Bab 4 Kelakuan Erlangga

1526 Kata
Keisha makin melongo. Gila! Felish tidak pernah bercerita kalau dia punya pacar, apalagi calon suami. Setahu Keisha, Felicia malah sedang kasmaran dan suka sama Dala. “Teroos, boongin teros!” seru Felish tiba-tiba. Cewek itu sedang menyusun beberapa makanan ke nampan. Datang mendekat untuk sekadar memukul lengan Erlangga dengan gemas sementara Erlangga hanya mengaduh sambil tertawa geli. Ia buru-buru menimang bayi itu perlahan karena khawatir akan benar-benar terjaga. “Ih, kasar!” komentar Erlangga. “Elo sih, Bang! Kok seneng banget sih menebar kebohongan kayak gitu! Kalau ada yang beneran percaya, gimana?!” cecar Felish. “Becandaaa! Astaga! Lo barbar banget sih sama abang sendiri!” protes Erlangga tak terima meski masih tersenyum geli. “Ya abisnya, sih. Kalo itu sampai ke telinga yang salah kan bisa berabe! Ini untung cuma Keisha yang lo kadalin.” “Oh, jadi lo nggak mau ada gebetan lo yang denger, gitu? Berani pacaran lo, ya? Gue aduin Mama, nih.” “Eeehh! Jangan, dong! Kok main ngadu, sih!” Keduanya berdebat singkat. Erlangga masih mencuri pandang pada Keisha sembari meladeni amukan adiknya, sementara Keisha hanya memandangi keduanya dalam diam. “Oh ya, Bang. Kenalin, sahabat gue, Keisha. Kei, ini Bang Erlangga. Abang gue.” Felish memperkenalkan kedua orang itu dengan benar. Erlangga mengulurkan tangan yang disambut oleh Keisha hanya demi formalitas. Karena ia memang sudah kenal duluan dengan Erlangga. “Terus ini anak siapa?” tanya Keisha. “Adik sepupu gue. Cuma emang lebih sering main di sini karena ortunya sibuk. Kurang lebih kayak gue, sih. Rumahnya itu di sebelah rumah gue,” jelas Felish sambil menunjuk ke arah sebelah rumah. “Lo nggak bilang kalau abang lo pulang,” sela Keisha. Tidak terima karena tidak diberitahu. Yang ia tahu Abang Felish memang sedang belajar ke luar kota. “Ya abisnya Bang Angga di luar negeri terus. Gue juga mau ngenalinnya nggak bisa karena nggak ketemu langsung sama lo. Ini kebetulan aja dia lagi libur,” jelas Felish tidak enak hati. Keisha menahan kaget. Salah, bukan luar kota, tapi luar negeri! Ya Tuhan, dia selalu lupa kalau temannya ini anak konglomerat. “Temen lo rame ya di atas?” tanya Erlangga. “Iya, mau ikut naik juga, nggak? Sekalian dong bantuin tugas kita. Oh ya, Abang kan pinter bahasa Inggris, ntar tolong buatin naskah drama bahasa Inggris kita, ya!” pinta Felish dengan manja. Matanya berbinar, membuat wajah yang memang sudah cantik itu tampak kian menggemaskan. Orang normal tidak akan tega menolaknya. “Nggak usah manja, deh. Inggris lo kan juga bagus,” balas Erlangga. Keisha refleks menatap sengit padanya. Beraninya ia menolak permintaan Felish yang sudah memohon sepenuh hati itu. Erlangga tersentak, menatap ngeri pada Keisha yang memandangnya dengan tatapan permusuhan. Hii, kenapa cewek ini? Lapar? Orang lapar biasanya memang jadi lebih ganas, kan? “Yaah, kan gue emang pengin dibantuin. Bukan karena nggak bisa,” balas Felish sakit hati. “Ya udah, ntar gue bantu ngoreksi hasil kerja kalian aja,” tukas Erlangga akhirnya, mengambil keputusan paling adil. Felish bersorak. Lalu kembali memilah makanan ringan untuk jamuan mereka. Ia memanggil seorang pegawai untuk membawa satu nampan penuh itu. Sementara ia sudah membawa nampan yang lain dan berjalan ke atas. “Rambut lo nggak dikuncir hari ini.” Keisha menoleh kaget. Memastikan apakah suara itu memang ditujukan padanya. Ia menatap Erlangga yang memandangnya sambil tersenyum geli. “Nggak, dingin,” balas Keisha asal, urung melangkah pergi. “Ya udah, sana makan. Ntar lo kelaparan, lagi. Terus gemeteran.” Erlangga mengingatkan. Ia membuka kulkas. Mengambil sebotol air putih dingin lalu meletakkan ke meja. Berjalan mengambil gelas lalu turut meletakkannya di meja. Ia menuangkan minuman. “Gue nggak gemeteran,” elak Keisha sebal. “Waktu hujan itu lo gemeteran.” Keisha diam. Tak lagi bisa menyangkal. Ia memang gemetaran saat itu. Tak hanya gemetar, ia juga sesak napas. Pusing. Berkeringat dingin. Dan ia tidak suka orang lain membahas itu dengannya. Tangan Keisha terangkat, menahan gelas Erlangga yang sudah menyentuh bibir. Ia menarik benda itu dengan kasar hingga sebagian airnya tumpah. Keisha meletakkan kembali gelas ke meja. “Bukan urusan lo,” balas Keisha dingin. “Dan tolong ya, kalau minum itu duduk. Kan gue udah pernah kasih tahu!” Keisha menatap Erlangga dengan sebal. Keisha berbalik, ingin menyusul Felish. Namun, seseorang mencekal tangannya hingga ia terpaksa berhenti lagi. Erlangga menahannya. Lalu tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh jidat Keisha. “Nih, buat lo. Diminum. Biar lo nggak kepanasan terus.” Keisha menerima gelas itu bagaikan anak yang patuh, tiba-tiba linglung. Erlangga bahkan sempat memujinya, “Pinter,” dengan pelan sebelum cowok itu benar-benar hilang, kembali ke ruang tengah. Jika saja ia lupa diri bahwa ini adalah rumah orang—alias sultan yang bermartabat—ia akan langsung meneriaki cowok itu atau malah menyiramkan air ini ke mukanya—yang ternyata adalah anak sultan yang bermartabat itu. “Agh!” Sambil mengentak kesal Keisha menyusul Felish ke lantai dua. Sementara Erlangga hanya tertawa geli. *** Semua murid tampak bersiap-siap dengan seragam olahraganya karena kelas memang akan dimulai dengan pelajaran olahraga. Para murid bersiap turun untuk menuju ruang ganti yang terletak di dekat lapangan futsal di sebelah kantin. Beberapa bahkan sudah berlari karena bersemangat dengan jam bebas seperti olahraga. Dan seperti biasa, Keisha tampak datar-datar saja. “Nggak usah nelangsa gitu kenapa sih, Kei? Segitu nggak sukanya lo ya sama olahraga? Kita udah naik kelas dua kok, ntar kelas tiga juga udah mulai libur kelas olahraganya,” hibur Fairel. Ia masih memakai celana abu-abunya. Kemeja putihnya sudah ia lepaskan. Menyisakan kaus putih polos yang membuatnya terlihat keren. Astaga, ternyata pesona cowok ini memang kuat banget. Ia berjalan bersama Keisha menyusuri koridor di lantai dua lalu menuju tangga yang terletak di sebelah kelas XI IPA 3. Keisha bisa melihat beberapa kepala yang melirik mereka dari balik jendela. Cewek-cewek yang hanya ingin memandangi Fairel, atau menatapnya dengan iri. Keisha bingung, ia tidak tahu, entah kurang jelas apa lagi ia memperlihatkan bahwa mereka hanya sahabat. Fairel tampak biasa saja. Ia memakai baju olahraganya sambil berjalan di samping Keisha. “Aduh, Rel. Jangan pakai baju sambil jalan! Nggak baik,” Keisha menggerutu sambil menarik baju Fairel turun, menutupi kaus putihnya. “Ya Tuhan, Keisha sayang, gue cuma pake baju aja. Apa salahnya?” Fairel bertanya dengan nada nyaris gila. Sudah hampir enam tahun dan Fairel masih merasa heran. Dalam satu hari saja, pasti ada kelakuan Fairel yang tidak benar di mata Keisha. Jangan melakukan ini, jangan melakukan itu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Fairel kadang heran, bagaimana bisa Keisha mengetahui segala mitos larangan itu sampai segitu banyaknya. “Kata Nenek gue, nanti lo susah gapai cita-cita. Kenapa nggak nanti pas di ruang ganti aja? Atau pas di kelas tadi? Jangan sambil jalan.” Keisha melanjutkan langkahnya sambil lagi-lagi menasihati Fairel. Tidak peduli cowok itu sudah nyaris memukulnya karena geram. Ia sibuk menarik-narik tangan Fairel yang kini menjepit ringan lehernya.  “Kadang ada saatnya gue pengin banget gebukin elo terus ngelempar lo ke dalam sumur. Ya kayak begini, nih. Saat-saat begini.” Fairel melepaskan leher Keisha dari kurungan lengan besarnya, ia lalu memandangi cewek itu dengan tatapan takjub sekaligus geli. Sementara Keisha hanya terbahak. Mereka sampai di lantai dasar. Berjalan ke bagian belakang sekolah menuju lapangan futsal, basket, dan voli. Berhenti dan duduk di bangku di depan ruang ganti cewek dan cowok yang terletak bersebelahan. “Terus kenapa lo nggak jadi gebukin gue?” “Dih, emang gue cowok apaan ya pake gebuk-gebuk cewek segala. Mana ceweknya macam elo, lagi. Nggak guna banget.” “Sialan! Lo nggak gebukin gue, tapi lo gebukin hati cewek-cewek yang lo PHP-in itu. Sama aja, Dodol!” “Big no. It’s a different case. Dan nggak usah lariin topik ke selir-selir gue segala. Emang selama enam tahun ini gue pernah gitu mukul elo? Nyubit elo? Gebukin elo? Paling jauh juga gue bakal kayak tadi aja, atau yah gue bakal sentil jidat lo doang. Itu pun kalau lo emang udah kelewat emak-emak sampai bikin gue pengin gila.” Keisha terbahak. Tidak tahan melihat ekspresi Fairel yang benar-benar frustrasi. Sementara Fairel cuma memandangnya jengkel. “Ya udah, gue ganti seragam dulu, deh. Nanti Pak Dimas ngamuk-ngamuk sama gue. Gue bener-bener nggak sanggup kalau disuruh lari-lari keliling lapangan lagi gara-gara telat,” ungkap Keisha sambil bangkit dan berjalan ke ruang ganti. “Besok lo mau ikut nonton gue main? Kenzie mau main. Lawan anak SMA Pelita Bangsa. Kayak biasalah,” Fairel berujar sebelum Keisha memasuki lorong ke ruang ganti cewek. Fairel akhirnya menawarkannya juga karena Kenzie terus-terusan memintanya untuk mengajak Keisha datang. Cowok itu menolak main kalau tidak ada Keisha—padahal jelas ia kepengin banget main. Dan Kenzie dengan menggelikannya malah sok gengsi dan malu-malu kucing buat ngajak Keisha nonton. Alasan tidak berdasar, karena ia tidak perlu takut malu gara-gara ngode, soalnya Keisha benaran tidak akan peka dengan kode lemah macam itu. Wong selama ini aja Keisha masih buta, padahal jelas kode Kenzie sudah seterang dan sekuat itu. Keisha berbalik kemudian menyandar ke dinding. “Boleh sih, jam berapa?” Tuh kan, sudah Fairel bilang kalau Keisha ini tidak akan peka sama sekali. “Jam tiga sore.”             “Oke, nanti gue ajak Felish. Dia pasti mau kalau tahu si Dala bakal main juga.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN