"Saya minta tolong sama kamu." Kata Dylan pelan. Harum aroma mint menyeruak indera penciuman Lexa, dan suara pelan Dylan sukses menyihir telinga Lexa sejenak. "Jangan tampar saya karena saya melakukan ini."
Dylan menarik Lexa agar masuk dalam pelukannya. Kemudian bibirnya mendarat dengan pasti pada bibir Lexa. Membuat mata Lexa terbelalak.
Terkejut setengah mati dengan apa yang Dylan lakukan. Lexa ingin memberontak namun kedua tangan kokoh Dylan berhasil membelenggu badan mungil Lexa. Singkat cerita Lexa hanya bisa pasrah.
Sementara Dylan terus menyantap bibir Lexa dengan menuntut. Memaksa Lexa ikut bermain dengan Dylan.
Oke. Sini aku layanin mau kamu, Mas Dylan, batin sesuatu yang jahat di dalam hati Lexa.
Dylan sedikit terkejut saat Lexa membalas ciumannya. Bahkan satu tangan Lexa bergerak masuk di balik kaos abu-abu Dylan. Dan tangan satunya bergerak menyelinap diantara rambut Dylan. Menarik pelan rambut Dylan untuk melampiaskan rasa nikmatnya. Dylan membimbing Lexa untuk mundur beberapa langkah. Memojokkan tubuh Lexa pada meja meeting.
Ceklek.
Pintu ruang meeting terbuka. Membuat Lexa membuka matanya dengan kesal. Namun seketika Lexa terbelalak saat melihat sosok Angelina dan Leo memasuki ruangan. Juga seorang wanita paruh baya yang terlihat syok.
Lexa berusaha mendorong tubuh Dylan agar menjauh. Mencoba memberitahu Dylan bahwa mereka kedatangan tamu.
Namun Dylan seolah tidak peduli.
Bukannya tidak mendengar bunyi pintu terbuka. Dia hanya ingin sedikit lebih lama merasakan manisnya bibir Lexa. Juga untuk memberikan sedikit syok terapi pada mamanya. Ya. Wanita paruhbaya yang mengenakan setelan biru tua adalah mama Dylan.
"Ehm." Terdengar bunyi deheman. Dari wanita paruhbaya itu. Barulah Dylan melepas ciumannya. Namun masih menempelkan badannya pada badan Lexa.
Dylan menoleh. Terlihat santai menanggapi reaksi 3 pasang mata di belakangnya. Dylan memutar posisi badannya agar menghadap Mamanya. Tangannya meraih tangan Lexa dan menggenggamnya erat.
"Eh, mama. Kok tumben masuk gak ngetok pintu dulu." Ujar Dylan santai. Membuat Lexa memandangnya tak percaya.
MATI LO LEXA. Yang barusan dateng adalah mama dari cowok yang beberapa detik lalu berciuman hot berang lo. Sesuatu dari diri Lexa menertawainya.
Lexa melempar pandangan -tolong selamatkan saya- pada ketiga orang di depannya. Angel dan Leo yang menyadarinya hanya mengangkat bahu sekilas. Kemudian memasang tampang -gue gak punya kuasa- Namun tidak dengan Grass, Mamanya Dylan. Wanita berbadan tidak terlalu kurus itu berjalan mendekati Lexa. Senyumnya terurai.
"Iya tadi harusnya mama ketuk pintu dulu ya. Mama ganggu banget ya ?" Suara lembut wanita itu membuat Lexa kebingungan.
Orang ini nyindir, ngerasa bersalah atau gimana nih ?
"Iya, padahal Dylan mau bikinin mama cucu." Sahut Dylan santai.
Masih dengan menggenggam erat tangan Lexa, Dylan membawa mamanya dalam rengkuhannya. Angel dan Leo hanya bisa menepuk kening mereka pelan mendengar sahutan Dylan. Sementara Lexa. Wajahnya sudah seperti udah digoreng. Merah bukan main.
"Oo, jadi udah kepikiran bikinin mama cucu ?" Mrs Grass melepas pelukan putranya.
"Kenalin, Ma, ini Lexa, calon istri Dylan." Kata Dylan dengan nada super duper enteng seenteng kerupuk micin. "Lexa, ini mama aku."
Lexa terpaksa harus senyum ramah meskipun hatinya bergejolak. Antara senang, marah dan ingin kabur dari keadaan ini.
"Lexa, Mrs." Lexa mengulurkan tangannya. Namun tak dibalas oleh Mrs Grass. Mrs Grass malah memukul pelan lengan Dylan.
"Dylan, udah dong gandengannya. Mama mau meluk calon menantu mama." Sepuluh detik kemudian Lexa sudah berada di pelukan Wanita penuh kejutan di hadapannya ini. Senyum lega jelas terlihat di wajah Angel dan Leo. Malah Leo mengacungkan satu jempolnya.
"Ma..udah dong peluknya, kan Dylan juga mau meluk Lexa." Kini giliran Dylan memprotes.
"Kamu panggilnya mama aja ya, jangan tante apalagi Mrs." Mrs Grass mengurai pelukannya. Mengusap lembut pipi Lexa. Membuat perasaan Lexa mendadak hangat. "Kamu cantik Lexa. Foto-foto yang mama bawa untuk dijodohkan sama Dylan gak ada apa-apanya dibanding kecantikan kamu." Ujar Mrs Grass jujur.
Memang puluhan foto cewek anak dari teman-teman arisannya gak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kecantikan Lexa.
"gak apa-apa saya panggil anda Mama ?" Tanya Lexa takut.
"Ya jelas gak apa-apa Lexa. Mama malah seneng banget."
"Iya, Ma." Lexa tersenyum. Perasaannya kembali hangat saat Mama Grass membalas senyumnya dengan senang hati.
"Dylan, jangan sampai kamu macem-macemin anak mama ya." Hardik Mama Grass pada Dylan.
"Anak mama kan, Dylan, Ma ?"
"Bukan, anak mama sekarang Lexa. Kamu. Cuma pria yang kebetulan beruntung banget bisa lahir dari rahim mama." Canda Mama Grass. Dylan kembali memutar matanya malas.
"Sesuka hati mama ajah."
"Leo. tolong kamu buang ini." Mama Grass membrikan amplop merah pada Leo yang sudah dipastikan berisi foto-foto anak temannya. Seperti beberapa bulan lalu. Leo mengambil amplop itu.
"Kalo gitu mama pulang ya, Angel ayo kita makan siang dulu." Dan mama Grass menarik lengan Angel. Juga lengan kekar Leo. "Kalian lanjutin, gih." Seru mama Grass riang.
Setelah ketiga orang itu menutup rapat pintu ruang meeting, Dylan berjalan mendekati Lexa yang kini tertunduk. Dylan memposisikan badannya di depan Lexa. Tangannya meraih dagu Lexa agar menghadapnya. Gadis itu merona. Entah marah atau malu.
"Maaf." Ucap Dylan tulus. "Saya..bener-bener minta maaf karena menyeret kamu dalam masalah ini. Saya hanya--"
"Saya juga minta maaf. Saya tadi..emm.." Aduh gimana ngomongnya.
SUMPAH DEMI GANJA YANG SELAMANYA JADI BARANG HARAM. Lexa malu. Lexa tak henti mengumpat dalam hati. Menyalahkan sisi jalangnya yang tadi tiba-tiba mengusai akal sehatnya.
"Tadi itu menyenangkan." Kata Dylan jujur. "Jelas itu bukan ciuman pertama kamu kan ? Kamu kelihatan jago banget tadi."
"Yap. Kamu juga." Lexa memaksa senyum. "FYI, I'm not that good girl, Dylan. And you wake me up. Kamu berhasil membangunkan sisi jalang dalam diriku." Lexa menatap tajam Dylan.
"Am I ?" Dylan kembali mengikis jarak diantara mereka. "If you are not that good girl. Then defenetly I'm an asshole." Dylan mendaratkan kecupan singkat pada bibir Lexa.
"Jadi, gimana tentang kerjaan saya ?" Lexa mengambil duduk di kursi sebelahnya. Mencoba bersikap profesional kembali.
"Saya akan menggunakan desain kamu untuk proyek perumahan baru. Sebutkan saja nominal yang harus saya bayar. Dan setelah ini, kamu bisa bekerja di Grass Property sebagai freelance, karena kata Angel kamu juga masih kuliah. Saya jelas tidak memperkerjakan anak kuliahan dengan permanen. Jadi jika ada proyek baru atau sejenisnya, saya akan mengandalkan kamu." Dylan menjelaskan masih dengan posisi berdiri di depan Lexa.
"Baiklah. hargai saja sepantasnya desain saya."
"200 Juta cukup ?" Dylan mengerutkan dahinya. Melihat ekspresi Lexa yang terkejut. "oke 300 juta akan saya transfer ke rekening kamu." Putus Dylan.
"ti..tiga ratus juta ?" Lexa tidak percaya. Gambarnya dihargai 300 juta ?
"Iya..saya akan minta angel untuk mentransferkan uangnya."
"Baiklah. Apa urusan kita sudah selesai sekarang ?"
"Ya...mungkin."
"kalau begitu saya pamit pulang." Lexa bersiap mengambil tas ranselnya. Kemudian berdiri, menyalami pria tampan di hadapannya. "terima kasih, Dylan."
"No, Terima kasih Lexa." Dylan membalas uluran tangan Lexa. Juga membalas senyum manis Lexa. "Tapi Lexa, kalau saya butuh bantuan kamu tentang -mama-" Dylan menghela napas sejenak. "Boleh ?" Lanjutnya putus asa.
Lexa mengamati mimik wajah Dylan. Kenapa nih cowok ganteng keliatan putus asa banget gitu ?
"Tapi.." Lexa ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Tenang aja, saya akan kasih bayaran untuk bantuan kamu." Setelah selesai Dylan mengucapkan itu. Mata Lexa terbelalak. Sebagian dirinya ingin mengiyakan tawaran pria tampan nan menggoda di depannya. Lexa, lo butuh banyak duit untuk pengobatan papamu. Terima ajalah.
Namun sebagian lagi menolak. Inget Lexa. Harga diri lo di atas segalanya. Kalau lo nerima tawaran ini, lo akan ngingkari janji lo sama Lucas. Demi Tuhan Lexa. LUCAS. Cowok yang sudah membimbing lo ke jalan yang benar. Yang rela mempertaruhkan segalanya demi Lo.
"Gimana ?" Tanya Dylan penuh harap. "Saya janji gak akan melibatkan kamu lebih jauh. Saya hanya tidak suka dijodohkan dengan anak dari teman mama."
"Saya akan bantu kamu. Tapi kamu gak perlu bayar saya. Yang namanya bantuan itu gak butuh bayaran." Senyum Lexa mengembang.
Yah, cukup lo mau tidur bareng gue udah cukup. Teriak sisi jalang Lexa. Lexa segela menggeleng sebentar. SADAR LEXA.
"Beneran kamu mau bantu ?" Binar di wajah Dylan membuat Lexa terkekeh.
"Mama kamu baik Dylan, saya akan bantu kamu. Tapi kamu juga harus berusaha untuk bisa memenuhi keinginan mama kamu. Karena saya gak selamanya akan hidup."
"Terima kasih Lexa." Entah sadar atau tidak Dylan berhamburan memeluk Lexa. Lexa mematung seketika. Namun toh Lexa membalas pelukan Dylan. Dan dengan segera melepas pelukan lelaki menggoda di depannya. Lexa sungguh tak mau sisi jalangnya mengambil kendali akal sehatnya.
"Saya pulang dulu. Terima kasih sudah mau menerima saya bekerja disini."
"Saya anter kamu ya."
"Tidak usah." Tolak Lexa dengan cepat."Nanti ngerepotin."
"Gak kok, tadi kamu sudah bantu saya. Dan.." Dylan mengambil ponselnya."Kita jangan pake bahasa formal ya, jujur kurang nyaman. Aku minta nomer hp kamu." Dylan memberikan ponselnya pada Lexa. Lexa terkejut mendapati ponsel Dylan sama persis seperti ponselnya.
Ya ampun ni orang kaya, kenapa ponselnya jadul. Batin Lexa geli.
"Ini." Lexa mengembalikan ponsel Dylan setelah selesai memasukkan kontaknya. "Tapi saya beneran pulang sendiri saja ya."
"Kenapa formal lagi sih." keluh Dylan sambil masih melihat layar ponselnya. Mengirimkan pesan pada nomor hp Lexa.
"yaudah, aku pulang dulu, Dylan. makasih untuk hari ini." Lexa tersenyum. Kemudian melangkah terburu meninggalkan ruangan Dylan. Bahkan mengabaikan mulut Dylan yang terbuka hendak mengatakan sesuatu. Pintu ruang meeting tertutup. Meninggalkan Dylan sendiri dengan tampang yang aneh.
"Lexa." Senyum menyeringai Dylan terurai.
****
Kalo ngerasa kurang gimanaaa gitu, komen yaa, terbuka untuk saran kok