar setelah mendengar ayahnya menjelaskan soal pemikiran itu, ini benar-benar di luar dugaan. Dia kagum dan menyayangi keadaan saat melihat ternyata perhatian Gregory lekat tertuju untuknya dan sang mama. “Dad memang hebat. Liana belum berhasil, Dad bisa menduga secara tepat. Liana bangga akhirnya Dad turut perhatian soal kondisi keluarga.” Mengelus puncak kepala Liana, pria di depannya tidak berlama-lama untuk mempersilakan agar anaknya itu melakukan rencana yang tertahan. Gregory juga mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah membacanya ekspresi wajah anaknya sejak tadi. Namun, baru sekarang terbukti jelas sesungguhnya ini yang terjadi di sini. Benar-benar di luar perkiraan Gregory memperhatikan Liana sejauh ini pula. “Baik, Dad akan tunggu Mom sampai sadarkan diri. Liana tenang saja, tak perlu terburu-buru.” Merasa lega akhirnya mendapatkan kata-kata seperti itu dari ayahnya, perkiraan hati Liana yang semula urung untuk berlama-lama berubah menjadi bebas. Dia sedikit mengandalkan bahwa sebenarnya pria bertubuh sedikit berisi itu memang tulus menjaga Jean, istri sekaligus orang tuanya juga. “Liana akan segera kembali setelah selesai membeli makan. Dad mau titip apa? Mom?” Menggeleng pelan, laki-laki tersebut hanya bisa tersenyum tipis. Dia sangat paham bagaimana bisa membuat keadaan menjadi cair seketika. Intinya adalah tetap hening ketika sepasang mata beradu pada bukti-bukti tersebut. “Tidak ada, Liana. Dad tak lapar sama sekali, tidak tahu dengan Mom.” Melirik ke arah Jean, Liana perhatian untuk bisa membaca pikiran sang mama. Dia juga serta merta langsung berencana untuk bisa membuat Jean tidak kelaparan, walaupun sedang dalam keadaan kritis seperti itu. “Liana pergi dulu, Dad, Mom. Liana janji akan segera kembali, nanti, secepatnya.” Selesai dari sana, tiba-tiba saja sejak kepergian Liana, suasana ruangan tempat Jean dirawat terasa turut sepi. Dia tidak bisa banyak berbuat apa-apa, mengingat bahwasanya sang istri masih harus tidur tak berdaya di atas ranjang rumah sakit berbalut seprei biru sebagai penandanya. “Maafkan aku, Jean. Aku bingung harus berbuat apa untuk saat ini,” tandasnya lemah lembut. Lanjut kembali, tiba-tiba Gregory menapak terbangun. Dia meninggalkan lokasi dan berdiri dekat nakas untuk meraih sesuatu di sana. “Andai saja kita tidak memiliki Liana, mungkin ... keadaan tidak sebahagia ini. Aku bersyukur memiliki putri kita itu, Jean.” Seakan-akan berbicara dengan benda mati, lipatan katup bibir Gregory terlihat sangat lekat membicarakan pasal ini. Dia tidak mampu berkata-kata, terhadap segala sesuatu yang terjadi beberapa tahun belakangan. Menurut Gregory, apa yang sudah terjadi ini bukan termasuk rezeki yang biasa, sebab Liana hadir di tengah-tengah kehidupan mereka. “Aku akan janji untuk bisa segera membuat Liana kembali bahagia, Jean. Cukup mudah, kita pasti tahu apa jawabannya.” Diam sebentar, Gregory lanjut berbicara lagi. Dia mengelus rambut istrinya dan seketika bertanya tentang kata-kata yang ingin diucapkan. “Kamu tahu itu apa?” Mengatakan sejurus usai berbicara seperti itu, reaksi wajah sang empu mendadak tertawa kecil. Dia sangat tidak bisa banyak lagi menunda kata-kata yang ingin dikatakannya sejak tadi. “Kamu adalah kunci kebahagiaan dia, Jean.” Tersenyum diiringi tangis membayang jelas di dalam netranya, ini sangat membuat Gregory harus ikut tersentuh oleh keadaan. Dia terdiam sebentar, setelahnya lanjut lagi menjelaskan pada Jean yang tak sadarkan diri di depan mata. Lewat telinga kiri itu, segala ucapan yang sudah cukup meradang dalam hati dikatakannya mentah-mentah dan terang-terangan. “Aku bahagia, aku menyayangi Liana, Jean. Kita bisa merawat Liana kembali sampai dia menikah. Aku ... aku—“ Tidak selesai ketika melanjutkan kata-kata tersebut, tindakan Gregory langsung berhenti. Dia mendapati bahwa seorang dokter masuk diam-diam dan menjadikan pendirian dalam hati pria tersebut mendadak bungkam. Malu, takut, kemudian sikap tegang turut mengikuti. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan jika sudah melihat bahwa ternyata jelas-jelas sekali terbukti pria berseragam putih khas stetoskop menggantung di leher mendengar ucapannya. “Sore, Tuan!” sapa dokter tersebut. Tidak ada jawaban, Gregory pura-pura memegangi tengkuknya. Dia salah tingkah dan menjaga-jaga bahwa sesungguhnya tidak ada yang mendengar ucapan tersebut, termasuk Liana sendiri. “Sore, dokter,” balas Gregory gugup. “Kita lihat kondisi istri Tuan dulu, ya. Saya sudah berulang kali mengetuk pintu, tetapi sayang sekali ternyata Tuan tidak mendengarnya.” Berhenti bicara dan hanya bisa memainkan gerakan alis, wajah Gregory tidak terlihat sama sekali bahagia ataupun merespons. Hanya hening lantas kaku dan memejamkan mata berulang kali. “Maaf, mungkin saya tidak mendengarnya.” Lepas dari sana setelah mengatakan soal itu, dokter tersebut merenggang ke arah Jean berada. Dia mengeluarkan stetoskop dan memeriksa wanita itu secara detail dari seluruh bagian-bagian tubuh yang merangsangnya. “Kita periksa dulu, ya. Mohon maaf, Tuan.” “Silakan, dokter. Itu tidak masalah.” Melakukan tindakan yang biasa dia gunakan untuk memeriksa pasien, secara lihai gerakan sang dokter selesai beberapa waktu saja. Setelahnya, dia tersenyum. Menarik napas panjang dan berkata, “Kondisi Nyonya Jean semakin membaik. Mungkin sebentar lagi dia akan sadarkan diri, jika suntikan tadi bereaksi secara cepat. Kita tunggu saja, ya, Tuan.” Tersenyum lebar saat mendengar penjelasan dari sang dokter, Gregory yang awalnya merasa ketakutan tiba-tiba langsung memejamkan mata. Dia menghela napas, kemudian memegangi pergerakan tangan istrinya dengan sangat lekat dan tidak henti-hentinya. “Kamu membaik, Sayang. Sebentar lagi sadarkan diri, dan pastinya Liana akan ikut bahagia melihat reaksi yang ada.” Tidak ada jawaban, tiba-tiba dokter itu berpamitan pergi. Beliau berjalan serta merta dan sangat gesit bergerak menuju ke suatu titik. Intinya adalah tidak bisa bergerak samar-samar karena segala permasalahan ini sepenuhnya bukan kesalahan siapa-siapa. Intinya menunggu, sampai segala harapan itu menemukan titik terang untuk bisa terbukti. “Terima kasih, dokter.” Berkata seperti itu ketika melihat sang dokter ingin keluar ruangan, benak pikiran dan ekspresi wajah Gregory terlihat sangat menghargai. Dia tidak pernah renggang meninggalkan jejak yang ada, ataupun bahkan usai dari tempat keberadaan Jean dirawat. “Sama-sama, Tuan. Dengan senang hati dan semoga Nyonya segera membaik.” Selesai dari sana, pembicaraan yang terjadi antara Gregory dan Jean berhenti begitu saja. Dia tidak mampu melanjutkan lagi, sebab menurutnya ini sama sekali sangat memancing segala perbuatan dan reaksi yang ada. Lebih baik bungkam seperti sekarang demi melihat apa yang dirasakannya benar-benar selesai sampai di sana. “Aku memaklumi segala kondisi saat ini.” Tidak banyak berbuat apa-apa lagi, Gregory hanya bisa duduk bersandar di ruangan itu juga. Dia mengarahkan tatapan ke lain arah, dan mengamati sesungguhnya pergerakan dokter itu merupakan akhir dari kata-kata yang berlangsung. Hanya ada Jean, sebagai teman bicara yang tidak terlihat berdaya. Dokter mengatakan sebentar lagi reaksi istrinya akan mampu terlihat ketika sudah saatnya obat suntik yang merangsang kesadaran bekerja. Melirik arloji yang menempel di pergelangan tangan, sepasang mata pria itu seperti menatap tajam. Dia melirik ke berbagai arah, lantas sedikit menarik napas berulang ketika menyadari putrinya belum juga tiba di sana. “Lumayan lama. Sebenarnya Liana sedang berada di mana?” tanya Gregory diam-diam dan sangat pelan nada suaranya. Bertindak untuk bisa segera keluar ruangan itu, arah pandang Gregory berpindah pada setiap koridor. Bisa saja sebenarnya Liana berada di sini, tetapi masih cukup diam karena hendak istirahat dari lingkungan kesedihan yang ada. Hendak menapak lebih ke depan, ternyata perasaan pria berumur tinggi tersebut harus berhenti dan urung. Dia menyudahi pikiran yang ada lantas cepat-cepat menuju pada sumber suara yang didengarnya. “Jean?” Menutup balik pintu ruangan, Gregory berjalan ke arah ranjang tempat istrinya terbaring. Dia mengedarkan ekspresi wajah serius kemudian mencari-cari dengan sangat detail. “Ada apa ini? Jean seperti memanggil namaku.” Tidak seperti itu kenyataannya, ketika sampai di dalam sana, wanita yang memakai pakaian khas pasien rumah sakit masih tidak ada gerakan yang bisa diamati. “Bukan dia ternyata,” titah Gregory pelan. Berhenti sampai di sana, Ayah dari Liana itu kembali terduduk di kursi yang berada tepat di depan sang istri terbaring. Dia sayup-sayup meletakkan kepalanya di ranjang tempat Jean berada, kemudian secara tidak sadar tiba-tiba kedua kelopak matanya tertutup rapat-rapat pula. “Kantuk. Sebaiknya memang aku tertidur dulu sebelum Liana kembali.” Mengusap mata sebelum benar-benar tertidur pulas, tindakan Gregory terlihat sangat jelas sedang menaruh harapan dalam dirinya untuk menunggu Liana balik ke tempatnya berada itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN