“Kapan kau bisa menghilangkan kebiasan burukmu itu?” Senna dapat mendengar gerutuan dan makian di sebrang teleponnya. Ia yakin bahwa kakak lelakinya, David pasti tengah kesal setengah mati karena tak dapat mendampratnya secara langsung. “Kau akan mati jika aku pulang, setan kecil.” Senna menahan ujung bibirnya untuk tidak tersenyum, membiarkan kakak yang menurutnya memiliki riwayat penyakit sister complex dari mendiang Ayahnya itu terus berkicau di sambungan teleponnya. “Kau bahkan berani keluar tengah malam saat aku ada pemotretan di Indonesia. Siapa yang mengajakmu keluar, hah? Kevin? Joo-Young? Kim? Yhager? Siapa lagi yang brewok itu?”
Senna meringis saat kakaknya mulai mengurutkan daftar hitam nama teman lelakinya. Menunduk sekilas kepada pejalan kaki yang tak sengaja bersinggungan bahu dengannya. Mendengarkan omelan kakaknya dengan berjalan kaki menyusuri kota London bukanlah hal yang menyenangkan baginya. Berniat menikmati udara pagi, ia malah merasa udara mulai tercemar karena moodnya yang buruk, ia bahkan takut salju dibawah kakinya menjadi hitam. “Aku sangat kesal karena kau tidak mengajakku pulang ke Indonesia! Dan David, mengapa kau hanya menyebut nama teman lelakiku, aku juga punya teman perempuan asal kau tahu! Dan Kevin Yhager itu orang yang sama, temanku yang brewok sudah cukuran pagi ini!”
Gadis dengan rambut hitam sepanjang d**a itu menatap jalanan kota dengan kesal. Ia menahan diri untuk tidak melemparkan ponselnya dan bersabar mendengar ocehan sang kakak tercinta. Ocehan yang sukses membuat dirinya yakin bahwa hari ini akan mendapatkan kesialan beruntun. “Kau tidak bisa meninggalkan kuliahmu! Aku bisa pulang ke rumah karena kebetulan ada pemotretan di Jakarta, jangan iri padaku!” Senna mencebik saat mendengar alasan kakaknya. Ia juga rindu rumahnya yang berada di Indonesia. Ia rindu pada ibu dan adik lelakinya yang bandel.
Meskipun Senna lahir di London, bagaimapun juga ia besar di Indonesia. Ayahnya berkebangsaan English sedangkan ibunya Indonesia. Mereka melewati kisah cinta yang tidak mudah. Tinggal di London selama beberapa tahun lalu pindah ke Indonesia dan menetap di sana. Ia dan David kembali ke kampung mendiang Ayahnya, David untuk berkarir sedangkan ia meneruskan studinya.
“Ya, tentu saja aku tahu bahwa kau punya teman perempuan, tapi hanya satu! Kau gila! Sebenarnya apa jenis kelaminmu? Aku bahkan masih ingat jika dulu aku berdoa meminta adik perempuan yang manis dan imut. Bukan gadis berandal seperti dirimu! Aku bahkan sampai takut kau tumbuh kumis saat masa pubertasmu dulu.” David melanjutkan ucapannya.
“Kau pikir aku seperti ini karena siapa?” Senna berucap tak terima, tersenyum kecil saat beberapa orang yang hendak menyebrang menatapnya dengan pandangan aneh, mungkin karena saat ini Senna menggunakan bahasa Indonesia.
“Karena siapa memang? Aku yakin Mama dan Ayah mendidikmu dengan baik, kaunya saja yang melenceng.” Jawab David yang tak mau kalah.
Gadis dengan lesung pipit itu berdecak kesal sebelum membalas perkataan kakaknya. “Aku seperti ini karena kau, bodoh. Kau berdoa dalam toilet saat buang air besar. Makanya Tuhan marah dan membalikkan doamu padaku. Makanya jangan menggerutu dan terima nasibmu!” Senna mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, ia yakin David tak segera menyahut karena terbengong di sebrang sana.
Terkekeh pelan dan memilih untuk memasukkan ponselnya pada saku jeans tanpa ada niatan menutup telepon, bahkan untuk sekadar berpamitan. Biarlah kakak lelakinya yang cerewet itu berbicara pada pantatnya. Senna kembali tertawa, kali ini lebih keras, seakan sangat puas dapat balas mengerjai kakaknya di pagi hari. Ia mendesah senang, dan menghirup udara kota London dengan penuh penghayatan. Merentangkan tangan tanpa peduli dengan keadaan sekitar dan bergumam, “Ini hari yang menyenangkan!”
“Dooor!” Ia memekik kesal saat seseorang tanpa babibu mendorong punggungnya dengan keras. Menahan napas dengan jantung yang berdebar cepat sembari melotot kearah gadis dengan rambut ikal seleher yang menyeringai puas kearahnya.
“Kau bosan hidup?” tanyanya dengan intimidasi yang membuat sahabatnya itu menggigit bibir bawahnya.
Angel mengangkat tangan kanannya dan berucap maaf masih dengan cengiran tanpa dosa miliknya. Gadis itu sangat senang saat bisa melihat wajah kaget sahabatnya. Menurutnya wajah Senna saat melotot dengan mata bulatnya itu sangat lucu, salah satu alasan mengapa Angel sangat suka menjahili Senna. “Kau tampak senang? Kevin meneleponmu?” tanyanya yang dibalas tatapan aneh oleh Senna.
“Mati saja kau, lelaki itu sudah mati bahkan sebelum dilahirkan,” Angel terkekeh keras saat mendengar penuturan Senna.
“Senna, bagaimana jika malam ini kita keluar?”ajak Angel dengan senyum jahil yang sangat Senna hafal. Gadis itu pasti merencanakan sesuatu yang ia akui memang menyenangkan, namun ia tak ingin mengakui hal itu secara langsung. Ia menoyor kepala gadis itu membuatnya mengaduh dan bergumam tak terima.
Membuat Senna tertawa kecil, dan melepaskan rangkulannya saat merasakan buku jarinya mulai mendingin. “Apa lagi sekarang? Kau tahu, lima belas menit yang lalu David meneleponku dan berceloteh panjang lebar. Ia tahu jika semalam kita keluar.” Ucapnya dengan sesekali meniup kepalan jemarinya.
“David meneleponmu? Tunggu dulu, bagaimana dia tahu jika kita keluar? Apakah dia menyuruh orang untuk mengawasi kita?” Senna meringis saat melihat Angel begidik ngeri sembari memeluk dirinya sendiri. Menghela napas sejenak lalu lebih memilih untuk menghendikkan bahunya.
“Baik, lupakan soal kakakmu yang over itu,” ia berhenti berjalan dan menatap Senna dengan serius. Membuat gadis dengan warna mata coklat terang itu berbalik menatapnya dengan pandangan tak kalah serius. “Hari ini ayo pergi ke club, aku akan mentraktirmu.” ujarnya tanpa bisa menahan seringaian di sudut bibirnya.
Senna menghela napas bosan, “Club lagi?” tanyanya dengan nada meremehkan. Dan dibalas dengan gelengan dan pandangan mata berbinar oleh Angel. Ia kembali berjalan, menatap arloji peraknya sejenak dan menolehkan kepalanya kepada Senna. “Kemarin aku diminta kakak untuk mencari berkas di kamarnya, dan coba tebak apa yang aku temukan?” serunya dengan nada sing a song. “Kartu VIP untuk masuk ke Portal Night Club!” pekiknya.
Senna hanya terdiam saat melihat sahabatnya itu mengepalkan kedua tangannya di d**a dan menggoyangkannya gemas. Astaga, dasar maniak! Umpatnya dalam hati. Ia kemudian pasrah saja saat gadis dengan tingkat hyper tinggi itu menyeretnya untuk segera sampai di kampus dengan berbagai rentetan kata bahwa ia tak sabar untuk nanti malam. Senna berdoa dalam hati, semoga badai salju menerjang kotanya dan ia bisa tertidur nyenyak di rumah.
*- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
“Rey! Cepat bangun!” Elsa menggoyang-goyang tubuh lelaki yang kini semakin meringkuk bersama gulingnya. Sesekali menggumamkan kata jangan ganggu aku dan hanya didengar tanpa mendapatkan respon berarti dari managernya. “Bangunlah sebentar anak manja!” ujarnya lagi dengan menyumbat hidung Rey gemas. Membuat lelaki itu membalikkan badan dan menatapnya kesal, masih dengan memeluk gulingnya.
Dari kernyitan alisnya, Elsa jelas mengerti bahwa lelaki itu menanyakan alasan ia mengganggu tidurnya. “Yuri ada di bawah,” ucapnya yang membuat Rey sontak melupakan rasa kantuknya.
“Yuri?” tanyanya tak percaya dan hanya dibalas anggukan malas oleh Elsa. Ia sudah fasih menghadapi situasi menyebalkan seperti ini.
“Ya, dan ia tak ingin pergi sebelum kau turun dan menemuinya,” Rey jelas dapat menangkap nada mengejek yang Elsa lontarkan kepadanya. Ini adalah hari libur yang ia dapatkan karena insiden semalam dan sekarang ada penganggu yang mengusik tidurnya. Ah, ia bahkan kembali merasa kesal saat mengingat insiden memalukan kemarin.
Rey memilih untuk menarik selimut dan lebih memilih untuk melanjutkan tidurnya, mengabaikan managernya yang mulai mengoceh dan memberikan petuah di pagi hari. “Kau harus turun Rey! Aku sudah malas melihat wajah putus asa gadis itu!” ucapnya disertai u*****n pelan yang hanya didengar sebagi gumaman oleh Rey.
“Aku hanya akan menikahi gadis yang aku cintai,” ujarnya dengan suara khas orang bangun tidur.