Hiruk pikuk lapangan futsal indoor itu memenuhi mata dan telinga Keisha. Beberapa orang sibuk memberikan semangat untuk pemain, sementara teman-teman satu tim mereka tampak menyerukan instruksi pergerakan yang paling tepat. Keisha menghampiri Felish yang sudah duduk di bangku penonton sambil menjaga tas teman-temannya. “Udah lama nunggunya?”
“Nggak, kok.”
Keisha hanya mengangguk. Tak jauh dari mereka Fairel, Juro, Dala, dan Kenzie tampak bersiap-siap. Giliran mereka akan tiba sekitar sepuluh menit lagi.
“Lo sama siapa ke sini?” tanya Keisha.
“Bang Angga. Tuh, dia di situ,” Felish mengedikkan bahu pada cowok yang duduk bersama dengan Fairel dan teman-temannya. Hah? Keisha rupanya sudah melewatkan satu orang.
“Kok dia bisa ikut main? Bukannya cuma anak sekolah kita yang ikut?” tanya Keisha bingung.
“Kata Bang Angga nggak masalah. Fairel juga kok yang ngajak dia,” sahut Felish ringan.
Tunggu, Fairel kenal sama Erlangga? Sumpah deh, makin lama Keisha makin kaget saja dengan lingkaran pertemanan Fairel yang kelewat luas itu.
“Btw, Fel, gue kemarin di depan sekolah ketemu sama dia,” lapor Keisha.
“Bang Angga?” Felish memastikan.
“Iya. Waktu gue telat. Dan besoknya baru gue tahu kalo ternyata dia Abang lo.”
“Masa, sih? Kok bisa?” Felish tertawa.
“Iya. Gue aja masih kaget sampe sekarang. Karena gue nggak tahu ya gue manggil dia cuma ‘gue-elo’, dong. Dia juga nggak protes waktu gue manggil dia Erlangga doang. Bilang kek kalo dia lebih tua dari gue. Kan gue nggak tahu,” sungut Keisha.
Felish hanya tertawa. “Bang Angga kan emang sok muda terus bawaannya. Nggak sadar umur,” ejek Felish sambil melirik sang kakak yang sedang bermain.
Keisha hanya diam. Ikut memandangi cowok itu.
Mungkin dia harus belajar manggil dia ‘Abang’ juga kali, ya?
“Bang Erlangga lama liburan di sini, Fel?” tanya Keisha mulai penasaran.
“Lumayan. Satu bulan lebih deh, nggak tahu juga persisnya. Dia belum cerita mau balik kapan,” jelas Felish.
“Emang kuliah di mana, Fel?”
“Inggris. University of Cambridge.”
Felicia diam agak lama. Memandangi abangnya itu dalam-dalam. Membuat Keisha agak merasa iri. Seandainya keadaannya masih senormal dulu, maka ia juga akan seperti Felish. Memandangi abangnya dengan sorot kebanggaan yang tidak ditutupi. Namun, semuanya berubah. Orang itu tidak ada lagi. Hanya tersisa kenangan yang tersimpan di ujung ingatan. Bersama doa yang terkadang ia beri.
“Ntar lo berarti nyusul ke Inggris juga, ya?” komentar Keisha refleks.
Felicia menghela dan mengembuskan napas perlahan. “Nggak tahu.”
“Kenapa?”
“Gue nggak suka di luar negeri. Gue nggak nyaman sama suasana asing.”
Cewek itu tampak agak murung. Keisha hanya menepuk bahunya perlahan. “Nggak usah dipikirin sekarang. Masih lama, kok,” hiburnya.
Pembicaraan itu terputus saat sorak-sorai orang-orang terdengar. Fairel dan kawan-kawannya mulai memasuki lapangan. Kenzie menoleh pada Keisha. Membuat Keisha refleks mengacungkan kedua tangan untuk menyemangati. Ia berkata, “Semangat!” tanpa suara. Disambut oleh tawa renyah Kenzie. Erlangga yang berjalan di belakang Kenzie ikut menoleh, mendapati Keisha yang masih menyemangati. Keisha tersenyum kaku. Terpaksa ikut mengacungkan tangan untuk menyemangati cowok itu, tapi ia hanya menaikkan alis sejenak lalu membuang pandangan.
Dasar cowok nggak sopan!
Pertandingan berlangsung sengit. Ada banyak adegan jatuh ataupun tabrak-menabrak. Keisha tidak terlalu memahami aturannya—ia hanya tahu menghitung gol. Skor kini sudah 8-5, dipimpin oleh tim Fairel, SMA Dirgantara.
Keisha tidak sadar kalau dari tadi ia memfokuskan diri memandangi Erlangga yang terguling di lapangan karena tersandung kaki lawannya. Erlangga berjalan sedikit tertatih menuju bangku penonton menuju Keisha dan Felish.
Keisha mendongakkan kepalanya menatap Erlangga. Ia menoleh ke kiri dan kanan. Memastikan bahwa cowok ini memang sedang menatapnya—bukannya sang adik yang sekarang duduk di sebelah Keisha. Hal itu sama sekali tidak membuat Keisha tenang. Cowok itu berwajah kaku, bernada datar pula meskipun kadang omongan dan gaya bicaranya menyebalkan, tapi tiap kali mata itu melihat Keisha rasanya hati Keisha bukannya datar tapi malah bergelombang. Antara merasa kikuk dan … entahlah.
Baru saja ia ingin bersuara, cowok itu sudah membuang pandangannya. Erlangga lalu mengambil handuk dari tas ransel yang terletak di dekat kaki Keisha. Ia mengeluarkan sebuah handuk berwarna hitam kemudian mengelap bulir-bulir keringat di sekitar wajah dan lehernya. Erlangga kemudian mengeluarkan sebotol air mineral. Membuka tutup dan meminumnya beberapa teguk. Yang dilakukannya selanjutnya adalah mengguyurkan air itu ke atas kepalanya. Membiarkan cairan bening itu mengalir membasahi rambutnya hingga ke leher.
Kegiatan sederhana itu membuat Keisha terpaku di tempat. Matanya menatap tepat ke wajah cowok itu. Napasnya tertahan tanpa sadar, ia meneguk liurnya dengan susah payah. Hatinya mengumpat betapa memikatnya cowok di hadapannya ini. Ditambah saat laki-laki itu menggelengkan kepala dengan gerakan cepat, bermaksud mengeringkan rambutnya. Ia menaikkan alisnya saat cowok itu selesai dengan kegiatannya. Memberikan senyuman setengahnya yang membuat Keisha lagi-lagi terpaku. Erlangga lalu mengacak-acak rambutnya asal.
Sialan! Apakah cowok ini tidak sadar kalau gayanya yang barusan itu membuatnya ganteng keterlaluan? Ataukah dia memang sudah tahu, sehingga sengaja melakukannya di hadapan Keisha? Kalau memang iya, terkutuklah si Erlangga ini. Karena Keisha benar-benar nyaris mencair hanya dengan melihat adegan yang hanya berdurasi sekian detik itu.
Keisha menghirup napas pelan, berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sadar, Kei. Dia ini abangnya Felish!
Baru saja niatnya berhasil, ia sudah tidak tahan dan kembali menoleh pada Erlangga yang masih berdiri di hadapannya. Bermaksud meneguk habis minumannya. Karena tidak tahan akhirnya Keisha menggapai tangan cowok itu.
“Kalau mau minum duduk dulu. Nggak baik minum sambil berdiri. Harus ya gue ingetin terus? Bosen gue ngomongin ini mulu,” ujarnya sambil menarik cowok itu agar duduk di sebelahnya—di sebelah Felish tepatnya.
Erlangga menaikkan alisnya. Melirik ke arah tangannya yang tadi disentuh Keisha.
“Perasaan tiap kita ketemu lo selalu narik-narik gue ya, suruh duduk di samping lo?”
Keisha mengernyit, menatap cowok itu dengan galak. Cara Erlangga menjelaskan keadaan mereka malah memancing kesalahpahaman.
Keisha tidak berkomentar—untungnya Felish seperti tidak mendengar ucapan Erlangga. Ia melirik ke sebelahnya. Melihat Erlangga yang sedang melepaskan sepatu—yang syukurlah tidak ada bau kaki. Erlangga menggerak-gerakkan pergelangan kakinya.
“Kaki lo nggak apa-apa, Bang?” tanya Felish cemas.
“Nggak apa-apa. Paling keseleo dikit. Ntar juga sembuh.”
“Beneran?”
“Iya. Duh, enak deh ya kalau dikhawatirin adik begini. Bikin adem.”
Erlangga tertawa sambil mengacak rambut Felish. Ia melemparkan handuknya ke muka Felish. Yang dibalas Felish dengan omelan panjang betapa jorok sikapnya.
Keisha hanya diam. Tadinya ia memang mau bertanya, tapi sudah diwakilkan oleh Felish. Jadi, tidak ada yang perlu ia katakan lagi.
Lima belas menit berlalu, dan cowok di sebelahnya tidak mengatakan apa-apa. Baru saja ia memikirkannya, Erlangga sudah mengulurkan botol minumnya pada Keisha. Memintanya untuk memeganginya sebentar selagi ia membongkar tas untuk mencari baju ganti, tanpa mengucap sepatah kata pun.
“Kalian cuma main satu pertandingan, ya?” tanya Felish.
“Iya. Gue sih yang cuma ikut satu pertandingan. Nggak tahu kalau ntar Fairel mau nambah durasi.”
“Ditambah aja, deh. Nggak apa-apa juga.”
“Ckckck. Dasar bocah! Bilang aja kalau mau melototin cowok lo itu,” ejek Erlangga. Felish hanya tertawa, kembali memandangi Dala di dalam lapangan.
Erlangga mengeluarkan jaketnya, menyampirkannya di lengan Keisha seenak jidat. Lalu ia kembali merogoh tas, mencari baju ganti. Setelah mendapatkannya, barulah ia mengambil kembali benda-benda yang sudah dititipkannya pada Keisha.
Keisha memandanginya tak habis pikir dengan mata melebar. Memangnya dia tiang jemuran? Sampai semua disampirkan padanya?
Namun, Erlangga tidak kelihatan terganggu. Cowok itu hanya tersenyum geli.
“Makasih, ya,” bisiknya pelan selagi ia mengambil botol minum dari tangan Keisha.
Erlangga bangkit. Agak menjauh dari bangku penonton untuk bisa berganti baju. Keisha bersyukur ia masih cukup waras untuk tidak bersalin di hadapannya. Cewek itu menoleh menatap Felish. Apa ia tidak tahu kelakuan kakaknya tadi itu?
“Kira-kira futsal sama basket enakan main yang mana, ya?” tanya Felish acak.
“Hah?” Keisha menyahut dengan bodoh.
“Basket kayaknya lebih susah, deh. Waduh, Kei, hati-hati ya lo. Kan nanti UTS olahraga bakal ambil nilai basket.”
Keisha memandang ke lapangan. Ah, benar. Pelajaran olahraga.
“Mati deh gue! Bosen gue kalau harus ngemis nilai lagi. Apalagi ke Pak Dimas. Dia kan jahil banget. Bisa-bisa dia ngerjain gue dulu baru bersedia ngasih nilai. Itu pun sebatas KKM doang,” keluh Keisha.
“Gue mau sih ngajarin lo, tapi lo tahu kan kalau kemampuan gue juga masih standar.”
“Iya, gue ngerti kok, Fel,” sahut Keisha lemas.
“Coba aja minta tolong Fairel. Siapa tahu dia mau,” usul Felish.
“Terakhir gue minta ajarin olahraga, si Fairel gue injek, sampe dia keseleo gegara jatuh dan hidungnya mimisan karena kena bola nyasar dari gue.”
