MCMD Bab 2 : Lumer

2017 Kata
Baru akan membuka pintu terdengar suara motor Mas Gilang. Tumben siang pulang. Aku hanya meliriknya sebentar. Kemudian melanjutkan membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Salamku dibalas Tante Mira yang keluar dari kamarnya, sepertinya akan pergi. Terlihat berpakaian rapi dan berdandan cantik. "Tante mau kemana?" tanyaku setelah mencium pungung tangannya. "Ada acara arisan sama mamah-mamah temennya Panji." jawab Tante Mira Panji anak kedua Tante Mira yang juga paling kecil sekarang kelas sebelas atau kelas dua SMA. "Ada Gilang pulang, siapin makan sana," suruh Tante Mira padaku. Aku menganguk pelan dan beranjak ke kamar menaruk ranselku. Dan segera kembali keluar. Mas Gilang terlihat masuk dengan membawa bungkusan, diletakkanya di meja ruang tamu. "Mama berangkat dulu, Shell Tante pergi dulu, ya." Tante Mira berpamitan padaku. Dia sudah di jemput temannya. "Iya Te, hati-hati." Aku menjawab sambil beranjak ke meja makan. Kubuka tudung saji, sayur dan lauk sudah lengkap tersaji. Mas Gilang datang mengambil gelas dan mengisinya dari dispenser. "Mas makan?" tanyaku padanya. "Ya." Mas Gilang menjawab singkat. pria itu kemudian menarik kursi. Aku segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi. Aku letakkan di depannya. "Suruh makan nasi doang?" "Kan lauknya di depan mas." "Kenapa tak diamabilkan sekalian?" ucapnya kesal. Salah lagi, kalau diambilkan bilangnya aku ambil sendiri, kalau tak di ambilkan dibilang cuma suruh makan nasi. Aku menarik nafas dan menghebuskan dengan kasar. Dasar manusia yang merepotkan ... Tanganku tiba-tiba di tepisnya saat akan mengambil lauk untuknya. Aku sedikit kaget kenapa kasar begitu. "Nggak usah kalau nggak ikhlas." ketusnya. Huff sabar, sedang malas mendebatnya. Aku hanya mengamatinya berdiri di dekatnya. "Ngapain masih berdiri di situ bikin nafsu makanku hilang saja," ucap Mas Gilang lagi, terlihat pria itu menghentikan makannya. Aku beranjak akan meningalkanya, saat terdengar kembali perintahnya. "Air putihnya mana?" "Ambil sendiri, kan tadi Mas yang minta aku pergi. Males," balasku. "Kamu ya." "Kenapa? Mas Gilang kalau punya masalah di luar jangan bawa ke rumah, kalau hidup mas suram jangan ajak orang di sekitar mas ikut suram," ucapku sengit, walau suka dengannya aku masih punya logika. Kesabaran itu ada batasnya. "Aku tau mas tak suka aku di sini, oke aku akan pergi," ucapku kesal "Tunggu apa lagi, harusnya kamu sudah sadar, aku tak suka kamu di sini." Mas Gilang berdiri. Menatapku dengan wajah mengejek. Aku mengangguk pelan, aku cukup sadar aku hanya menumpang di sini. Setrauma apapun dia pada wanita tak seharusnya dia menghantam rata semua wanita sama. Au segera beranjak, hari ini hatiku tak seperti biasanya yang bisa menerima segala kelakuan dan ketidak sukaannya. Aku tak akan memaksakan diriku menerima perlakuannya. Ini sudah tak menantang lagi ini menyakiti. Berdiam diri dan menata hati, moodku buruk sekali hari ini. Kurebahkan badanku. "Kakak ...." Pangilan manis itu sayup ku dengar, aku ketiduran ternyata. Gadis itu memainkan jarinya di wajahku, kemudian menghujaniku dengan ciumannya. Senyumku terbit seketika, Cantika gadis kecil itu mampu mendinginkan hati yang sedang panas ini. Salah satu alasan kenapa aku bertahan. Dia menarikku yang pura-pura bermalas-malasan. "Caca punya buku baru, kita warnai, ya," pintanya. Akupun tak dapat menolaknya. "Kakak ganti baju