Kuman

982 Kata
Hati. Apa kabar hati Dika yang terombang-ambing oleh perasaan tega dan tidak tega? Apa karena pengaruh hujan, hatinya merasa berubah-rubah sedari tadi. Sejak gadis pembawa sial dan biang masalah yang sayangnya adalah saudara iparnyadatang secara tiba-tiba, di samping motor yang akan ia kendarai pulang. Hujan terasa deras, mantel yang ia kenakan rasanya kurang cukup menjanjikan untuk melindungi secara sempurna. Nyatanya, baju Dika basah karena tetesan air masuk melewati celah kerah mantel. Lalu, apa kabar sama Emil, si gadis yang pernah mencret saat Dika bonceng dulu? Gadis yang sekarang bagai kuman, menempel di punggungnya. Pergolakan batin antara rasa tega membiarkan Emil kehujanan, dan rasa kasihan membuat hati kecil Dika meraung. Sontak sisi kejantanannya mendesak ingin menunjukkan jiwa perhatian, pada perempuan yang dibelaskasihani itu. Perang batin yang amat bergejolak rupanya. Motor masih Dika lajukan dengan ritme pelan. Hujan deras mengguyur. Tidak memungkinkan menerobos derasnya hujan dengan kecepatan tinggi. Dika melirik dari kaca spion, penampakan seonggok manusia berjenis kelamin perempuan. Tangan Cebol melingkar di pinggang Dika, dan kepalanya bersandar tenggelam di punggung. Sosok Angel dan Devil seakan sedang beradu argumen di kepala Dika. Memerintahkan tindakan yang harus ia lakukan. Hingga perdebatan terpaksa dihentikan, dengan satu keputusan. Motor pun Dika hentikan di tepi jalan, di depan teras toko bangunan yang sudah tutup. Dika menepuk keras telapak tangan Emil yang melingkar di pinggangnya. Telapak tangan itu terasa gemetar menahan dingin. Emil tersentak karena sentuhan Dika. Melihat Dika menggerakkan tubuhnya menoleh ke belakang,ia pun bergerak menjauhkan kepala dari posisi menempeli punggung laki-laki itu. "Turun!" perintah laki-laki itu padanya. Astaga. Bahkan curut kecebur got saja masih lebih imut daripada Emil. Lihat saja, wajah pucat wajahnyadisertai titik-titik hujan yang ia usp kasar dengan telapak tangan, rambut lepek akibat guyuran hujan, serta pakaiannya yang basah kuyup membuatnya tampak lebih buruk dari curut jenis mana pun. Emil menuruti perintah Dika untuk turun dari motor. Laki-laki yang Emil panggil 'Abang' pun ikut turun, kemudian menurunkan standart motor. "Kamu mau basah-basahan begitu sampai rumah?" tanya Dika dengan nada tajam, menunjuk dengan dagu ke arah pengagum Pikachu. "Iya, Bang. Namanya juga hujan, pasti basah lah. Lagian situ nggak mau bagi mantelnya, ya udah gini aja."Emil berusaha santai, menahan rasa dingin yang menusuk. Santai? Omong kosong! Wajah Emil pucat, tangannya gemetar menahan dinginsekarang bersatu saling mengait. "Mantelku cuma satu. Itu pun hanya mantel baju. Memangnya bisa berbagi? Jangan sok menyalahkanku, kan kamu sendiri yang bersikeras numpang di motor ini." Dika tak mau disalahkan. Siapa yang memaksa, dia yang menanggung. Emil menghela napas berat mengacuhkan pembelaan Dika, lalu ngeloyor balik badan. Ia berjalan menuju tangga kecil di teras. Dirinya duduk, kemudian menyisir rambut yang setengah basah dengankedua jemarinya. Tahukah kalian? Gerakan belai-membelai, sisir menyisir itu begitu gemulai, apalagi ditambah tetesan air hujan yang mengenai rambut dan wajahnya. Membuat pemandangan seonggok kuman yang menempel di punggung Dika tadi itu terlihat begitu.... ah, maksudnya terlihat.... Ah, sudahlah. Dika yang menyaksikannya malah bingung sendiri mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Bang, kita mau berteduh di sini nih ceritanya?" "Iya, biar sedikit reda hujannya. Lagian kamu nggak pakai mantel, entar malah sakit. Aku yang diomelin kakakmu." "Elah, Bang... udah basah begini juga, ngapain pakek berteduh segala. Basah ya basah aja sekalian." "Rumah kita masih jauh, Mil." "Nggak apa-apa, Bang. Aku masih kuat kok. Beneran deh, nggak usah ikut tanggung jawab kalau Kak Rey nanyain. Atau mantelnya buat berdua aja biar khawatirnya ilang?" tawar gadis aneh itu sambil berkedip menggoda, yang sialnya terlihat menggemaskan. Sama seperti Pikachu yang berkedip pada Dika tempo hari. "Enak saja!" elak Dika keras. Emil mengerucutkan bibirnya. Dika mengalihkan pandangan pada hujan, yang semakin tak sedikit pun menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Hari sudah gelap, ditambah warna langit yang gelap, semakin suram. Melirik sekilas seonggok gadis yang memeluk dirinya sendiri karena angin berembus dingin, Dika mengalah. "Mil?" "Hem." "Ayo kuhangatkan!" *** Ponsel Dika berkedip-kedip tanpa kenal waktu. Sudah puluhan telepon masuk dengan nomor yang sama. Dari orang yang sama juga tentunya. Reyhan. Adik ipar sekaligus kakak dari gadis aneh--yang kini tengah polos--tanpa sehelai baju menempel di tubuhnya. Itu semua akibat hujan, yang pada akhirnya membawa Dika dan Emil ke tempat ini. Jelas, untuk saling menghangatkan. Awalnya Emil menolak mentah-mentah tawaran Dika. Akan tetapi, karena suatu dorongan yang memangkas habis ego masing-masing, juga karena sebuah kebutuhan manusiawi, Emil pun menyetujui. Setidaknya, Dika juga kecipratan bagian yang menyenangkan. "Ya?" Dika mengangkat panggilan dari Rey dengan suara santai, sesantai berjemur di pantai ditemani Pikachu yang juga ikut berjemur. "Emil, sama kamu?" tanya Rey di seberang dengan nada penuh khawatir. Jelas saja Rey khawatir, adik kesayangannya belum ada kabar sama sekali. Harusnya sudah sampai rumah. "Iya, dia tadi numpang naik motorku. Kami masih terjebak hujan. Tenang saja, dia bersamaku," jawab Dika yang ditanggapi helaan lega oleh laki-laki yang mengaku sayang pada Cebol. "Baiklah, kalau butuh apa-apa, hubungi aku. Pastikan adikku baik-baik saja." Rey berpesan sebelum akhirnya memutus panggilan. Dika melirik onggokan baju basah di lantai, milik gadis yang tengah dikhawatirkan oleh kakaknya barusan, dengan senyum samar. Bola mata Dika hampir saja melompat saat melihat sehelai kain segi tiga bergambar Pikachu yang dengan genit berkedip manja. "Bang...," suara Emil memanggil nama Dika. Saatnya untuk Dika melakukan apa yang harusnya ia lakukan. "Ya," jawab Dika agak serak. Hujan masih terus turun membasahi bumi. Petir masih terdengar sesekali menyambar. Jalanan pun dipastikan banjir esok pagi, jika semalaman ini hujan masih saja bertahan untuk turun. Saat keadaan di luar semakin menggigil, Dika dan seorang gadis yang tengah melambaikan tangannya, merasakan hawa yang berbeda. Biarlah hal ini menjadi pengalaman mereka berdua, yang tak perlu diceritakan pada siapa pun. Termasuk kamu, yang sedang membaca kisah mereka terjebak hujan. "Bang?" Suara itu kembali memanggil Dika. "Sebentar." "Lama amat sih? Dingin nih!" gerutu Emil sedikit kesal. "Iya, ini udah siap." Dika sudah siap dengan apa yang akan ia lakukan sedari tadi. "Bang, sempit. Sakit nih!" Oh, sepertinya Dika salah strategi dan gaya. Baiklah kalau begitu, biarlah ia mencoba cara baru agar Emil tidak kesakitan. Malah akan semakin nyaman pada akhirnya. ______________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN