Kisah Haru

1048 Kata
Pertemuan kedua antara Liana dan Jeck kembali terjadi. Mereka sempat salah tingkah, dengan berikutnya aksi Liana sendiri hampir berbalik arah dan hendak masuk lagi ke dalam ruangan tempat mamanya dirawat. Namun, terlanjur sudah berpapasan wajah dengan pria tersebut, Liana tidak enak hati jika secara tiba-tiba dirinya terlihat benar-benar jelas merenggang pergi dari pandangan lawan bicaranya. “Dia semakin dekat, bisa kaku aku di sini. Kenapa Jeck terus, sih, yang terlihat?” ungkap Liana dengan senyum terukir di sudut bibirnya. Lantas beberapa waktu setelah melihat semua itu, Liana yang berniat untuk pergi langsung mengurungkan tujuannya. Dia hening, berjalan memecah arah dan ikut saja sesuai rasa tak enak hati yang membawanya tepat berada di depan seorang pria muda berumur tak jauh beda dengannya itu. “Hai,” ucap Liana seketika. Ikut salah tingkah dengan tindakan yang diperbuat oleh Liana, Jeck merasa ini bukan suasana yang mudah dicairkan. Pasalnya mereka baru bertemu beberapa menit lalu, bahkan sepasang bibir pun belum sempat mengatup secara tidak sengaja. Ini sudah harus bertemu untuk yang kedua kalinya, sebenarnya apa yang terjadi? “Hai, ketemu lagi?” balas Jeck yang masih terlihat malu-malu. Akan tetapi, dengan begitu apik dia cairkan suasana untuk benar-benar terlihat santai dan biasa saja. “Iya, kebetulan Mom dan Dad lagi tertidur. Tidak enak jika kesannya mengganggu mereka. Alhasil aku tunggu aja di sini, karena juga di dalam tidak ada kursi lain lagi.” Hanya merespons dengan senyum tipis dan ekspresi wajah paham, Jeck yang awalnya berdiri sekarang sudah terlihat duduk dekat Liana. Dia menghela napas, kemudian menggaruk bagian belakang kepala yang sudah jelas-jelas tidak terasa gatal sedikit pun. “Kita ... kita ... apa, ya, yang mau kita obrolkan?” Jeck menambahkan ucapan seperti itu. Sontak sebagai lawan bicara, Liana ikut membuka mata lebar-lebar dan tertawa kecil. “Aku juga tidak tahu. Sepertinya ... kamu tegang sekali ketika berada di dekat aku. Bukan begitu?” tanya Liana yang langsung mengarah pada arah pembicaraan seperti itu. Diam tak ada jawaban, Jeck hanya memejamkan mata berulang kali. Dia juga terlihat memainkan gerak tangan dan jari jemari menari serta saling bersentuhan pula. “Bukan. Aku hanya sedikit kurang fokus pada inti pembicaraan kita.” “Kenapa? Jangan terlalu serius, karena orang tua kita tinggal menunggu masa pemulihan, bukan?” Tak ada jawaban yang bisa diperjelas, Jeck masih cukup gantung dengan arah balasan itu. Dia seolah-olah janggal menjawab dengan pertanyaan yang diberikan Liana beberapa waktu lalu. Kalaupun menjawab, Jeck hanya mengiringi itu dengan ekspresi dan respons yang tidak memungkinkan. Sulit untuk membiasakan agar pria bertubuh tinggi besar tersebut untuk bisa bersikap lebih tenang. “Ayah aku divonis penyakit jantung, dan itu bukan suatu hal yang mudah. Aku harus banyak menjaga beliau dari segala pendengaran yang menyakiti, apa lagi termasuk kata-kata keras serta kasar dari anak Ayah yang paling pertama.” Sedikit ragu-ragu untuk percaya pada ucapan Jeck atau tidak, yang jelas sepertinya pria dengan hidung bangir itu tersentak kejut. Dia menggelengkan kepala spontan, ketika ada pembicaraan yang mengarah pada kata-kata seperti itu. “Benarkah? Mengapa bisa?” Menarik napas dalam-dalam, Jeck tanpa sadar mulai cair seketika. Dia tidak begitu kaku seperti sebelumnya, mengingat bahwa sebenarnya ucapan demi pembicaraan yang mengarah ke sana sedikit menohok perasaan. Sebagai seorang pendengar yang jelas-jelas berada di