Celana Dalam

1151 Kata
Menjadi anak angkat di keluarga yang begitu hangat, tidak pernah Dika sesali. Selain mendapatkan kedua orangtua yang lengkap, ia juga memiliki dua adik angkat yang menganggapnya sebagai kakak mereka sendiri. Sila dan Iko. Itulah dua adik angkat Dika. Anak dari seorang Rangga, sahabat almarhum orangtuanya. Dika senang berada di rumah Rangga. Menjalani kesibukannya sebagai Asisten Dosen sambil tetap meluangkan waktu mengurus anak-anak di rumah singgah. Bersama gadis yang sedang membuatkan segelas kopi untuknya, sore ini. "Ini kopinya, Mas." Dika mengangguk seraya tersenyum sebagai ucapan terima kasih pada Sila, adik angkatnya. Perempuan yang diam-diam ia cintai. Sayangnya, mereka malah terjebak dalam hubungan kakak dan adik. Bahkan perempuan itu sudah menikah dengan tetangga sebelah rumah. Ini seperti hendak memetik bunga, tetapi sudah dipetik duluan. "Anak-anak belum bangun, Sil?" "Belum, masih tidur sama papanya. Makanya aku ke mari." Sila sudah memiliki dua anak kembar. Tetapi bukan karena perbuatan Dika.Laki-laki bermata empat, yang membingkai bola mata kelam itu ingin sekali menjadi suaminya. Membuat anak berdua, menjalani rumah tangga yang harmonis. Apalah daya, jodoh tak memihak pada Dika. Mungkin jodohnya masih terjebak macet dan banjir, sebelum sampai padanya. Dalam khusyuknya, Dika berharap pada Tuhan agar berbaik hati segera mengirimkan jodoh terbaik seperti Sila. Perhatian, keibuan dan sayang keluarga. Tetapi kapan? Dika sendiri juga tidak tahu. Sangat sulit memang, membuat laki-laki itu bisa mencintai seorang perempuan. Sila, adalah cinta pertama bagi Dika. Cinta pertama, tak seindah prasangka sajak. "Ikoooooooooooo!" UHUK! Mendengar suara teriakan mirip Tarzanwati di rumah, membuat Dika tersedak kopi hitam. Suara itu, seperti tak lelah berteriak di mana pun berada. Gadis aneh yang sialnya menjadi mahasiswa Dika beberapa kali itu, merekahkan senyum. "Eh, ada Bang Asdos lagi kencan sama kopi. Iko mana?" Gadis menyebalkan yang menghilangkan daftar nilai, dua kali. Terlebih tidak mau bertanggung jawab pula. "Iko masih di kamar." Dika menjawab tanpa repot melirik gadis yang terlihat bantet menurutnya. Setelah olahraga pagi, Iko memang sering berdiam diri di kamar sebelum sarapan pagi. Iko satu kampus dengan Emil, namun berbeda jurusan. Iko mengambil jurusan Pendidikan, mungkin karena ia mewarisi jiwa ibunya sebagai pendidik. Sedang Cebol yang ada di dekat Dika saat ini, mengikuti jejak ayahnya di Fakultas Ekonomi. "Kamu, apa tidak bisa sedikit sopan saat bertamu di rumah orang?" Dika heran pada gadis aneh yang mencomot pisang di atas piring, tanpa ragu. Emil melahap santai dengan terlebih dulu mengendus dan menjilat menggunakan ujung lidah. Dika bergidik ngeri dengan apa yang dilakukan gadis aneh tersebut. Menjijikkan sekali. "Udah biasa, Bang Asdos. Lagian, yang lain nggak keganggu tuh! Kok situ yang repot. Sumpelin aja telinganya sama pisang, biar nggak keganggu." Ingin Dika cengkeram saja mulut yang suka nyinyir itu agar tidak seenaknya mencibir segala sesuatu. Untung saja dia masih adik ipar, meskipun hanya angkat. "Di mana kamu taruh daftar nilaiku?" "Daftar nilai apa ya?" tanyanya pura-pura amnesia atau pingsan saja mungkin lebih baik. "Jangan pura-pura, Mil. Dulu juga kamu menghilangkan daftar nilai. Sekarang, kamu ulangi lagi. Kamu punya dendam pribadi sama aku?" Dengan geram Dika mencerca Emil. Sialnya, gadis yang pernah mencret saat Dika memboncengnya pada acara lamaran Sila itu, malah tak acuh dan menikmati pisang ketiga. "Kamu punya telinga?" Emil malah semakin memamerkan cengirannya, kemudian mengecup ujung pisang tersebut dengan penuh sayang. Seolah benda tersebut adalah ... ah, sudahlah. "Emil!" bentak Dika kehilangan kesabaran. "Iya, Abang Asdos, aku denger kok. Nggak usah diteriakkin juga. Daftar nilai yang Abang maksud itu, aku nggak tahu. Sumpah deh. Dedek rela kok, Abang kasih uang sejuta kalau bohong," ucap Emil seraya mengangkat kedua jarinya membentuk huruf ‘V’."Lagian ya, Bang Asdos, ngapain juga punya dendam sama situ? Harusnya aku yang tanya, situ dendam ye sama eike? Dari dulu ngajak ribut mulu. Udah gitu, fitnah Hayati juga yang ilangin daftar nilai." Hilang sudah kesabaran Dika. Mengabaikan kesopanan, Dika menghampiri Emil di tempatnya duduk. Menarik pergelangan tangan. "Bangun kamu!" "Apa sih, Bang?" Dika menarik pergelangan tangan Emil untuk berdiri dan menggiring gadis itu menuju teras. Tak dihiraukannya suara kesakitan Emil, karena Dika mencengeram pergelangan tangan gadis itu sedikit lebih erat. "Kamu jangan main-main, Mil. Aku tahu pasti kamu yang menghilangkan daftar nilai tersebut," tuding Dika dengan jari telunjuk mengarah di depan wajahnya. "Terus?" "Terserah kalau kamu tidak mengakuinya. Cari, atau nilai KKN dan semua mata kuliahmu yang diampu Pak Ari, tidak akan pernah ada. Selamanya!" Emil terlihat syok setelah Dika mengancamnya. Gadis itu menundukkan wajah sembari menggigiti bibir bawahnya. "Satu lagi, kamu ingat kan, kalau nilai KKN adalah persyaratan skripsi? Meski kamu merengek di hadapan Rektor, jangan harap kamu bisa lolos dengan mudah, Adik Ipar!" Dika berbalik badan, berlalu meninggalkan Emil yang diam, merenungi kata-kata ancaman barusan. Biarlah, gadis bengal tersebut memang perlu diberi pelajaran sesekali, batin Dika. *** Iko terlihat sibuk sejak siang hari. Saat Dika bertanya, ternyata ia tengah mempersiapkan keberangkatan ke salah satu Perguruan Tinggi untuk menghadiri Dies Natalis UKM Kepramukaan. Sepertinya ia akan menginap dan pulang esok harinya. Adik angkat Dika yang bungsu, seorang laki-laki yang berjiwa petualang. Iko mencintai dunia kepanduan sejak sekolah menengah dan berlanjut hingga di bangku kuliah. Lebih baik ia menjalani kegiatan positif, tidak seperti laki-laki sebayanya yang kuliah, mengerjakan tugas hanya menitipkan nama dan bermain (lebih tepatnya bermain perempuan). Biasa, status seorang mahasiswa biasanya membuat seseorang sedikit lebih tinggi dan merasa sombong. "Mas, aku berangkat dulu. Salam buat Mbak Sila dan Mama," pesannya sekaligus berpamitan pada Dika. "Eh, hampir aja lupa, Mas." Iko tampak berjalan masuk ke dalam rumah. Dika menoleh ke arah pintu. "Ada apa, Ko?" "Mas, nanti kalau Emil datang, tolong kasihkan belanjaan dia yang aku taruh di depan televisi." Dika mengangguk dengan pesan Iko. Kembali lagi ia menekuri paragraf demi paragraf dari makalah yang dibaca. "Hai, Abang Asdos!" Suara itu lagi. Dika mengembuskan napas mendengar suara gadis cebol tetangganya itu. "Kenapa?" sewot Dika. "Wesss. Woles Bang ....Galak amat. Aku cium baru tahu rasa ntar!" Benar-benar ingin Dika bungkus saja gadis aneh tersebut dalam kardus. Mengikatnya dan melemparkan ke dasar jurang. "Iko mana?" "Sudah pergi." "Bang, Iko bilang nggak, di mana naruh belanjaanku?" "Depan televisi. Ambil sendiri. Setelahnya, silakan pergi." Dika menjawab dengan cepat semua pertanyaan Emil. Berharap gadis itu cepat pergi dari sekitarnya. "Ahhhhh! Lucu ... gemes!" Baru saja Dika memperingati agar gadis aneh itu segera pergi, sekarang malah terdengar Cebol berteriak gemas. Emil berlari menuju ruang tamu tempat Dika duduk saat ini. Sambil mendekap kantong belanjaan,dia duduk berhadapan dengan Dika. Dikeluarkannya isi dalam kantong, merentangkan benda berwarna kuning di depan wajah sambil berseru, "Ih ... gemes!" Benda berbentuk ‘V’ depan belakang tersebut begitu menyita perhatian Dika. Emil merentangkan satu persatu celana dalam yang ia anggap lucu dan menggemaskan tersebut dengan riang. Celana dalam yang aneh menurut Dika. Bagian depan ada resletingnya, di bagian belakang terdapat gambar kepala Pikachu yang berkedip genit. "Bang, lihat deh celana dalamku. Imut kan? Uh ... nggak sabar buat perawanin dia." Dika tidak salah dengar kan? Perawanin dia? Dia itu siapa? Ah, gadis itu semakin aneh saja. Kenapa memilih celana dalam yang kekanakan seperti itu? Bukannya yang polos lebih seksi? ____________________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN