(beberapa bulan sebelumnya)
Suasana jurusan terlihat lengang. Sudah bukan waktunya mahasiswa dan dosen berkeliaran. Kuliah terakhir sudah selesai berjam-jam yang lalu. Parkiran sudah sepi. Hanya tinggal beberapa motor, sebagian diantaranya sudah butut, dan sebuah mobil. Office Boy kampus sudah nyaris selesai mengepel lantai, mengunci pintu-pintu ruang kelas dan kantor. Sebagian lampu koridor bahkan sudah mulai dinyalakan. Mungkin para mahasiswa dan dosen sudah pada beristirahat di tempat tinggal masing-masing. Kecuali ….
“Sampah apa ini? Setelah sekian waktu keterlambatan, hanya begini yang kalian kumpulkan? Hanya dengan begini kalian mempresentasikan ide dan karya? Kalian mau merendahkan jurusan? Kalian mau disebut alumni yang memalukan? Jujur saja. Saya tidak akan meluluskan kalian jika hanya sebegini yang bisa kalian tunjukkan. Lebih baik membiarkan kalian melalap kemarahan saya sampai akhir tahun ke tujuh daripada menanggung malu karena hanya alumni receh yang membawa nama kampus dan nama saya sebagai dosen pembimbing kalian? Perbaiki cara kalian presentasi, atau perbaiki karya ini dan kumpulkan besok. Tidak ada penundaan lagi. Kecuali kalian ingin kita bertemu kembali tahun depan?”
Bermenit-menit tidak ada suara.
“KELUAR!”
Bunyi kertas-kertas yang dibereskan dengan asal, diikuti langkah-langkah tergesa mengisi ruang.
Tidak lama kemudian pintu dibanting disertai pekikan pelan tanda keterkejutan.
Langkah-langkah berat dan jarang memecah kesunyian. Bayangan sosok tinggi besar menyeramkan muncul di ujung koridor. Sepasang kaki panjang dibungkus sepatu pantofel mengkilat melangkah penuh kepercayaan diri, cenderung angkuh, meninggalkan deretan ruang dosen.
Sepasang kaki panjang itu milik seorang pria akhir usia 27. Pakaiannya sederhana, tetapi jelas bukan pakaian murahan. Kulitnya bersih, namun jelas sering bermandikan matahari dalam menjalankan tugas di lapangan. Sedikitpun hal itu tidak mengurangi rasa percaya dirinya. Jika tidak, justru membuatnya terlihat lebih ‘laki-laki’. Rambutnya dipotong dengan model yang sekadar tetap terlihat rapi baik disisir maupun tidak. Disentuh pomade maupun polos saja. Tanpa penutup, mengenakan topi, bahkan saat dilapisi dengan helm lapangan. Keseluruhan penampilannya terlihat konservatif, sekilas membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih tua. Dia dikenal sebagai salah satu dosen killer di jurusan tersebut. Mungkin, yang paling ditakuti, walau statusnya junior.
Namanya Sonne. Wajahnya tanpa ekspresi atau malah terlihat dingin. Sorot matanya membekukan para mahasiswa bimbingan, namun membuat betah di ruang kuliah. Langkahnya mantap meninggalkan ruang kerja yang telah menampung bimbingan demi bimbingan sejak jam tujuh pagi. Selama empat jam ia istirahat dari bimbingan untuk memberikan kuliah pada mahasiswa tahun pertama. Anak-anak ingusan yang haus ilmu dan semakin merasa kehausan demi mendengarkan uraian demi uraian, kalimat demi kalimat dari dosen muda berpengalaman dan berwawasan. Mendengarkan kuliahnya, anak-anak muda itu seolah-olah siap dengan apapun tantangan dan perkembangan dunia nantinya.
“Bapak, maafkan kami atas persiapan yang tidak maksimal. Tolong beri kami kesempatan menjelaskan gambar ini dengan lebih baik,” mohon seorang mahasiswa yang mengejarnya.
Sonne berhenti melangkah. Ia menunjukkan layar HP.
“Lima menit. Tidak lebih. Jika kalian tetap mengecewakan, sampai jumpa tahun depan. Jangan harap kalian akan mendapatkan dosen lain sebagai pembimbing.”
Anak-anak muda itu gemetar mendengar kalimat yang terucap dengan begitu dingin. Namun mereka menahan nafas saat Sonne berbalik kembali ke kantornya. Mahasiswa-mahasiswa semester tujuh itu segera mengejar.
Tiba di ruang Sonne, mereka kembali membentangkan kertas gambar. Salah satu berdehem untuk mengusir harga dan kepercayaan diri yang mulai berguguran demi mendapati cara Sonne duduk sambil garang menatap mereka.
“Selamat malam, Bapak Sonne. Kami dari Tim Alpha mohon ijin menyampaikan ide tentang tata kelola wilayah di sekitar Taman Kota. Sebagai wilayah yang tengah berkembang dengan mengunggulkan pariwisatanya, kota ini membutuhkan tata kelola yang baik. Tidak hanya pengaturan lokasi tempat wisata, namun juga rute jalan, area transit, dan tempat parkir pada lokasi strategis. Kami akan memulai dari destinasi wisata, yang menurut data dari Dinas Pariwisata, paling banyak dikunjungi."
