Chapter 1

1225 Kata
Ia tampak sangat berantakan. Terlihat dari posisi kedua tangan yang memegangi kepala dengan gerakan mengacak yang sudah ia lakukan lebih dari empat puluh lima menit yang lalu. Ia menunduk dalam, sangat dalam dengan aura hitam yang seakan mengelilingi seluruh tubuhnya. Membuat siapa saja tahu bahwa lelaki tampan dengan sejuta pesona itu sedang dalam mood yang paling buruk. Elsa meringis ngeri, wanita berkepala tiga itu menatap Rey dengan rasa bersalah yang nampak sangat ketara. Jika saja ia tidak terlambat, jika saja ia dengan tegas menyuruh Rey tetap berada dalam gedung, jika saja ia membiarkan Rey membawa mobilnya, dan jika saja yang lain-lain. Reynand mengangkat wajahnya, menatap topi hitam dengan pin kodok keroro yang agak basah di bagian atasnya, topi itu tergeletak di meja kayu tepat dihadapannya. Berteriak murka sebelum menendang meja kayu itu hingga terguling menjauh. Ini adalah hari tersial baginya. Ia baru saja dirampok. Dirampok! Artis papan atas yang memiliki miliyaran lebih penggemar di seluruh dunia itu baru saja dirampok! “Aku akan membunuh perampok tengik itu! Elsa, cepat lapor polisi!” teriaknya menggema di seluruh apartemen. Membuat Elsa, manager yang ia anggap salah satu penyebab kesialannya nampak bergegas mencari ponselnya dengan tangan gemetaran. Lelaki itu selalu bisa membuat semua orang ketakutan. Elsa meringis bingung saat tangannya telah menggenggam ponsel hitam miliknya. Ia harus berpikir hati-hati saat ini, sedikit saja ia salah langkah, kamera blitz telah siap berada di depan wajahnya. Oh, sial! Ia jadi teringat dengan mimik wajah aktornya beberapa jam yang lalu. Menemukan aktor terkenal di halte bus dekat gedung agensi merupakan hal yang menggembirakan bagi sebagian orang. Tapi tidak bagi dirinya, itu adalah mimpi buruk. Terlebih aktor yang tengah ia tangani saat itu memasang wajah bengong dengan tatapan kosong. Bergumam dengan racauan yang sama dengan jeda lima detik setiap kalimatnya. Ia tak melebih-lebihkan, karena Elsa bahkan menghitung jeda perdetik dengan arloji di tangan kirinya. “Ku… kupikir melapor pada polisi agak berlebihan…” sahut Elsa dengan nada takut-takut. Menjadi pengasuh aktor semacam Rey benar-benar mewajibkan dirinya memiliki keberanian selevel singa. Rey menatapnya tajam, terlihat sangat tidak terima dengan apa yang diucapkan oleh managernya. “Kau bilang ini berlebihan? Dia merampokku!!!” teriaknya hampir mengarah frustrasi. Elsa menghela napas berat, menurunkan bahunya yang menegang dan mulai memberanikan diri untuk melawan Rey dengan argument yang dianggapnya benar. Ia takut pada Rey, sangat. Namun ia tak boleh melupakan kewajibannya sebagai manager, yaitu menuntun artisnya pada jalan yang benar. “Pencuri itu hanya mengambil handphone dan seperempat dari seluruh isi dompetmu, ia bahkan menyisipkan surat yang berisikan kata terima kasih padamu. Ah! Ia juga memberikan topi itu agar tidak ada yang tau bahwa kau adalah seorang artis. Bukankah ia adalah pencuri yang baik hati?” ucap Elsa tak mampu menyembunyikan nada kagumnya. Rey membuka mulutnya, tak percaya bahwa managernya malah membela seorang pencuri yang bahkan tak ia kenal. “Ya Tuhan, enyahkan wajah menyebalkanmu itu. Kau lupa? Dia tidak hanya merampokku, dia mempermalukanku dengan membuat aku mengucapkan kata terkutuk itu terus menerus! Dan kau berucap bahwa pencuri sialan itu baik hati. Hell no! Kenapa tak sekalian kau kencani saja perampok itu!” “Kau ingat wajahnya? Dia tampan?” tanya Elsa menggebu, melupakan fakta bahwa sedetik lalu ia bahkan gemetar ketakutan. Lelaki dengan manik mata kelam itu memijat pelipisnya dengan kening yang berkerut, kepalanya semakin berdenyut hebat. Wanita paruh baya yang selalu diejeknya sebagai perawan tua itu membuat kepalanya semakin pening. “Elsa…” geramnya dengan suara rendah yang ditahan. “Jika aku ingat wajahnya, sudah kusebar ilustrasi wajahnya di semua media, bodoh! Dan bagaimana bisa kau yakin jika dia seorang lelaki?” Elsa membalikkan meja kayu yang sebelumnya menjadi pelampiasan kemarahan Rey. Merapikannya sebentar, lalu meletakkanya agak jauh dari jangkauan Rey. Ia mengamati raut wajah lelaki itu sejenak, lalu duduk pada salah satu sofa paling ujung dan kembali menjawab. “Biasanya pelaku kriminal seperti ini adalah seorang lelaki. Dia perempuan?” tanyanya hati-hati dengan nada keterkejutan yang mendominasi di akhir kalimatnya. Rey menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa, merilekskan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Ah, ia butuh tidur. Ia lalu mengangkat bahunya asal. “Entahlah,” serunya dengan hembusan napas lelah. “Aku hanya berpikir, bahwa ia bukan laki-laki.” Reinand lalu mengacak rambutnya kesal, membuat Elsa benar-benar merasa prihatin kepada aktor yang diasuhnya selama tujuh tahun terakhir ini. “Telpon polisi sekarang juga Elsa! Aku ingin perampok sialan yang tak jelas jenis kelaminnya itu masuk penjara secepatnya!” Rey kembali mengingat perintahnya. Elsa menahan tawanya, ia lalu memutar bola matanya jengah. “Oh ayolah, bukanlah akan lebih memalukan jika kau melaporkannya ke polisi. Apa yang akan kau lakukan? Mengatakan bahwa kau dihipnotis dan tak berhenti mengucapkan judul komik m***m terus menerus? Itu akan lebih menjatuhkan harga dirimu sebagai seorang artis.” Jelas Elsa panjang lebar yang membuat Rey bungkam seketika. Entah karena malu atau tersadar bahwa apa yang wanita itu ucapkan benar adanya. Rey menendang meja yang sudah terbalik itu dengan kesal, namun tidak sekuat dengan tendangan yang pertama. “Aku akan benar-benar membunuhnya!” desisnya yang masih terlihat marah. “Lalu apa yang harus kulakukan?” tanya lagi seolah tak terima apabila belum melakukan sebuah tindakan. Elsa menghambuskan napasnya dengan berat, menjadi manager Rey membuatnya merasa tua mendadak. Sejenak dalam pikirannya Elsa meyakinkan diri bahwa ia harus mengatur jadwal untuk pergi ke spa, bisa-bisa keriput tumbuh sebelum ia menikah! Ia lalu mendongak dan menatap Rey dengan ketegasan yang tak bisa dibantahkan, salah satu alasan mengapa ia bisa bertahan hingga saat ini. “Aku akan mengumumkan pada media bahwa kau mengalami pencurian kecil. Ponselmu hilang dan apabila ada yang menggunakan nomormu untuk menipu seseorang maka kau akan tetap aman. Aku akan mengusahakan agar hari ini jadwalmu kosong, dan jangan protes apabila besok kau menjadi super sibuk.” Elsa menatap arlojinya sebentar, sekarang sudah pukul dua dini hari. Elsa memberikan jeda dalam kalimatnya, ia memperhatikan wajah Rey yang nampak kurang puas. “Kita dapat melaporkannya sebagai tindak kriminal pencurian, jika kau mau.” Imbuhnya lagi. “Kau benar-benar tidak mengingat wajahnya?” lanjut Elsa dengan nada penasaran yang terselubung. Rey memijat keningnya pelan, mendesah bosan saat pertanyaa itu kembali terlontar dari mulut managernya. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat sesuatu. Dan terlonjak dari tempat duduknya dengan cepat, membuat Elsa secara spontan menatapnya antusias. “Aku… mengingat sesuatu,” ucapnya dengan pelan. Namun cukup membuat Elsa menatapnya dengan pandangan gemas. Menahan diri untuk tidak bertanya. “Coklat terang,” serunya dengan mengangguk-anggukkan kepalanya kecil. “Warna matanya, coklat terang.” Lanjutnya dengan mimik wajah yang nampak membayangkan, entah itu membayangkan manik mata coklat sang perampok, atau kejadian yang memalukan hari ini. “Aarghh, jangan tanya lagi dan biarkan aku tidur!” teriaknya sembari berlalu menuju kamar setelah sebelumnya menendang jengkel sofa yang ia duduki. Elsa memandangnya dengan mulut yang terbuka, menghembuskan napas melalui hidung dengan keras dan mengelus dadanya dengan sabar. “Masih ada hari esok Elsa. Kau pasti punya kesempatan untuk menendang bocah manja itu.” Yakinnya lalu mengatupkan kedua tangannya, berdoa agar keinginannya itu  segera terwujud. *- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -  - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN