Suara langkah yang berderap memenuhi sepenjuru tangga. Keisha berlari, dengan mulut terus menyemburkan u*****n pelan, ia tidak ingin wanita di dapur, yang kebetulan adalah ibunya, mendengarnya.
“Kenisha sialan! Beraninya dia berangkat sekolah nggak bangunin gue!” sungut Keisha sembari sibuk memasang dasinya dengan benar. Sulit. Karena dirinya bahkan tidak berhenti bergerak dan melakukan hal lain. “Argh! Dasar cewek jahat!” jeritnya yang kemudian langsung terpotong begitu melihat kehadiran Bunda di ruang makan. Raut wajah Keisha berubah datar.
“Kenapa nggak berangkat sama Kenisha?”
Ibunya menghampiri setelah sebelumnya sibuk mengisi kulkas dengan sebotol besar sirup yang baru dibuat. Mengikuti Keisha yang kini sedang berlari ke pintu depan.
“Kenisha nggak ngebangunin,” jawab Keisha datar. Masih sibuk bersiap.
“Nggak mau bawa bekal, Kei?” Bunda bertanya perlahan, menawarkan sekotak makanan yang sudah dipersiapkannya sejak tadi.
Keisha terdiam agak lama. Ia lalu menggeleng, tanpa benar-benar menatap wanita itu. “Nggak usah, Keisha sarapan di sekolah aja.”
Ibunya mengembuskan napas pelan. Tersenyum sambil memberikan tas ransel Keisha yang berat. Dan untuk yang satu itu, ia bersyukur bahwa Keisha tidak mendorongnya menjauh, seperti yang selama ini dilakukannya. “Hati-hati, ya. Jangan lupa makan.”
“Ya udah, Keisha pergi dulu, ya. Assalamualaikum.” Tanpa usaha berpamitan yang lain, Keisha berlari meninggalkan rumah.
“Waalaikumussalam.” Wanita itu menjawab lirih. Menatap Keisha yang sudah menjauh. Sampai hari ini pun, tampaknya Keisha masih membencinya.
***
Keisha bergerak memunguti sampah di halaman sekolah dengan gontai. Bersama dengan keempat anak lain, ia harus berlapang d**a untuk melaksanakan hukuman dari Pak Bandi karena keterlambatannya tadi pagi. Tak peduli dengan cuaca yang sudah mulai panas terik. Keringat sudah mulai membasahi tubuhnya, dan ia luar biasa haus.
“Kei, ini minum. Lo masih di sini aja. Makan dulu, yuk!” Kenzie, siswa laki-laki dengan tubuh jangkung dan paras tampan namun menyebalkan itu menghampiri Keisha sambil berlari. Keisha membalasnya dengan merengut, berusaha menahan marah.
“Lo kenapa malah di sini? Belajar sana!” Keisha berteriak gusar namun tetap mengambil sebungkus es the yang disodorkan cowok itu.
“Nggak, ah! Gue lebih kangen sama lo daripada sama Bu Rosa,” jawabnya tidak masuk akal. Cowok itu lalu berjongkok di teras kelas. Hampir pukul sepuluh, bel istirahat akan berbunyi tak lama lagi. Namun, sepertinya bel Kenzie sendiri sudah berbunyi sejak tadi.
“Ayo makan dulu. Perut lo aja udah bunyi-bunyi.”
“Nggak bisa. Pak Bandi bilang hukuman gue sampe jam sepuluh.” Keisha menolak dengan tidak rela.
“Udahlah. Pak Bandi kan nggak liat. Kita makan dulu, baru ntar kerja lagi.”
Keisha melihat keadaan sekitar. SMA Dirgantara tampak tenang di saat jam pelajaran berlangsung. Hanya terlihat sedikit anak yang berjalan di lingkungan sekolah sambil membawa tumpukan buku. Suara gemuruh terdengar dari dalam deretan kelas IPS, namun situasi tampak aman terkendali.
Sudah hampir jam sepuluh, jadi sepertinya tidak akan masalah jika ia beristirahat sedikit lebih cepat.
“Ya udah. Oke, deh. Gue emang laper banget.” Tanpa ragu-ragu Keisha lalu menghampiri Kenzie. Cowok itu melingkarkan tangannya di bahu Keisha dengan ringan, membuat Keisha bagai tertimpa segalon air.
“Ken, berat!”
“Numpang dulu. Tangan gue capek, abis nulis banyak banget tadi sama Bu Rosa.”
“Alesan banget, sih. Sejak kapan juga lo mau nyatet catetan Fisika dari Bu Rosa?”
“Bukan gitu. Lo nggak tahu aja gue jadi tukang hapus papan tulis dari pagi. Aldo ngamuk sama gue gara-gara kemarin.”
Keisha refleks tertawa begitu nama si Ketua Kelas perfeksionis itu disebut. Tanpa banyak protes akhirnya ia mengizinkan Kenzie merangkulnya hingga ke kantin.
Kantin kelas dua belas tak begitu ramai saat mereka tiba. Hanya ada sedikit teman-teman Kenzie—alias murid-murid badung—yang berani nongkrong di sana saat jam pelajaran masih berlangsung. Kenzie menyapa dengan antusias. Tanpa meninggalkan Keisha terlalu jauh, ia kemudian dengan sigap mencarikan cewek itu tempat duduk.
“Fairel sama yang lain masih di kelas, ya?” tanya Keisha sembari menunggu pesanan roti bakarnya selesai.
“Iya. Kasian nanti Bu Rosa ditinggalin kalau semuanya pada nemenin lo,” jawab Kenzie asal.
“Lo apaan, sih? Kesel banget sama Bu Rosa hari ini?” Keisha tertawa.
“Nggak usah dibahas, deh. Lo nggak tau aja gimana si Ibu niat banget nyiksa gue pake tugas-tugas dia.” Kenzie mengibaskan tangannya jengah. Masih merasa dongkol karena tadi Bu Rosa memang terus-terusan menyuruhnya mengerjakan soal di papan tulis. Tidak cukupkah dia jadi penghapus papan tulis saja? Ibu itu keterlaluan!
“Kalian ngapain di sini?” Seorang laki-laki dengan pakaian dinas olahraga kini menghampiri mereka. Menatap dengan pandangan menyelidik.
“Sarapan dong, Pak. Mau belajar kan butuh makan. Apalagi tadi kami dapat tugas tambahan dari sekolah.” Kenzie lagi-lagi menjawab tanpa pikir panjang. Dan jawaban itu tentu tak bisa diluluskan begitu saja oleh Pak Dimas.
“Memangnya sekarang sudah jam istirahat?” tanya guru itu lagi.
Detik itu juga bel istirahat berbunyi. Kenzie menyengir lebar. “Nah, itu belnya udah bunyi, Pak,” sahutnya semangat. Keisha hanya menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
Pak Dimas tidak berkomentar lagi. Ia lalu menghampiri salah satu pegawai kantin, Bu Ratih, dan memesan segelas kopi dan semangkuk tekwan. Tampaknya guru itu juga berniat menyantap sarapannya yang tertunda.
“Oh iya, Kei. Tolong ingatkan lagi para anggota Sispala untuk acara besok, ya. Jangan sampai ada yang terlambat. Nanti malah bikin malu sekolah.” Pak Dimas kali ini menghadap Keisha.
“Iya, Pak. Nanti malam juga saya akan ingatkan mereka agar semuanya bisa lebih bersiap-siap.” Keisha menjawab dengan sopan.
Sebagai senior dari klub ekskul Sispala, Siswa Pecinta Alam, Keisha memang mempunyai peranan penting dalam berjalannya klub itu. Sebagai ketua, Keisha memang bertanggung jawab atas kegiatan klub. Dan Keisha pun melaksanakan dengan senang hati. Ia akan melakukan tugas dengan baik mumpung masih kelas sebelas, karena anak kelas dua belas pasti akan diharamkan dari seluruh kegiatan ekskul karena diharuskan berkonsentrasi menempuh ujian nasional.
“Bagus. Nanti saya juga akan koordinasi lagi dengan Pak Bambang.” Pak Dimas mengangguk puas.
“Ih, Bapak. Nggak sopan. Ini Kenisha, tahu. Bukan Keisha. Main perintah-perintah aja. Tuh liat, dia sampai pucat lantaran Bapak suruh-suruh seenaknya,” seloroh Kenzie tanpa merasa bersalah. Cowok itu menepuk-nepuk bahu Keisha dengan dramatis seolah sedang menghibur. Sementara Keisha hanya menatap cowok itu penuh peringatan karena berani-beraninya mengakali guru.
“Nggak usah nipu saya, Kenzie. Memangnya sejak kapan Kenisha mau jalan berdua-dua sama kamu? Jelas cuma Keisha yang mau-mau aja diajak nakal bareng kamu.” Balasan dari Pak Dimas ternyata tidak terbayangkan. Guru muda itu tampak senang-senang saja berdebat dengan Kenzie.