Dalam hati Sonne tersenyum atas perkembangan signifikan yang dilakukan mahasiswanya. Rupanya, anak-anak ini membutuhkan tekanan agar bisa melenting. Persis seperti bola karet. Karena itu, Sonne memilih terus memasang wajah garang. Sesekali sengaja menampakkan wajah tidak suka, merendahkan, bahkan kecewa bila pilihan kata atau kejelasan presentasi menurun. Satu kernyitan di dahinya langsung membuat mahasiswa sadar dan introspeksi diri. Satu dengusan nafas Sonne membuat mahasiswa berjengit, lalu menyikut temannya agar mengoreksi apa yang dipresentasikan.
Tepat lima menit sejak presentasi dimulai, HP Sonne berbunyi.
“Waktu habis,” ucap Sonne dingin.
“Baik, Bapak. Mohon maaf belum bisa menjelaskan semuanya karena keterbatasan waktu. Mohon petunjuk untuk perbaikan dan kelanjutan ide kami ini.”
Ketiga mahasiswa itu menarik nafas dalam-dalam. Bahasa tubuh dan ekspresi wajah mereka jelas menunjukkan ketakutan. Pada gadis pingitan, diam itu berarti setuju dengan lamaran dari seorang pria. Pada orang yang sedang berpuasa, diam itu emas karena menghindarkan diri dari peluang dosa gibah. Pada Sonne, diam itu membingungkan. Menakutkan. Bisa membuat pingsan saking tegangnya.
Setelah sepuluh menit mematikan, Sonne menarik nafas.
“Saya acc gambar kalian. Tetapi silakan perbaiki dulu proposal sebelum saya memberi izin maju seminal proposal. Ingat. Pastikan masing-masing memiliki peran sesuai spesialisasi. Dua hari lagi saya tunggu di ruangan ini untuk menunjukkan proposal dan bahan presentasi kalian.”
Ketiga mahasiswa seakan hendak jatuh ke lantai saking leganya. Ketua Tim menebarkan kertas gambar ke atas meja kerja Sonne dengan hati-hati. Sonne mengeluarkan pena keramat, lalu menorehkan paraf disertai tanggal. Setelahnya, mereka segera merapikan kertas-kertas dan bawaan.
“Terima kasih, Pak Sonne. Kami pamit.”
Sonne hanya mengangguk pelan. Ketiga mahasiswa berusaha tetap tenang keluar ruangan lalu melangkah menjauh. Kaki mereka bergerak tergesa namun sebisa mungkin tanpa suara. Setelah tiba diparkiran, mereka berteriak bahagia.
Sonne tersenyum sendiri mendengar teriakan itu. Ia menutup pena, lalu meletakkannya kembali di kotak istimewa penghias meja. Tidak ada yang aneh dengan pena itu. Apalagi mahal. Sama sekali tidak. Selembar Soekarno Hatta sudah bisa membeli dua buah pena itu. Hanya saja, penampilan pena memang terlihat mewah. Ditambah reputasi Sonne, mahasiswanya menyebut pena tersebut keramat. Sonne hanya menggunakannya untuk acc gambar dan proposal. Tidak untuk menulis surat atau menandatangani dokumen lain.
Menemani pena itu, ada sebuah cangkir yang tidak kalah legendaris. Cangkirnya sangat sederhana, kecil, seukuran gelas espresso. Gagangnya tipis. Gambar bunga krisan di salah satu sisinya sudah pudar, kalah oleh retak-retak di sana sini. Beberapa bagian tepinya sudah tidak rapi tergerus usia pakai yang sudah mendekati angka sepuluh tahun. Sonne menggunakannya setiap hari. Kopi apapun, bila diminum dengan cangkir ini akan terasa nikmat bagi Sonne. Ia sudah mencuci cangkir itu dua jam yang lalu. Pada jam setengah tujuh malam seperti saat itu, Sonne pikir tidak perlu lagi mengotori cangkir dengan kopi. Ia juga butuh tidur.
Sonne meraih jaket dan ransel. Ia berbalik menghadap jendela. Matanya nanar menatap gelap halaman tengah fakultas. Sepi. Sonne menarik nafas sembari menutup tirai jendela. Tidak ada yang perlu dilakukannya di kampus pada hari Sabtu dan Minggu. Jadi menutup tirai, memastikan semua saklar sudah mati, dan semua sambungan sudah terbebas dari bebannya adalah sebuah kewajiban.
Sonne sudah hendak mematikan lampu ruangan ketika seraut wajah menahannya di pintu.
Wajah itu begitu panik. Bahasa tubuh mahasiswi itu tergesa. Ia langsung meletakkan gulungan kertas gambar di atas meja, melepas pengikat dan menebarkannya. Gadis itu begitu tergesanya, hingga tangannya seperti kehilangan kontrol. Ia berusaha menata posisi gambar, namun malah membuat sisi luar tangannya menyentuh cangkir Sonne. Gadis itu menahan nafas, menyadari ulahnya berpotensi membahayakan sesuatu. Sebelum sempat berpikir mencegah jatuhnya cangkir, benda itu telah meluncur bebas dari atas meja. Bunyi PRANG yang khas memecah kesunyian. Gadis itu menutup mulut dengan tangan. Mati sudah.
Mata Sonne seperti akan terlepas dari kepalanya.
“Apa yang kamu lakukan!” bentak Sonne.