dulu ya," ucapku. Gadis manis itu mengangguk. Kusegera berganti pakaian dan menyusul ke kamarnya di depan. Kulihat motor mas Gilang masih terpakir. Apa dia tak balik ke kantor?Di mana dia sekarang? Kuarahkan pandanganku keluar. Mas Gilang berjongkok di depan motorku, terlihat dia memasang sesuatu. Apa yang dia kerjakan? "Kakak!" pangil Caca yang menarikku masuk ke kamarnya. Menemani gadis kecil ini menyenangkan, mendengarkan celoteh lucunya dan keriangannya. Terdegar suara motorku di sela gurauku dan Caca. Mas Gilang memperbaikinya? Tapi hari ini dia sunguh menyebalkan. "Caca bobok siang dulu, ayok cuci tangan," ajakku selepas puas bermain. Aku mengendongnya ke kamar mandi untuk cuci tangan dan kaki. Kemudian membawanya kembali ke kamar. Kutingalkan setelah gadis kecil itu nampak tertidur. Mas Gilang tampak duduk di teras, dia memainkan ponselnya. Aku duduk di depannya. "Makasih," ucapku. Sekilas saja dia melihatku, pandangannya kembali ke layar benda pipih itu. "Maaf juga yang tadi," lanjutku. Mas Gilang sama sekali tak melihatku, beranjak masuk begitu saja. Ih, tanganku mengepal, gigiku menyatu terdengar gemeretaknya, huff kesal sekali rasanya. Ku tepuk dadaku sendiri sambil mengatur nafasku. Baru aku akan masuk, terdengar motor berhenti dan suara pagar di ketuk, Didii terlihat senyum-senyum di depan pagar. Mau apa juga anak itu, moodku sedang buruk begini. Kupaksakan senyum, dan memintanya masuk. "Gimana motornya? aku bantu benerin kah?" tanyanya saat memasuki teras. "Oh, udah bisa sepertinya. Dibenerin Mas Gilang tadi," jawabku. "Eh duduk," ucapku padanya. "Nggak kerja Mas Gilang?" tanya Didii melihat motor mas Gilang terparkir di depan. Aku hanya mengangkat bahuku karena memang tidak tau. Hanya pembicaraan tak berarti dan basa-basi, tapi lama-lama seru juga anak ini. Humor recehnya mampu membuatku tertawa sampai menangis. Cukup lama kami terlibat obrolan yang garing di awal, tapi renyah seperti renginang kemudian. Cowok berambut sedikit gondrong itu akhirnya pamit. Aku mengantarnya sampai pagar. "Lain kali kalau tertawa itu pakai etika, nggak enak didengar tetangga, cewek kok ketawanya sampai seperti itu." Mas Gilang ngedumel tanpa melihatku, saat aku melewatinya yang sedang duduk di depan TV. Banyak omong sih sekarang, cuma bawel kayak emak-emak. "Ketawa itu pakai mulut Mas, bukan etika," jawabku, berhenti di depannya. Dia melihatku, aku mengangkat alisku. Sengaja aku mendekati dan duduk di sampingnya, padahal tadi tak berniat awalnya. "Segitu nggak sukanya ya Mas ke aku?" tanyaku cuek sambil meraih remote TV di meja. Tak ada jawaban aku menolehnya. Dia sama sekali tak meresponku, aku membuang pandanganku. Aku juga cuma manusia biasa, hatiku bukan terbuat dari batu yang tidak bisa merasakan sakit. Aku juga pernah trauma akan cinta, tapi tak sampai seperti itu juga. Aku bangun dari tempat duduk, aku ingat ada tugas kuliah belum ku kerjakan. "Sudahlah, menyerahlah perjodohan ini tak kan baik bagimu," ucapnya. Aku kembali duduk setelah dia mengucapkan itu. "Mas tak suka padaku karena masalah perjodohan itu?" tanyaku padanya. "Cinta tak bisa di paksakan bukan, perjodohan ini hanya akan membawamu dalam masalah," ucapanya masih datar tak ada intonasi. "Benarkah mas memikirkan perasanku?" "Tak penting kamu tau, yang jelas lebih baik kamu tolak perjodohan ini," jawabnya. Aku hanya menganggukkan kepala tanda mengerti kemudian berlalu darinya. ~~ Aku kuliah siang sebenarnya, tapi sengaja aku berangkat pagi dengan alasan ada kuliah tambahan. Dari kemarin suasana hatiku sedang buruk, tersulut sedikit saja bisa tak terkontrol apa yang keluar dari mulut ini. Metha menjemputku, dia sudah membuat janji dengan Om nya jam sembilan nanti. Ini baru jam tujuh pagi, kami memutuskan mencari sarapan dulu. Pilihan jatuh pada nasi liwet tak jauh dari Kafe Om nya Metha. "Gue lihat tugas hari ini dong, gue kelupaan belum ngerjain," ucap Metha di sela menyuapkan nasi ke mulutnya. "Lupa pa males?" sindirku "Hahahaha, tau aja lo." Metha tertawa. Aku sudah paham bahasanya. Inilah kami sepasang sahabat yang saling melengkapi dengan kelebihan dan kekurangan kami. Belum lama memang kami saling mengenal, tapi kami langusung menemukan kecocokan. Waktu menunjukkan jam sembilan kurang 10 menit ketika mobil Metha memasuki parkiran sebuah Kafe dengan papan bertulis 'Teras Kafe', masih terihat sepi karena memang buka mulai jam sepuluh sampai jam sebelas malas. Itu yang tertulis di papan. Weekend jam 10 sampai dengan jam dua belas malam. Tapi saat memasuki kafe suasana sudah ramai oleh para pegawai berseragam coklat s**u. Mitha mengajakku lewat pintu samping khusus karyawan. Menaiki tangga menuju ruang kerja Om nya yang dia pangil Om Bastian. Langkah terhenti di depan pintu, jemari Metha mengetuk pelan daun pintu. Terdengar suara dari dalam mempersilahkan masuk. Metha mendorong pintu yang memang sudah sedikit terbuka. Tampak seseorang yang duduk membelakangi kami. "Om!" pangil Metha. Kursi berputar seorang lelaki tersenyum kemudian berdiri menyambut Metha. Aku masih terpaku di dekat pintu, jauh sekali dari bayanganku. Lelaki itu memeluk dan mencium Metha, memang mirip sih, dengan si cantik Metha. "Om ini temen yang aku ceritain." Kenal Mitha yang sudah bergelayut di tangan lelaki itu. Dia tersenyum manis ke arahku, tampak lesung pipi saat di tersenyum. Aku pun beranjak dan mengulurkan tanganku padanya. "Shella," kenalku "Bastian," kenalnya menyambut uluran tanganku. Bayangan Om-om tua dengan perut buncit tak kutemukan di sini. Yang berdiri di depanku seorang lelaki tampan dengan tubuh atletis. Berkulit putih bersih dengan rambut klimis. Dia mempersilahkan ku duduk di sofa yang berada di sisi kanan meja kerjanya. Pembicaraan di mulai dengan basa-basi sebelum ke pokok pembahasan, sebuah obrolan ringan sedikit perkenalan. "Saya butuh untuk hari rabu, kamis dan jumat untuk jam delapan sampai jam senelas malam. Tidak full kamu nanti berbagi dengan Andra, akustik juga. Untuk hari minggu jam satu siang sampai jam tiga sore," jelasnya. Malam? tapi di mana-mana memang live musik di mulai malam. "Bagaimana?" tanyanya kemudian. "Kalau oke, kamu bisa mulai nanti malam," ucapnya. "Tidak melihat saya perform dulu?" tanyaku, main diterima aja, belum tentu selera kita sama." "Sudah lihat kok dari Metha, saya suka cocok dengan yang saya cari," jawabnya kemudian. Dia menawarkan bayaran persekali tampil, tak besar memang. Tapi di kalikan empat kali dalam seminggu lumayan lah. "Saya minta waktu dulu bisa Pak? maklum anak rumahan. Saya pribadi sangat berminat tapi saya harus ijin dulu ke kekeluarga," ucapku. Dengan uang itu sepertinya cukup untuk biaya bulananku. Mungkin aku juga bisa menambah pekerjaan lain. ~~ Setelah seharian keluar, jam lima sore aku baru pulang. Aku sudah ijin ke Mama dan dengan penuh perjuangan saat menjelaskan dan meyakinkan akhirnya setuju