Felicia menahan tawa. Sungguh, konyolnya keterlaluan. Ia ingat saat itu. Baru kali itu Felish tahu bahwa voli bisa jadi olahraga berbahaya di tangan Keisha. “Kenzie coba, deh,” usulnya lagi.
“Dia bukannya bakal ngasih solusi. Yang ada ngasih ajaran nggak sesuai teori.”
Felish tak bisa membantah. Kenzie memang tidak pernah menuruti teori. Cowok itu punya pandangan sendiri terhadap semua hal. Dan punya cara tersendiri untuk menyelesaikan sesuatu.
“Juro deh, Juro.”
“Kalau sama Juro mah bukan belajar basket, tapi les MIPA!” Keisha bersungut, sementara Felish tertawa. Tidak bisa lagi untuk tidak setuju. Profesor satu itu memang bukan bidang olahraga. Sahabat Felish satu itu otaknya memang encer bukan main kalau untuk urusan akademik khususnya pelajaran MIPA, tapi kalau olahraga, tidak masuk hitungan. Juro hanya bisa berkelahi dengan baik. Tidak dengan olahraga.
“Eh, omong-omong soal basket, Bang Angga jago basket, lho,” ujar Felish seolah baru saja teringat sesuatu.
Keisha menoleh bingung. “Hah?”
“Bang Angga. Lo mau nggak kalau diajarin dia?” tawar Felish.
Keisha berpikir cepat. Diajarin Erlangga? Nggak-nggak-nggak.
Mending dia belajar sendiri, deh. Perangai Erlangga saja sudah random banget gitu. Belum lagi cowok itu suka sekali menjahili orang. Bisa-bisa dia cuma mau mengerjai Keisha saja di setiap kesempatan. Itu mah namanya mencemplungkan diri ke lubang kesusahan!
“Nggak deh, Fel. Nggak usah. Lagian kan ganggu waktu libur Bang Erlangga juga. Gue bisalah nanti belajar sendiri,” tolak Keisha.
“Hah? Ganggu gue? Kalian ngomongin gue?” tanya Erlangga yang tiba-tiba sudah datang entah dari mana. Cowok itu sudah bersalin dari seragam mainnya yang sudah kuyup karena keringat.
“Bang, Abang jago main basket kan, ya?” tanya Felish semangat.
“Fel, nggak usah,” sela Keisha berusaha menahan.
“Lumayan, sih. Kenapa emang?”
“Ajarin Keisha main basket, dong. Yang standar aja. Ntar kita bakal UTS olahraga praktiknya basket. Keisha g****k banget di olahraga soalnya.”
Kurang ajar cewek satu ini!
Keisha geram. Memang sih, kemampuannya mengerikan di pelajaran olahraga, tapi kan Felish tidak perlu memberitahukan hal itu kencang-kencang pada orang lain seperti itu? Eh, bukan orang lain juga sih, ini kan abangnya. Ditambah lagi, Felish memang mau membantu. Ah, nggak tahu, ah!
“Nggak usah, Bang. Bang Erlangga juga pasti udah punya jadwal liburan kan ya mumpung di Indonesia,” sela Keisha terbata-bata.
“Boleh sih. Kalo sebatas buat lolos UTS praktik kayaknya bisa gue bantu,” ujarnya tanpa merasa perlu mempertimbangkan pendapat Keisha.
“Yeay! Tuh, Kei. Your problem has solved! Nilai lo aman udah!” seru Felish senang.
Keisha melongo memandangi Felish dan Erlangga bergantian. Cewek itu terlihat kelewat tulus hingga membuat Keisha serba salah. Ia memandang Erlangga yang memandangnya dengan tatapan geli. “Tenang ya, Dik. Lo bakal aman kok sama gue,” ujarnya pelan sambil menepuk kepala Keisha.
Aman, apanya yang aman! Yang ada penderitaannya akan dimulai sebentar lagi!