Liana masih terkejut melihat perlakuan pria tadi kepadanya. Entah mengapa jelas-jelas terlihat, bahwa ternyata dirinya mengagumi sosok yang terlihat depan mata. Sejak lama, bahkan beberapa waktu berjalan usai pertama kali dinyatakan Liana bersama keluarganya menetap di rumah sakit untuk kepentingan Jean yang tengah sakit sekarang.
“Jeck, baru mengenalnya aku sekarang. Pertama kali dan tidak pernah mengingat sedikit saja, diam-diam seorang pria itu sangat terlihat kagum padaku. Dia seperti speechless, entahlah!”
Berjalan beriringan kaki menuju ke arah kamar ibunya, wajah Liana masih terus-menerus terfokus pada jejak terbawah. Dia tersenyum tipis, membela sudut-sudut bibirnya dengan senyum miring yang terlihat cukup jelas. Beberapa tahap sudah dia lalui, sepanjang perjalanan menuju ke luar ruangan tempat mamanya dirawat, banyak ditemukan kejadian aneh oleh Liana sendiri.
Berhenti pada titik tersebut, Liana menarik napasnya erat-erat. Dia melihat ke arah depan dan tersenyum balik karena dirasa tidak ada kekecewaan yang terjadi, usai merenggang dari kamar rawat sang mama. “Aku selesai melakukan aktivitas hari ini. Sepertinya sudah siap, nanti aku lanjutkan lagi.” Membuka knop pintu perlahan, Liana mengendap-endap agar tidak menghasilkan bunyi derap langkah kaki. Dia menjaga pantulan suara yang diberikan oleh sepasang tapak kakinya sendiri.
“Hai, Dad!” Setengah berbisik dengan sapaan khas itu, Liana tersenyum saat mengira keadaan baik-baik saja. Mamanya masih terbaring di atas ranjang, tidak dengan sang ayah yang terduduk menghadap ke arah sana juga.
“Dad ... tidur, ya?” tanyanya ulang.
Melangkah perlahan menuju pria berumur empat puluh tahunan itu, Liana memastikan bahwa sang ayah sedang apa. Dia menyentuh lengan Gregory—ayahnya—dan menatap sayup ke wajah lawan bicara. “Dad?”
Ketika sudah paham dan memastikan bahwa Gregory memang sedang terlelap, Liana yang semula berniat untuk menceritakan pasal peristiwa hari ini sontak terdiam tanpa kata. Dia melirik ke depan, kemudian tersenyum kecil secara perlahan. “Dad tertidur. Mungkin dia lelah,” ucapnya lembut.
Meletakkan semua makanan dan barang-barang yang dibutuhkan itu tepat pada atas nakas, Liana kembali mundur di tempatnya. Dia melirik sekitar, mencari-cari kursi ataupun alas diri yang bisa digunakan untuk bersandar sebentar saja. Bukan tidak memiliki alasan, tetapi sesungguhnya Liana hendak terduduk dan istirahat bersama sang keluarga yang dikelilingi perkumpulan kecil itu.
“Aku ingin melihat Mom dan Dad bersama-sama terus selamanya, sampai akhir nanti. Pandangan yang tak hilang dan lepas dari depan mata memang sudah aku harapkan sejak kecil.” Bergeming setelah berbicara seorang itu, katup bibir Liana tertutup balik. Dia memperhatikan ulang wajah kedua sosok yang ada di depan matanya secara pelan-pelan.
Dua sampai empat menit berlalu sejak hitungan jam dinding berdetak perlahan, di situ pula Liana mulai aktif untuk bisa memejamkan mata. Dia tersenyum kecil, lantas berdiri dan memecah suasana yang sepi tanpa pergerakan manusianya di dalam sana. Melihat kedua orang tuanya masih tertidur pulas, Liana sendiri urung dan berniat hati untuk membangunkan. Menurutnya ini bukan waktu yang tepat untuk bisa mengganggu, apa lagi mengingat secara mentah-mentah pasal beban masalah yang dulu pernah dihadapi.
“Mungkin Mom dan Dad butuh istirahat lebih lama. Aku kesannya mengganggu dengan tangisan serta tangisan yang keluar dari sudut netra ini. Biarkan saja semuanya berakhir sampai di sini, pun sementara saja. Beberapa tahap lagi akan kuhadapi tetap masih bersama mereka yang sekarang ada di tempat dan menunggu kedatangan anaknya, aku.”
Merasa haru sendiri dengan tanggapan hati yang sudah dipikirkan baik-baik, Liana langsung bulat keputusan untuk melangkah keluar ruangan. Dia meninggalkan derap langkah kaki pelan, kemudian juga sisa-sisa bekas parfumnya yang melekat di seisi tempat. Tidak ada ucapan apa-apa lagi, Liana yang urung kata-kata mendadak harus bisa bersikap baik-baik saja ketika merasa keberadaannya sampai di luar tempat itu.
“Hapus air mata. Liana tidak boleh terlihat lemah di depan orang-orang. Aku tetap bisa tersenyum, walaupun itu pahit. Banyak mimpi yang terkubur dalam-dalam, tentang bagaimana caranya melihat Dad dan Mom seperti ini terus menerus. Bahagia lah, karena kebahagiaan mereka adalah modal untuk aku berbahagia.”
Tak bisa begitu saja lepas dari pandangan yang baru saja membuatnya menangis, wajah Liana masih terlihat murung. Dia memaksakan diri untuk bisa tersenyum bahagia, tetapi kenyataannya enggan terjadi karena semata-mata itu kepalsuan hati yang dihadapinya.
Berjalan terseok-seok untuk menuju ke arah yang dia sendiri tidak tahu, tiba-tiba sebuah penglihatan menghentikan langkahnya. Spontan Liana cepat-cepat menghapus tetes air mata yang mengembun di pipi, kemudian menarik napas dalam-dalam. “Tenang ... tenang. Ada suster itu, mungkin aku sedikit bisa terlihat bahagia. Mom sebentar lagi sadarkan diri. Itu artinya tidak ada yang pantas ditangisi lagi, bukan? Semuanya baik-baik saja.”
Menghapus air mata secara cepat, gerakan Liana bisa menyudahi tangisan yang dia buat sendiri. Lantas, setelah berpikir lebih dalam pasal permasalahan itu, akhirnya samar-samar Liana berpapasan tubuh dengan kedua wanita berseragam putih yang khas dengan panggilan suster di rumah sakit pada umumnya.
“Sore, suster!” sapa Liana.
“Iya, Nona, selamat sore kembali.”
Berlalu dengan sendirinya, keberadaan mereka hampir saja berpisah karena jarak dan pergerakan yang dilakukan. Akan tetapi, belum benar-benar berhenti, ternyata panggilan tersemat cukup jelas dan memanggil nama Liana sendiri sebagai objek pembicaraan itu.
“Tunggu!” katanya yang mampu terdengar samar-samar.
Berhenti bergerak dan memutar tubuhnya, Liana harus berhadapan dengan sosok itu—kedua suster tadi. Dengan sangat pasti, wajah serius yang ditampilkan Liana berubah penasaran, tentang apa yang hendak dipertanyakan oleh sosok itu kepada dia. Entah, pembicaraan belum terjadi di antara keduanya.
“Ada apa, suster?” Liana sudah merasa tidak enak hati dan memasang gerak wajah kaku.
Saling tatap, kedua suster itu secara pasti menanyakan apa yang terjadi pada dua sosok di depannya. Mereka berhadapan wajah, lantas saling tersenyum tipis sesaat sebelumnya berbicara ke arah permasalahan itu. “Jadi kami ingin bertanya bagaimana kondisi pasien Jean? Ibu dari Nona, bukan?”
Terdiam tak ada kata, serta merta ekspresi wajah Liana langsung seperti berubah seketika. Dia mengelus dadanya dan mengembuskan napas dengan kasar. “Untung saja tidak ada pertanyaan lain, suster. Saya sudah sangat memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.”
Merasa aneh dengan jawaban yang diberikan, kedua lawan bicara Liana langsung terdiam di tempat. Mereka saling tatap lantas memasang gerak ekspresi tak mengerti. “Maksud Nona?”
“Tidak apa-apa, suster. Kebetulan Mom baik-baik saja. Dokter juga sudah katakan sebelumnya, suntikan yang masuk dalam tubuh Mom akan bekerja beberapa jam lagi. Di sana, setelahnya beliau akan tersadar.”
Mengelus dadanya pelan-pelan, suster itu ikut tersenyum hangat. Mereka terlihat benar-benar peduli terhadap keselamatan pasien-pasiennya di tempat mereka bekerja itu.