“Eh, Pak. Sembarangan. Saya kan ngajak Keisha makan. Bukan nakal. Ini juga supaya dia bisa belajar dengan khusyu nanti. Bapak suka banget ya fitnah-fitnah anak polos macam saya.” Kenzie malah makin panas. Kalau saja perdebatan ini disaksikan oleh orang yang tak mengenal mereka berdua, dipastikan bahwa orang itu akan mulai melerai. Nyatanya, ini cuma Kenzie dan Pak Dimas.
“Kalau kayak kamu itu dibilang polos, yang badungnya itu gimana lagi, Kenzie?” Pak Dimas berkata perlahan dan separuh menyindir. Bibirnya nyengir, menandakan bahwa ia sepenuhnya bergurau.
“Pak, ini namanya pencarian jati diri. Berbadung-badung dahulu, bersukses-sukses kemudian. Bapak sok nggak pernah nakal aja. Memangnya dulu Bapak pas SMA nggak pernah bolos? Tampang Bapak mana cocok jadi murid teladan. Kok Bapak bisa jadi guru sih, Pak?” Kenzie bertanya dengan raut wajah polos yang membuat Keisha mencubit pinggang cowok itu karena gemas. Pak Dimas memang tergolong guru muda yang gaul dan bersahabat dengan muridnya. Ia baru berusia akhir dua puluhan dan telah mengajar di SMA Dirgantara sejak empat tahun lalu. Itulah kenapa ia memang lebih dekat dengan para murid, khususnya murid laki-laki. Rasanya seperti diajar oleh kakak sendiri. Namun untuk kasus Kenzie, Keisha merasa kalau Kenzie bukan lagi bersikap santai pada Pak Dimas, tapi malah mendekati kurang ajar. Kepolosan yang rada kurang ajar, lebih tepatnya. Dengan karakter Kenzie yang memang lebih banyak tengilnya, tidak ada guru yang tega marah berlama-lama dengannya. Termasuk Pak Dimas. Keisha curiga jangan-jangan Pak Dimas malah memang menyayangi Kenzie bagaikan adik sendiri.
“Sudah, kamu nggak usah kepo. Urusin aja PR-PR kamu itu. Jangan nyontek Juro terus. Keisha juga, ajarin tuh si Kenzie biar pinter. Besok-besok jangan mau diajakin mojok di kantin. Ke tempat mahal, dong. Duit Kenzie kan banyak.”
“Bapaak!” Kenzie dan Keisha serempak berteriak kesal. Semantara Pak Dimas hanya tertawa. Pak Dimas terkekeh kesenangan kemudian bangkit.
“Ken, kamu nanti bawain kopi sama tekwan saya ke ruangan saya, ya. Nggak pake lama,” pesannya sebelum pergi.
“Enak aja. Saya mau belajar, Pak. Matematika nih, sama Bu Retno. Bapak nggak bisa nyuruh-nyuruh anak merdeka kayak saya seenaknya. Bawa sendiri aja sana, Pak.” Kenzie menolak mentah-mentah.
“Biar saya aja yang bawain nanti, Pak.” Keisha berusaha menengahi.
“Nggak usah, Kei. Biar Pak Dimas bawa sendiri aja. Nanti saya aduin Bu Retno kalo Bapak menghalangi kami berdua buat belajar.” Kenzie sok ingin mengadu.
“Ya sudah, silakan. Nanti sekalian saya bilang sama Bu Rosa kalau kamu bolos pelajaran beliau sambil bawa Keisha juga.” Pak Dimas mencibir dan tertawa puas.
“Pak! Nggak bisa gitulah. Kooperatif dong, Pak. Katanya temen, gimana, sih?” Kenzie tak terima.
“Kopi saya, Kenzie. Kopi saya!” Pak Dimas berteriak sambil melambai. Tidak menoleh dan terus berjalan menjauh. Namun, tawanya masih terdengar.
“Aagh! Iya, Pak. Iyaaaa! Nanti saya bawain sama luwak-luwaknya sekalian!” Sambil mendumel, Kenzie berteriak menyanggupi. Tak lama kemudian, ia menghampiri Bu Ratih saat wanita itu memanggilnya. Memberitahu bahwa pesanan Pak Dimas telah selesai.
“Pak Dimas emang diktator banget jadi guru. Bentar ya, Kei. Gue tinggal dulu.” Kenzie mengedik sekilas kemudian berjalan meninggalkan Keisha yang hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang itu benar-benar punya hubungan yang aneh.
***
Kantin siang itu cukup ramai. Keisha, Aina, dan Fairel sudah duduk di sebuah meja di sudut kantin, lengkap dengan makanan masing-masing yang kini telah tersaji di meja. Kenzie dan Juro duduk di sisi meja yang lain. Kenzie tak berkomentar sejak kepulangannya dari ruang Pak Dimas karena terlalu fokus menyantap nasi goreng.
“Felicia kemana?” Keisha bertanya sambil menyeruput Milo dingin di tangannya.
“Lagi sama Dala. Tuh, di lapangan futsal.”
Keisha memperhatikan Felicia di kejauhan. Tanpa sadar malah melamun. Gadis itu baik, cantik, dan tubuhnya juga bagus. Ia masih bingung kenapa Marcelio Dala Gilang, anak kelas XI IPS 1, itu tidak meliriknya sama sekali.
Keisha mengenyahkan pikiran itu. Ia kini nyaris melemparkan sebotol minuman miliknya kepada Kenzie yang memaksa untuk menyuapinya saat matanya menangkap seseorang tak jauh dari mereka. Orang itu juga balas menatapnya, dengan ekspresi yang terlihat geli.
“Fairel! Rel, tangkepin dia, Rel! KENISHA, WOY! JANGAN KABUR!” Keisha berteriak sementara Kenisha tergelak. Ia berlari ke samping, berlindung di belakang meja yang diduduki oleh para murid kelas sepuluh. Keisha bergerak lincah ke arahnya.
“Kei! Ngapain lo ngejar gue? Gue kan nggak salah apa-apa.”
“Nggak salah apa-apa, apanya! Elo tega banget nggak bangunin gue. Gue jadi telat sekolah, tahu. Untung tadi gue bisa masuk kelas. Mau bales dendam ya, lo?”
“Dendam apa, sih? Salah sendiri elo yang kebo tidurnya. Masa lo nggak denger gue bolak-balik ke kamar lo?”
Beberapa penghuni kantin tergelak. Kenisha juga ikut terbahak. Ia baru saja berniat kabur, tapi tangannya sudah lebih dulu ditangkap Keisha.
“Gotcha!” Keisha tersenyum puas. Sementara Kenisha terdiam di tempat. Keisha menggiring Kenisha agar ikut bersamanya ke meja. Mereka lalu duduk berdampingan. Kenisha mengambil beberapa sendok mie ayam Keisha sementara Keisha menghabiskan minuman. Kedua gadis itu terlihat asyik dengan kegiatannya, tanpa sadar bahwa mereka sudah jadi sasaran perhatian sejak tadi oleh teman-teman lain. Sepertinya sesering apa pun kita melihatnya, dua objek yang sangat mirip tetap saja akan jadi pemandangan yang tak biasa.
“Nah, lo bayarin mie ayam sama minum gue, tuh. Katanya tadi janji,” tagih Keisha.
“Gue janjinya bayarin siomay,” elak Kenisha.
“Hari ini gue makannya mie ayam, bukan siomay!”
“Berarti nggak jadi dong gue bayarinnya.”
“Oh, lo lebih milih gue kempesin ban motor lo?”
“Jangan, dong! Barbar banget, sih. Mentang-mentang lo nggak bisa bawa motor. Kalo iri jangan gitu juga.”
“Gue nggak iri. Gue minta dibayarin makan.”
“Iya-iya, gue bayarin!” Kenisha menjawab sebal. Bergerak memakan lagi sesendok mie ayam Keisha.
“Horeeee. Hari ini kita makan dibayarin Kenisha!” Kenzie bersorak. Disusul teriakan yang lainnya.
“Enak aja. Kenisha cuma bayarin punya gue,” ujar Keisha keras.
“Yah, kok gitu? Nggak adil. Lagian kan kita bilang Kenisha yang bayar. Bukan elo. Kok lo yang sewot sih, Kei?” Felicia melancarkan protes. Membuat situasi menjadi lucu karena orang super kaya seperti Felish tidak mungkin mau repot-repot protes melelahkan begini hanya supaya dibayari jajan yang murah itu.
“Ya emang Kenisha yang bayar, tapi kalo ntar uang dia kurang juga dia bakal pinjem punya gue.” Keisha menjelaskan. Dan kali ini tak ada yang berniat protes. Hanya tersisa Kenzie dan Juro yang melenguh pasrah sementara Kenisha tertawa puas.