Eps 1
"Aku ingin hidup mandiri."
"Sabar dulu dek. Nanti kalau ada rejeki kita pasti bisa mandiri. Tapi sabar dulu ya."
"Kalau gitu ijinin aku kerja. Biar cepat terkumpul uangnya, ya mas."
"Engga. Kamu ngga boleh kerja. Kamu dirumah aja ngurus rumah, ya."
"Tapi aku pengen kerja, biar kita bisa cepet beli rumah, biar bisa cepet keluar dari rumah ini."
Pembicaraan seperti ini tak pernah ada habisnya. Aku dan suami memang baru sebulan menikah. Tapi aku sudah merasa tak nyaman tinggal bersama mertuaku. Ya, memang suamiku anak laki-laki satu-satunya. Dia mempunyai kakak perempuan yang sudah menikah dan seorang adik yang masih kuliah.
Mertuaku memang seorang yang berkecukupan, dia mempunyai sebuah butik yang memang dia serahkan kepada orang kepercayaannya, sehingga beliau hanya sesekali saja untuk mengontrol butiknya itu.
Kakak iparku dia menikah dengan seorang pengusaha batu bara. Dia sering ditinggal suaminya karena memang pekerjaannya berada diluar jawa. Hidupnya cukup mewah walaupun dia hampir setiap hari pergi arisan dan shoping. Dia tinggal hanya berjarak 5 rumah dari rumah mertuaku. Jadi setiap hari dia berkunjung ke rumah ini, atau lebih tepatnya numpang makan dirumah ini.
Ya... Dia memang kaya tapi cukup pelit untuk makan. Padahal dia sudah mempunyai anak berusia 5 tahun. Dimana diusia itu haruslah cukup nutrisi untuk pertumbuhannya. Tapi dia seolah cuek dengan anaknya itu.
Suamiku hanya seorang pegawai swasta yang hanya mempunyai gaji cukup untuk makan dan untuk membayar kreditan mobil setiap bulannya. Sedangkan aku, ijazah S1 ku hanya aku simpan didalam lemari. Aku tak boleh berkerja dengan alasan menemani ibu mertuaku dirumah. Ya, karena Siska, adik iparku dia jarang dirumah karena tugas-tugas kuliahnya kadang membuat dia harus pulang malam. Bahkan hari minggupun dia pergi dengan alasan ada tugas kuliah.
Hubunganku dengan mertuaku tak begitu baik. Mungkin karena aku orang tak punya. Ayahku sudah meninggal dan ibuku hanya membuka warung untuk makan sehari-hari. Sejak awal aku dikenalkan ke mertuaku, beliau memang sudah menampakkan wajah tak suka padaku. Tapi karena besarnya cinta suamiku padaku dia memaksa ibunya merestuinya untuk menikah denganku. Lambat laun hati mertuaku luluh juga meskipun sikapnya masih tak acuh padaku.
Apa yang aku lakukan pasti salah dimata mertuaku. Setiap harinya aku yang masak selalu saja keasinan, kemanisan atau apalah ada saja kritikan untuk masakanku. Pekerjaan rumahpun aku yang kerjakan, tapi alangkah sakitnya aku ketika sore hari suamiku pulang kerja langsung mendapat laporan kalau aku hanya bermalas-malasan dikamar. Padahal semua sudah aku kerjakan. Tak salah dong kalau aku istirahat.
"Istrimu itu lho cuma dikamar mainan hp terus. Ada menantu tapi kayak sendirian, ga ada yang diajak ngobrol, ngga ada yang bantuin."
"Masa sih bu? Tapi bukanya dia udah bantuin beres-beres bu?"
"Beres-beres apanya. Lihat tuh masih berantakan semuanya. Kursi amburadul kayak gitu."
"Ya udah nanti biar Burhan bilangin bu."
Sesudah mengatakan itu mas Burhan menuju kamar dan langsung mengajak aku ngobrol.
"Dek kamu ribut lagi sama ibu?"
"Engga mas. Aku dari tadi dikamar."
"Ya itu juga yang buat ibu marah dek. Kamu ngga bantuin ibu beberes?"
"Aku tuh capek mas. Dari subuh aku udah siapin sarapan, belanja, beberes. Sedangkan adikmu ngapain dia bangun tidur mandi sarapan udah pergi. Itu anak mbak Nela juga siang-siang kesini cuma bisanya berantakin aja. Aku males jadi aku tinggal masuk kamar. Emang salah mas? Emang aku dianggap apaan disini? Pembatu atau menantu? Udah untung semua aku mau kerjain. Udah ngga ada yang bantu masih aja pada protes dah gitu ngga boleh istirahat. Kerja aja ada istirahatnya mas", aku meluapakan emosiku.
"Ya udah aku percaya kok sama kamu. Kamu sabar ya dek. Kita berdoa agar cita-cita kita bisa terwujud."
"Kurang sabar apa sih aku mas? Aku diem masih aja ada yang salah. Harusnya tu ya Siska juga ikut bantu-bantu ibu cuci piring atau paling ngga nyapu gitu lho. Masa anak perawan apa-apa disediain."
"Siska kan kuliah dek kasihan dia banyak tugas."
"Aku juga pernah kuliah mas. Bahkan aku juga sama kerja tapi masih bisa tuh bantuin ibu."
Mas Burhan terdiam tak bisa menjawab kata-kataku.
"Aku boleh kerja ya mas, biar bisa cepet kumpul-kumpul buat rumah."
"Dek... Kita udah ngomongin berapa kali tentang ini?"
"Ya udah deh mas terserah kamu. Biarlah aku tambah kurus karena makan hati tiap hari."
"Dek jangan ngomong gitu ah, pamali."
Dan sore itu aku hanya diam diri tak lagi menanggapi mas Burhan. Kalau dia tanya aku hanya menjawab seadanya.
*****
Azan subuh berkumandang. Segera aku bangun untuk shalat subuh dan bersiap memasak. Hari ini aku ingin memasak sayur asem dengan sambal tomat dan lauknya ikan asin. Aku biasa belanja sehari sebelumnya kemudian menyimpan dikulkas agar pagi harinya tak buru-buru untuk belanja untuk menyiapkan sarapan.
Ibu mertuaku biasanya sudah terbangun, tapi setelah shalat di kamarnya beliau tak keluar lagi. Siska, hampir sama dengan mertuaku setelah shalat subuh dia tenggelam dikamar dan akan keluar jam setengah 7 untuk bersiap kuliah. Tentunya dengan sarapan dulu. Tak pernah sekalipun mereka berniat untuk membantuku. Bahkan ketika aku sakit beberapa hari lalupun mereka sama sekali tak peduli sekedar membantu menyiapkan sarapan.
Setelah selesai semua masakanku aku menghampiri mas Burhan untuk menyuruhnya segera sarapan. Ketika aku keluar ibu dan Siska sudah duduk dengan santainya di meja makan dengan piring penuh.
"Ayo Han, sarapan dulu mumpung masih panas", mertuaku menawari suamiku makan.
"Iya bu. Ini Burhan juga mau makan."
"Mbak ini kok asem banget sih. Mbak Dina ngasih asemnya sekilo apa ya?"
Aku hanya bisa mengambil nafas sambil melirik suamiku.
"Ya namanya sayur asem dek, ya pasti asem lah", bela mas Burhan.
"Tapi ini asem banget lho mas. Ibu kalo masak tuh enak asemnya pas. Ini juga ikan asin kayaknya terlalu kering nih gorengnya."
"Iya bener Din. Ini asem banget kamu ngasih asemnya berapa banyak sih Din? Sambelnya juga pedes banget Siska ngga boleh makan yang pedes kayak setan gini. Besok lagi rawitnya dikurangin ya!", Perintah ibu mertuaku.
'Itu yang masak aku, selera aku lah', ucapku dalam hati.
"Endak ah bu. Sayurnya pas gini kok, sambelnya juga, kalo ngga pedes bukan sambel dong namanya. Ikannya juga pas jadi kresss gini makannya.", Lagi suamiku membela aku.
Aku sedikit tersenyum karena mas Burhan mau membelaku didepan ibu dan adiknya.
"Udah bu, dek nikmati aja. Tinggal makan ini. Ntar kamu keburu kesiangan lho ke kampusnya kalo komentar terus."
Aku terkikik dalam hati. Udah makan tinggal makan masih aja ngoceh. Mending kalau bantuin.
Ketika sedang menikmati sarapan pagi. Tiba-tiba terdengar suara....