
Bulir-bulir bening mengalir deras di pipiku, menemani lantunan dzikir dan doa - doa di sepertiga malam ini.
Memohon pada Robb-ku, untuk memberi kekuatan dan petunjuk, agar bisa
membuat keputusan malam ini.
Sebuah keputusan besar, berpisah atau bertahan dengan suamiku.
--------------
Krieeeett ....
Pintu kamarku terbuka, kulirik sosok yang 15 tahun sudah menemaniku, dan memberiku dua buah hati, selama ini aku rela mendampingi, bersamanya dalam suka dan duka, dalam kemiskinan dan kelaparan, tapi tidak untuk perselingkuhan.
Ternyata dia tak bisa tidur setelah perdebatan sore tadi denganku.
Setelah aku berkali-kali memergoki perselingkuhannya.
Suamiku sosok yang rupawan, penyabar dan humoris, walau suamiku hanya pegawai biasa dengan gaji pas-pasan tapi tubuhnya yang tinggi atletis juga gagah, membuat tak sedikit wanita yang tebar pesona ingin mendekatinya.
Aku pernah merasa jadi wanita yang paling bahagia saat menikah dengannya, dari sekian banyak kekasih, dia memilihku, gadis yang dijodohkan, pilihan orang tuanya.
Di awal pernikahan aku teramat mencintainya dan aku merasa dia pun mencintaiku, sama seperti yang kurasa.
Di hatiku hanya ada suamiku, aku tak ingin berpaling, selamanya akan setia. aku pun merasa suamiku merasakan hal yang sama, akan setia dan hanya ada aku di hatinya.
Selama 15 tahun ini, aku menerima suamiku dengan segala kekurangan dan kelebihan, walau hidup serba kekurangan. Walau gaji yang diberikan tiap bulan hanya pas pasan untuk makan sederhana, sementara untuk kebutuhan rumah, aku masih membantu berjualan makanan di desa, yang aku jual secara online.
Bahkan untuk beli baju baru saja harus 1 tahun sekali saat lebaran.
Tapi kini tampilan suamiku tak lusuh lagi, baju, sandal, sepatunya bagus-bagus dan baru, dompetnya juga berisi puluhan lembaran merah bergambar mawar, ponsel juga baru, ternyata dibelikan oleh wanitanya khusus untuk berkomunikasi.
Pernah suamiku memberiku uang, yang ternyata pemberian dari wanita itu, lalu aku remas dan kubuang, aku tak sudi di nafkahi dari uang haram hasil menemani tidur selingkuhan kaya rayanya.
AKu lipat mukena dan sajadahku, lalu kuhampiri suamiku.
"Bang, kita bicara baik-baik ya, tampa emosi, malu kalau didengar anak-anak dan tetangga," kataku, karena bila aku pakai emosi suamiku akan langsung pergi, masalah tak akan selesai.
Suamiku tak menjawab, tapi tetap diam di posisi duduknya di samping ranjang.
"Abang, aku nggak kuat lagi, rumah tangga kita sudah nggak sehat, setiap hari kita seperti orang asing, yang saling membenci, sepertinya yang terbaik kita berpisah," lanjutku.
Semenit...
dua menit...
aku menunggu jawaban suamiku.
Hanya helaan napas yang kudengar.
Aku tetap diam
"Kamu yakin ingin pisah?" Akhirnya dia bertanya.
"Aku yakin, justru Abang yang sudah yakin berpisah denganku? Wanita itu istri orang, Abang suami orang, tapi kalian tak merasa malu, bersalah dan berdosa, sudah berzina dan selingkuh di belakang pasangan sah kalian?" Tanyaku dengan menahan sesak di d**a.
"Apa Abang nggak takut kalau hanya di bohongi? Hanya sebagai pelampiasan? Dia saja bisa mengkhianati suaminya yang sekarang memberi harta melimpah saat ini, apa mungkin dia mau menerima Abang yang hanya pegawai biasa? Apa dia mau hidup susah dengan kamu?" Tanyaku beruntun.
Tiba- tiba suamiku berdiri dan membentakku.
"Jangan sok tahu kamu, kamu nggak tau apa-apa, dia mencintaiku luar biasa, dia sudah menyiapkan modal untuk menikah denganku juga buka usaha bersama nanti," ujarnya.
Air mataku akhirnya lolos begitu saja tampa permisi, lelaki yang pernah memandangku penuh cinta, yang membuatku selalu jatuh cinta, kini menatapku dengan kebencian, aku tak mampu menahan gelombang rasa di d**a yang terasa menghentak, lalu kutarik napas dalam-dalam untuk tetap tenang, walau bibir dan tubuhku bergetar menahan sakit hati tak terkira.
Pengorbananku selama ini tak berarti baginya.
"Baik, dia mencintai Abang luar biasa ya? Tidak sepertiku ya?" Lirihku sambil menganggukkan kepala dan mengusap air mata yang terus mengalir.
"Lalu apa rencana Abang dan dia selanjutnya, segera lah menikah, jangan terus terusan berzina," lanjutku.
"Sedang diurus perceraiannya," jawab suamiku
"Owh ... Abang percaya ucapannya?" Tanyaku lagi.
"Percaya sekali," jawabnya tegas.
kuhirup udara dengan rakus dan kuembuskan dengan kasar, luka ini makin menganga dan berdarah.
"Baiklah, berarti kita memang harus berpisah, secepatnya aku segera proses ke pengadilan, pengajuan cerai, agar wanita itu, saat sudah menjadi janda tak perlu menunggu kamu lama menjadi duda," jelasku, dengan bibir bergetar menahan emosi dan sakit hati yang luar biasa.
"Silahkan Abang keluar dari rumah ini, ikuti wanita pilihanmu, yang lebih kau cintai dan membuat hidupmu nyaman, ini rumah orang tuaku, untuk anak-anak biarkan mereka memilih, jangan paksa untuk memilih, tetap jaga perasaan mereka, bila kau benci, cukup benci aku jangan ana