juga walau tak sepenuhnya. Sekarang waktunya ijin ke Om San dan Tante Mira. Baru membuka pagar Cantika sudah berlari dari dalam. Di luar ada Panji dan teman-temannya. Tak ada motor Mas Gilang, berarti dia belum datang. "Kak ... " sambut Cantika berhambur ke arahku, aku memeluk dan kemudian mengendongnya. "Assalamualaikum," salamku yang di jawab seremoak empat pemuda tangung itu. "Kak, tadi Kak Metha ya?" tanya Panji, aku menganggukan kepala. "Kok nggak diajak mampir?" tanya Panji cengengesan, dia memang pengagum berat Metha. "Malas dia digombalin abege labil." ucapku, Panji tertawa di sambut ledekan teman-temannya. Panji berbeda sekali dengan Mas Gilang. Dia supel, periang, konyol dan usil juga. "Pinjam gitar kak?" ucap Panji mengikuti langkahku masuk kedalam. "Ambil aja sendiri, kamar nggak Kakak kunci kok," ucapku. Panji bergegas mendahuluiku dan sebentar kemudian sudah membawa keluar gitarku. "Ca, Kak Shellanya capek baru pulang, ayo turun!" Om San keluar dari kamarnya, di ikuti Tante Mira. "Ayok turun, Kak Shel mau mandi itu," timpal Tante Mira. Dengan bibir manyun gadis itu turun dari gendonganku. Aku menguyel pipinya gemas. "Abis ini kita main lagi ya," ucapku sambil mencium puncak kepalanya. ~~ Selepas Magrib aku menemani Cantika belajar. Sekaligus belajar untuk kuliahku besok walau di jamin di fokus. Bermacam pertanyaan selalu keluar dari bibir mungil itu. Terdengar suara motor Mas Gilang, Cantika langsung bangun dari duduknya. Dia akan menyambut kepulangan Ayahnya. Tapi dia hanya melihatnya, karena Tante Mira baru mengijinkan bermanja dengan Ayah nya selepas ayahnya membersihkan diri. Aku masih berdiam di kamar Cantika, dia pasti menunggu Ayahnya mandi. Kulanjutkan mengerjakan tugasku yang sedari tadi satu pertanyaanpun belum aku jawab. Cantika akan lupa belajarnya saat Ayahnya datang. Aku membereskan buku-bukunya selepas ku selesai mengerjakan tugasku. "Kak, Caca mau beli Es Klim sama Ayah," pamit gadis kecil itu, "Kakak ikut ya?" pintanya padaku. "Caca aja bedua sama Ayah, kakak mau bantu Mimih siapin makan " alasanku menolaknya. Tapi permintaan sudah berubah ke rengekkan, aku tak bisa menolaknya. Walau Mas Gilang hanya diam, aku terpaksa ikut serta. Ah, sedekat ini membuatku bergetar juga. Meski menyebalkan tapi ada satu aura yang begitu menarik rasaku. Desiran halus itu merasuk ke dalam dadaku, lelaki dingin ini tetap mempunyai tempat di ruang hatiku, walau tak pernah ada kata manis untukku darinya. Walaupun dia tak menyukaiku, walaupun dia tak mengingginkanku. Kami berhenti di depan sebuah mini market. Diangap tak ada itu sudah biasa. Cantika mengandengku dengan tangan kanannya dan mengandeng Mas Gilang dengan tangan kirinya. Sesaat pandangan kami beradu, secepatnya pula kami membuangnya ke arah lain. Kesempatan gadis kecil ini, bukan hanya Es Krim dia akan pulang dengan dua kantong besar jajanan. "Aucwhh." "Kamu nggak apa-apa?" Kepala kami berbenturan saat refleks bersamaan akan mengambil jajanan yang di jatuhkan Cantika. Darahku seperti berhenti mengalir, saat tangan itu memegang kepalaku dan juga ketika Mas Gilang menanyakan keadaanku. "Nggak apa-apa," jawabku sambil masih mengusap kepalaku. Lumayan bikin pusing sebenarnya. Mas Gilang juga terlihat mengusap kepalanya sendiri. Mas Gilang berdiri, dia mengulurkan tangannya membantuku. Mimpi apa aku semalam. Aku menyambut tangannya dan berdiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN