Aku tak pernah menyangka bahwa sore ini akan jadi hari yang sangat berarti dalam hidupku. Dengan kapasitas otakku yang masih kecil khas anak berusia empat tahun, dan segala ketidaktahuanku tentang hidup. Tak peduli betapa butanya aku saat itu, aku masih bisa melihat semuanya.
Bajuku basah karena cipratan air yang becek. Tak jauh dariku, kondisi Kenisha, kakak kembarku, tak jauh berbeda. Jejak tanah dan air kotor tertinggal di bajunya yang serupa dengan milikku. Gaun terusan berbawahan mekar yang lucu dengan motif polkadot berwarna merah.
Gelak tawa kami masih tersisa selagi kami memasuki halaman rumah nenek. Ayah mengangkat dan mendudukkanku di kursi teras. Menepuk-nepuk kaki dan bahuku dengan perlahan. Mencoba membersihkanku seadanya. Tapi tangan dan tubuhku terlalu bandel hingga lagi-lagi mencoba menjangkau Kenisha yang ditarik oleh Bunda. Aku gemas ingin mengambil boneka yang ada dalam genggamannya.
“Udah selesai ya waktu mainnya.”
Bunda memberitahu. Aku merasa ia juga sedang mengingatkanku untuk berhenti. Menyuruhku untuk berhenti. Tapi aku tidak tahu harus berhenti dari apa. Kami hanya bermain-main kecil. Kami tidak kelelahan. Kami hanya berlari dengan bergandengan tangan. Dan bersama-sama membangun istana yang megah dari tumpukan tanah dan rumput di halaman rumah nenek yang luas. Oh, aku juga bertemu dengan pangeran yang jahat. Mulutnya kasar, tapi ia tadi berbaik hati untuk memakai payung berdua denganku. Di rumah nenek tadi sedang gerimis. Kenisha tak mau berbagi payung denganku. Aku menyesal tidak bawa payung.
“Bunda, payung Keisha di mana? Ketinggalan di rumah, ya?” Aku bertanya, tapi Bunda tidak menjawabku.
“Iya. Kan payungnya Kei tinggal di kamar.” Kenisha yang menjawab pertanyaanku.
“Ini kena apa? Kamu jatuh?” Bunda malah bertanya pada Kenisha sambil memperhatikan lututnya yang agak lecet. Bekas dari jatuh menubruk aspal saat tadi kami keluar rumah.
“Oh, ini tadi aku didorong Keisha. Tadi ada sepeda, Bunda.” Kenisha menjawab dengan suara nyaringnya secara lancar. Ia bahkan sudah bisa menyebutkan huruf R tanpa tersangkut. Sementara aku masih seringkali tersendat dan berubah jadi L.
“Lho? Kenapa Kei dorong kamu?” Bunda berteriak. Tidak. Mungkin dia panik. Tapi aku tidak tahu, kenapa dia panik? Aku tidak lihat ada penculik atau penyihir jahat di dekat sini. Kenisha juga tidak apa-apa.
“Iya. Abisnya ada sepeda. Kami dikejarl sepeda, Bun. Kenceng banget, Bun. Di jalan besarl yang di depan itu, lho.” Aku menyahut tidak mau kalah. Ingin mengatakan dengan keras bahwa tadi lariku lebih cepat daripada Kenisha yang tertinggal di belakang.
“Kenapa kalian malah main ke jalan raya? Nanti kalau ditabrak, gimana? Diculik orang jahat, gimana?” Suara Bunda makin besar. Telingaku sampai sakit. Apa Bunda sudah pernah ketemu orang jahat? Kita harus tangkap orang jahat bersama-sama kan? Tapi … aku takut lihat Bunda marah.
“Bunda, kami cuma ngambil bunga Mama Savero di depan. Baru mekar tadi. Cantik, Bun.” Kenisha menjawab lagi. Bunda masih berusaha membersihkan baju dan wajah Kenisha yang kotor.
“Nggak! Besok-besok kalian nggak usah main ke jalan lagi. Gara-gara kamu Kenisha jadi jatuh dan luka.” Bunda berkata lagi. Bunda mungkin marah, makanya dia mengomel. Aku pun tidak marah karena diomeli. Kata Ayah, itu tandanya sayang.
“Tapi itu cuma luka dikit, Bun. Nggak sakit. Ya kan, Sha?” Aku bertanya pada Kenisha. Kenisha mengangguk cepat-cepat.
“Apanya yang nggak sakit? Kenisha pasti nggak berani bilang karena takut Bunda marahin kamu.” Bunda marah dan tidak mau menatapku.
Padahal aku mau mengadu kalau lututku sakit. Sepertinya Bunda nggak lihat karena gaunku kebesaran. Tapi lututku sakit. Pasti luka yang tadi berdarah lagi. Aku takut. Lukanya besar karena tadi aku terserak di aspal waktu aku dorong Kenisha. Kalau enggak, nanti Kenisha yang ketabrak. Aku nggak mau. Tapi aku nggak tahu kalau yang ditabrak malah aku. Lukanya perih. Sakit. Tapi aku nggak berani bilang.
“Ayah, Bunda kok marah-marah terus?” Aku menggoyang tangan Ayah yang berat. Tapi Ayah cuma tersenyum dan mengelus kepalaku pelan-pelan. Rasanya nyaman. Tapi lututku masih sakit. Aku mau menangis tapi takut.
“Nggak apa-apa. Bunda sayang sama kalian.”
Iya. Keisha juga sayang Bunda. Sayang Ayah. Sayang Kenisha. Sayang Bang Gala.
“Kenisha, kita pergi sekarang, ya.” Bunda berdiri. Menggendong Kenisha. Padahal Kenisha berat.
“Kita pulang, ya? Asyiik!” Kenisha tertawa sambil digendong.
“Yeay! Aku bau nggak, Bun? Panas. Mau mandi.” Aku berseru.
Tapi takut kena air. Lukaku sakit. Sambungku di dalam hati. Takut Bunda dengar. Aku mau berdiri, tapi susah. Aku menunggu ayah mengangkatku juga. Tapi Ayah cuma langsung berdiri dan tidak menggendongku.
“Keisha tunggu di sini, ya. Nanti kami jemput lagi.” Ayah berjongkok lagi. Mencium pipi lalu keningku. Aku diam. Aku tidak paham.
Aku melihat ke arah Bunda. Tapi Bunda masih diam sambil gendong Kenisha. “Kok gitu?” Aku bertanya.
“Nanti kami jemput lagi ya, Sayang.” Ayah bicara lagi.
Aku bingung. Aku masih tidak paham. Kakiku sakit, Yah, jangan dipegang.
“Kamu jangan nakal. Baik-baik di sini. Kami cuma pergi sebentar. Nanti dijemput lagi ya, Kei.” Bunda bicara, masih berdiri. Dia tidak mengelus kepalaku. Atau meniup lukaku. Dia juga tidak melihatku. Dan aku masih belum paham.
“Kei ikut aja, ya? Kok Keisha nggak boleh ikut? Kalian mau jalan-jalan ke mana?” Aku bingung. Aku penasaran. Aku masih mau main.
“Nggak boleh. Kamu di sini aja. Jangan ngelawan dan jadi anak baik.” Bunda kayaknya masih marah. Dia tidak melihatku lagi. Tapi kini gentian Ayah yang memelukku.
Bunda berjalan keluar ke halaman rumah nenek. Terus berjalan jauh.
“Bunda ….” Aku memanggil. Tapi Bunda nggak dengar.
Ayah masih memelukku. Aku tidak bisa berdiri.
“Bundaaaaa ….” Aku teriak. Supaya Bunda bisa dengar. Tapi Bunda nggak dengar.
Aku takut. Kakiku juga sakit. Tapi aku harus bangun kalau tidak mau ditinggal. Bunda pasti menungguku jalan sendiri.
“Bundaaaaaaa!” Aku mulai menangis keras. Aku takut. Aku nggak mau ditinggal. Tapi Bunda masih nggak dengar.
Ayah hanya diam. Kemudian Ayah berdiri. Lalu berjalan menyusul. Aku berdiri. Berjalan tapi tersandung karena kakiku sakit. Aku berlari tapi Bunda nggak berhenti.
“Bunda ke mana? Kok Keisha ditinggal? Keisha ikuuut ….” Aku berteriak lagi.
“Bunda, Keisha nangis, Bun. Turunin Kenisha! Kenisha harus peluk Keisha.” Kenisha meronta ingin turun. Tapi Bunda malah semakin berlari. Kenisha menangis. Aku juga menangis. Tapi Bunda tetap nggak berhenti.
Aku berlari. Sekencang-kencangnya seperti saat aku dikejar sepeda. Tapi aku ketinggalan.
“Bundaaaaa …! Ayaaaahhh! Tungguin Keisha … kalian mau ke mana …?”
Aku jatuh. Kakiku tambah sakit lagi. Polkadot merahnya bertambah karena terkena darahku. Lututku sakit. Aku tak bisa mengejar. Biasanya Bunda akan balik lagi kalau tahu aku ketinggalan. Tapi aku takut. Aku sendirian.
Kemudian ada Kakek dan Nenek yang menarikku bangun. Aku meronta. Meraung-raung sambil memandangi mobil yang sudah tidak kelihatan lagi.
Bunda, Keisha masih di sini. Keisha ketinggalan …
Bunda, Ayah, kenapa Keisha nggak diajak?
Aku berteriak. Menjerit-jerit. Meronta. Menangis kencang. Tapi mereka nggak dengar. Lututku sudah tidak sakit. Tapi kini dadaku sakit. Aku menangis sekencang-kencangnya. Meminta mereka kembali. Memanggil mereka supaya mendengarku. Tapi mereka nggak dengar.
Aku menunggu berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tapi mereka tidak pernah menjemputku lagi.
Saat itu aku tidak tahu bahwa sejak saat itu mereka sudah membuangku ke dalam neraka.