dekatnya, tentu saja baik Liana ataupun Jeck memiliki kewajiban dalam menuntaskan apa yang sudah terjadi. “Jadi, ceritanya bermula beberapa tahun lalu sejak Ayah sudah terlihat sering kambuh. Beliau setiap malam merintih, memegangi d**a dan seluruh tubuh yang jelas-jelas terlihat lebam. Entah mengapa, kupikir penyakit jantung hanya berimbas pada bagian jantungnya saja, tetapi aku salah. Setiap penyakit itu datang, tubuh ayahku berwarna biru-biru secara keseluruhan, tepatnya pada areal perut dan sampai batas leher. Kata dokter, itu efek penyakit yang diderita beliau.” Berhenti sebentar ketika awal pembicaraan, mata Jeck terlihat berkaca-kaca. Sebagai respons yang langsung berhubungan dengan pria itu, Liana sendiri ingin mengelus punggungnya penuh kelembutan, tetapi wanita itu masih harus sadar bahwa sebenarnya siapa sosok yang sedang bersamanya ini. Ya, bukan teman ataupun saudaranya. Mereka baru saja kenal ketika berada di tempat ini. Sungguh reaksi untuk melakukan sesuatu tadi tertahan dalam-dalam. “Maaf, aku bisa merasakan kepedihan yang keluargamu rasakan pula. Tapi mohon maaf, aku tidak bisa menenangkan kamu. Semoga apa yang kamu ceritakan kepada aku ini, bisa sedikit mengurangi beban yang ada.” Berharap seperti itu pula, Jeck yang mencoba menahan tangis berusaha untuk tetap tegar. Dia mengembuskan napas, menarik napas, lantas bersikap tenang seperti biasanya. Itu terus yang diperlihatkan oleh dirinya usai dinyatakan tengah menghadapi masa-masa itu kembali melalui sebuah ceritanya sekarang. “Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup. Tak perlu berbuat apa-apa jika aku berbicara, karena semua yang keluar dari sudut bibirku, semuanya adalah perjuangan yang sudah berlalu. Untuk apa kita dijatuhkan oleh masa lalu? Jika sekarang saja, semuanya tak seperti yang kalian bayangkan.” Keras kepala untuk tidak terlihat lemah, Jeck tersenyum pada sosok wanita yang dia sendiri baru mengenal dekat beberapa jam lalu. “Aku baik-baik saja. Jangan menganggap aku sedih, ya?” Lanjut bercerita setelah menuntaskan kata-kata tersebut, Jeck masih cukup semangat untuk membahas masa pahit itu. Dengan keberadaan yang berada di dekat sosok tak dikenal, pria itu terus menceritakan begitu sakit pengalaman yang dia alami, waktu itu. “Sejak itu aku tidak pernah menganggap abangku ada. Jika ada yang bertanya, aku kerap menjawab bahwa aku dilahirkan sendiri di dalam keluarga itu. Ibuku meninggal sejak terakhir kali melahirkan aku, setelah itu keluarga kami dinyatakan hanya terdiri dari dua anggota, tidak dengan Abang aku yang pertama itu.” “Hari berganti, sekarang keberadaan dia tidak tahu di mana. Terakhir kali dia sempat berada di sebuah kota terpencil, untuk menghindari polisi yang ingin menangkapnya atas tuduhan menganiaya ayahku sampai beliau mengalami sakit tulang punggung. Sekejam itu sosok dirinya.” Mencoba kuat dengan berbagai respons dan cerita dari lawan bicara, Liana menarik napas dalam-dalam. Dia tersenyum hangat, tanpa sadar tangannya sudah mengelus lembut punggung Jeck yang perlahan meneteskan air mata. “Kamu harus bisa menerima semua ini. Bagaimanapun, abangmu adalah anak dari ayah kamu juga. Jika tidak kita yang membawa dia untuk berubah, siapa lagi?” Bergeser posisi, Jeck terlihat menatap wajah Liana dengan lebih intens. Dia membuka mulut, kemudian berkata, “Sudah. Semua orang atau bahkan seorang raja sekalipun, jika berhasil membuatnya berubah, maka dia sangat terkesan hebat!” tandas Jeck dengan suara jelas dan aksi terang-terangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN