Bab 2 Pertemuan

2846 Kata
Keisha berteriak kesal sambil menatap gerbang sekolah. Ya Tuhan! Serius, nih? Dia telat lagi? Dua kali berturut-turut dalam seminggu? Kenapa sih nasibnya sebegini amat?! Sepertinya dia memang benar-benar ketularan badungnya Kenzie. “Lo sih, mandinya kelamaan!” ujar Kenisha bete. “Enak aja. Lo tuh bawa motornya lelet,” balas Keisha tak terima. “Ya udah, lo aja kalau gitu yang bawa motor besok.” “Nggak usah ngejek!” Keisha turun sementara Kenisha menepikan motor. Ia mencoba melihat ke dalam, mengintip siapa yang kira-kira jadi penjaga gerbang hari ini. Melihat wajah Pak Bandi, sontak Keisha memalingkan wajah. Sudah tidak bisa ditawar, tidak akan bisa masuk. “Lo tunggu di luar aja, pesenin makan buat gue. Tadi kan kita nggak sarapan. Gue parkir motor dulu.” Kenisha mengambil helm Keisha, mencantolkan di stang lalu menjalankan motor masuk ke lapangan parkir. Ia memang bisa melewati gerbang paling depan sekolah, tapi tidak akan bisa masuk karena terdapat pagar lagi di bagian dalam sebelum masuk ke gedung sekolah. Keisha melangkah ke warung di sebelah sekolahnya. Mendudukkan diri di kursi depan warung. “Bang Eko, lontongnya dua porsi, ya. Teh manis juga dua,” pesannya pada si penjaga warung. Keisha merebahkan kepalanya ke atas meja. Mengistirahatkan diri yang tiba-tiba terasa lelah. Ia memejamkan mata karena berhadapan dengan sinar matahari terik. Sial! Ini semua gara-gara mimpi sialan itu. Rasanya ia ingin membenturkan kepalanya ke dinding sampai pecah agar semua ingatan itu menghilang dari otaknya. Akhir-akhir ini semua bayangan itu terus mendatanginya. Setiap kali ia melamun atau memejamkan mata. Setiap usahanya selalu berakhir dengan mimpi buruk. Tadi malam ia bahkan baru berhasil tidur pukul tiga pagi!  Menyebabkannya pontang-panting berlarian ke kamar mandi dan melakukan semua ritual paginya dengan kecepatan gila-gilaan. Kenisha yang ia kira bisa diharapkan rupanya juga ikut-ikutan terlambat bangun. Memangnya kembar sampai sebegitunya apa, sampai bangun tidur juga janjian? “Bang, es cappuccino-nya satu.” Suara itu tidak begitu menarik perhatian Keisha pada awalnya. Sebelum kemudian terdengar bunyi kursi ditarik dan cahaya matahari yang tiba-tiba tidak lagi mengenainya. Keisha mendongak. Ia membuka mata, menatap cowok itu tanpa ekspresi. Erlangga duduk dengan tegap, masih menghalangi sinar matahari dari Keisha. Keisha mengernyit. Kenapa juga cowok ini harus bertingkah sok pahlawan dengan menghalau cahaya matahari darinya? “Bisa pindah, nggak?” tanya Keisha datar. “Kenapa? Kursi ini kan kosong.” “Tapi ini kursi gue,” sentak Keisha kasar. “Kursi ini lo bawa sendiri dari rumah?” Hah? “Nggak, kan? Kalau nggak, gue bebas mau duduk di sini atau enggak.” Keisha mendengus sebal, tapi cowok itu tampak tenang-tenang saja. Akhirnya ia mengabaikan. Toh nanti Kenisha akan bisa menyuruhnya pergi setelah cewek itu datang. “Erlangga.” “Siapa?” “Nama gue.” “Yang nanya!” Erlangga—cowok itu—tertawa keras. Ia meletakkan jaket levisnya ke meja lalu duduk dengan nyaman setelah Keisha mengatur postur duduknya agar tidak lagi kepanasan. “Nggak usah galak-galak, Mbak. Gue kan cuma numpang duduk.” Terserah! Keisha mendengus. Tidak diacuhkannya keberadaan Erlangga. Cewek itu lebih pilih memainkan ponselnya saja daripada meladeni orang asing. Karena sama sekali tidak ada yang menarik, ia memasukkan kembali ponselnya ke saku. Melihat ke kiri dan kanan, belum ada tanda-tanda keberadaan Kenisha. Saudarinya itu memarkir motor di mana sih ya, kok lama banget. Keisha mulai gelisah karena laki-laki di hadapannya terus memandanginya. Tidak ada yang bicara, tapi keheningan itu malah membuatnya tidak nyaman. Kruuk! Suara perut Keisha terdengar di tengah kesenyapan. Erlangga menahan senyum meskipun ia pura-pura melihat ke arah lain. Namun, cowok itu akhirnya menatapnya lagi. “Kenapa sih liat-liat gue kayak gitu? Nggak pernah liat cewek SMA telat dan kelaparan, ya?” sembur Keisha galak saat mendapati Erlangga masih memandanginya, membuat mood-nya makin buruk saja. Erlangga akhirnya bangkit, masih sambil tersenyum dan menyeruput es cappuccino-nya. “Ya udah, kalo gitu gue pergi dulu, ya.” “Jangan berdiri,” potong Keisha tiba-tiba. “Hah?” Erlangga bertanya bingung. “Kalau minum jangan berdiri,” ujarnya lagi. Menyinggung Erlangga yang tadi minum sambil berdiri. “Ya udah, kalau gitu gue duduk di sini deh sampe minum gue abis,”ujar Erlangga sambil tersenyum jenaka sementara Keisha tampak masih sebal. “Dadaah. Hati-hati di jalan.” Keisha melambaikan tangannya riang, tampak jelas sedang mengusir. Erlangga tertawa sebelum akhirnya benar-benar berbalik arah dan pergi, tanpa minum, karena tidak boleh minum sambil berdiri, kata cewek itu tadi. Hatinya geli mendengarnya. Ia menggeleng dan seketika berhenti, kembali lagi ke tempat semula, berdiri menjulang di hadapan Keisha, mengubah keputusan. “Btw, itu ikat rambut lo masih ada label mereknya, emang sengaja, ya?” Erlangga bertanya hati-hati, dengan sekuat tenaga menahan senyum lalu berekspresi seserius mungkin. Namun, gagal. Bibirnya berkedut geli. Keisha duduk tegak. Tangannya terangkat ke kepala, memegangi ikat rambutnya. Meraba-raba lalu sontak menariknya lepas. Ia membuang pandangan dari Erlangga. “Nggak, nggak sengaja,” ujarnya sambil merapikan rambutnya asal dengan wajah bersemu. Erlangga hanya tersenyum simpul, mengangguk-angguk. “Oh, kirain.” Cowok itu lalu memutar badan dan melangkah pergi. *** Miss Linda baru saja membagikan kelompok. Suara-suara lenguhan tak puas dan dengungan bisik-bisik mengenai tugas mulai memenuhi kelas. “Santai saja, Anak-anak. Waktu pengerjaannya kan dua minggu. Dramanya cukup yang singkat saja, nggak masalah, yang penting full bahasa inggris,” jelas Miss Linda lagi. “Genrenya apa aja boleh ya, Miss?” tanya Danu. “Boleh, sekreatif kalian,” jawab Miss Linda. “Thriller juga boleh nih, Miss?” Danu memastikan lagi. “Misteri, fantasi, terserah kalian, tapi nggak boleh ada adegan kekerasan ataupun adegan nggak pantas lain, ya. Yang mau dinilai kan kemampuan speaking kalian.” “Wah, asyik!” “Jangan, Miss. Danu mau bikin drama thriller yang dia pura-pura jadi mayat. Jadi, dia nggak perlu ngomong.” Kenzie bercetus asal. “Woy, Ken! Kok lo bilang-bilang, sih?!” Danu menyenggol bahu Kenzie dengan kesal. Suasana kelas lalu dipenuhi gelak tawa. “Nu, Nu, masa thriller, sih? Romance, dong!” usul Fairel. “Nggak bisalah, Rel!” Kenzie menjawab lagi. “Enak aja dia mau main drama romance sama Keisha. Nggak, nggak!” “Lho, emang kenapa? Yang penting Keisha mau. Lo orang luar kelompok nggak usah ikut campur.” Danu membalas ucapan Kenzie dengan usil. “Yee, enak aja. Tetep nggak boleh pokoknya. Lo masih kecil sok-sok mau bikin drama romance. Pacar aja nggak punya!” “Ya justru karena nggak punya pacar, makanya di drama harusnya nasib gue lebih mending, dong. Gimana sih lo?” “Berisik, ah!” Keisha membentak, memandangi keduanya dengan geram. “Gue mending main drama horor deh, biarin gue jadi hantunya.” “Miss, nggak boleh, Miss. Nanti Keisha cuma ketawa hihihihihi doang.” Fairel menimpali. Membuat anak-anak kelas sontak tertawa lagi. Begitupun Miss Linda. “Ya udah, nggak apa-apa kok, Kei. Ntar gue jadi yang ronda,” ujar Kenzie lagi. “Ciiieeeee,” goda Aina dan Felicia berbarengan. Diikuti oleh kor beberapa anak kelas. Tampak senang dengan situasi ini. Separuhnya lagi senang karena waktu belajar tertunda, apalagi kalau Miss Linda juga tampak senang-senang saja, rela molor ngajar. “Lo dari tadi maksa bener deh ya, Orang Luar.” Danu masih tidak mau kalah. “Miss, boleh nggak saya pindah kelompok aja?” Keisha akhirnya menatap Miss Linda dengan raut depresi. Beberapa murid tertawa melihatnya. Miss Linda hanya tersenyum. “Nggak ada pindah-pindah kelompok, ya. Pokoknya kalian akan tampil dengan grup yang sudah saya bagikan,” perintah Miss Linda kemudian. “Nah, tentang tugas silakan dipikirkan di rumah. Sekarang, buka halaman 154. Kita lanjutkan pelajaran yang kemarin.” Miss Linda mengambil alih kondisi dengan luwes. Danu dan Kenzie masih tampak tertawa-tawa entah membicarakan apa. Sebagian di antaranya mulai fokus pada pelajaran. Keisha hanya sempat menghadiahi Kenzie pukulan keras di lengan agar cowok itu bisa sedikit tenang kemudian berusaha memperhatikan penjelasan Miss Linda. *** Keisha melambai pada motor Kenisha yang kini sudah melaju di jalanan. Ia berniat mampir ke toko buku setelah pulang sekolah. Dan Kenisha terlalu berisik dan cerewet untuk diajak ke sana. Ia akan merengek setiap lima menit sekali supaya mereka bisa cepat pulang. Jadi, ia membiarkan Kenisha pulang lebih dulu saja. Keisha sedang berjalan menuju halte saat cuaca tiba-tiba menjadi mendung. Ia menengadah menatap langit. Diam-diam berdoa semoga tidak turun hujan. Keisha benar-benar tidak suka hujan, tapi hujan terlalu menyukainya. Doa Keisha memang tidak dikabulkan. Gerimis datang saat ia berdiri sendirian sambil menunggu angkutan umum. Titik-titik air membasahi kulitnya saat terbawa angin. Namun, bukan itu yang membuat Keisha merinding hingga berkeringat dingin. Kepalanya pusing, dan ia hanya bisa memejamkan matanya rapat-rapat. “Kenisha … Sha, gue butuh lo ….” Ia bergumam pelan. Tangan Keisha gemetar saat berusaha mencari ponsel di dalam tas. Tangannya yang lain gemetar sambil menekan dadanya kuat, mencoba mengusir perasaan tidak enak yang menyergap dan membuatnya sulit bernapas. Ia berjongkok karena merasa kakinya mulai lemas. Jantungnya berdebar keras hingga membuat telinganya penuh oleh suara degup itu.  Crash! Tangannya belum sempat menggapai ponsel saat tiba-tiba cipratan air mengenai rok dan baju seragamnya, meninggalkan jejak becek dan basah. Satu sisi rambutnya juga jadi kotor. Di hadapannya, tampaklah sebuah motor besar berwarna putih. Si cowok pengendara turun dari motornya dan segera menghampiri Keisha. “Eh, sorry. Lo nggak apa-apa? Gue bener-bener nggak sengaja.” Erlangga menunduk agar bisa melihat cewek itu lebih jelas. Seragam cewek itu basah. Namun, cewek itu masih bergeming. Berjongkok sambil membenamkan wajah ke lutut. “Nggak. Nggak apa-apa.” Cewek itu membalas. Kalimatnya seharusnya menenangkan Erlangga, tapi mendengar bagaimana nada cewek itu mengatakannya membuatnya malah jadi cemas. “Beneran nggak apa-apa? Sorry. Gue nggak bermaksud nyipratin.” “Iya. Gue udah bilang nggak apa-apa.” Keisha berkata sambil bangkit. Melangkah agak menjauh dari cowok itu meskipun kakinya masih lemah. Ia merasa risi. Risi saat harus menanggapi orang asing di saat kondisinya benar-benar bukan seperti dirinya. Kening Erlangga berkerut saat cewek itu mendongak. Manik hitamnya menatap Erlangga dengan gusar. Wajahnya pucat. Bibirnya bergetar. “Beneran nggak apa-apa? Lo pucat banget.” Erlangga berkata lagi. “Gue nggak apa-apa!” Keisha agak membentak. Ia menghela napas dalam, berusaha menghilangkan rasa panik yang seolah memenuhi kerongkongannya hingga membuatnya mual. “Gue nggak sakit. Cuma basah gara-gara becek dari motor lo,” jawab Keisha refleks dengan ketus. Untuk pertama kalinya ia menoleh dan menatap Erlangga. Kepalanya merasa mengenal cowok ini, tapi berhubung ingatannya mengatakan bahwa itu tidak perlu diingat, jadi ia mengabaikan. Ia lalu mengusap-usap pakaiannya yang basah dan bernoda kotor. Gerakannya terhenti saat tiba-tiba sebuah jaket berbahan jeans tersodor padanya, dari Erlangga. Ia menatap cowok itu bingung. “Buat nutupin baju lo yang kotor. Anggep aja permintaan maaf.” Dengan agak ragu akhirnya Keisha menerimanya. Lagi pula sudah sepantasnya cowok itu bertanggung jawab. Kan dia yang membuat Keisha jadi bermotif cokelat-cokelat begini. “Dingin banget, ya?” tanya Erlangga lagi. Keisha menoleh bingung. Masih belum terbiasa dengan sikap Erlangga yang kelewat akrab. “Maksudnya?” “Lo sampe gemeteran gitu,” kata Erlangga lagi. Ia tidak tahan untuk mengamati cewek ini. Orang yang jongkok-jongkok di halte tepi jalan di tengah hujan memang agak sulit diabaikan. “Elo yang tadi, kan?” Erlangga berusaha memastikan. “Yang kuncir bermerek,” ulangnya memperjelas karena Keisha tidak menjawab. “Keisha!” jawab Keisha dengan bete karena diingatkan tentang hal memalukan itu. Barulah ingat siapa cowok menyebalkan ini. Ia beralih memandangi hujan di depannya. Menyesal karena itu jelas keputusan buruk yang membuat dadanya sakit. Akhirnya ia lebih memilih memandangi ujung sepatunya. “Mau balik, Kei?” tanya Erlangga lagi. “Iya,” jawab Keisha pendek. Hening setelahnya. Keisha menarik napas dalam, berusaha menormalkan paru-paru yang bekerja lebih menggila dari yang seharusnya. Setelah ia merasa lebih baik—meskipun tangannya masih gemetar—ia beralih memandangi atap halte. Suasana masih hening. Akhirnya ia melirik, mendapati Erlangga yang sedang menatap sekeliling, menunggu hujan reda dengan berusaha tenang. Ia juga melirik Keisha, tapi tidak mengatakan apa-apa. Merasa tidak enak karena harus mengusiknya. Lagi pula, Keisha terlihat butuh waktu dan ruang untuknya sendiri. “Lo kenapa ke sini lagi? Tadi pagi juga lo di dekat sekolah gue,” tanya Keisha akhirnya. Berusaha mengalihkan diri dari bunyi hujan yang memenuhi sekeliling. “Oh, biasalah, jemput anak.” Erlangga menjawab enteng sambil nyengir. Keisha melongo menatapnya. “Hah?” “Btw, bengkel deket sini di mana, ya? Ban motor gue bocor. Nggak bisa jemput anak jadinya.” Erlangga bertanya sambil melihat-lihat sekitaran halte. “Di simpang sana ada, sih.” Keisha menjawab dengan linglung. Masih menatap Erlangga dengan heran. Anak? Dia yakin umur Erlangga paling tua pun hanya dua puluh tahun. Itu pun kalau memang ia dua puluh tahun. Wong kelakuan aja masih kayak Kenzie. Masa iya dia mau jemput anak? Ditambah lagi, di sekitar sini kan nggak ada PAUD ataupun SD. “Oh, gitu, ya? Ya udah gue ngurus motor dulu, deh.” Erlangga lalu mengeluarkan ponsel. Mengabari seseorang di seberang sana bahwa ia tak bisa menjemput, lalu kembali memasukkan benda itu ke kantong celana. “Di simpang kan kata lo?” Erlangga berdiri, melihat ke ujung jalan di tengah gerimis sambil meminta kepastian Keisha. “Iya.” “Oke, thanks, ya. Gue pergi dulu.” Erlangga lalu menghampiri motor. “Lang,” panggil Keisha tiba-tiba. “Apa?” “Gue … gue boleh ikut, nggak?” Keisha bertanya pelan dan ragu. Ia menatap cowok itu, menunggu dengan gugup. Ini bukanlah pilihan bagus, tapi setidaknya patut dicoba. Karena pilihan lainnya terlihat jauh lebih buruk. Keisha tidak ingin berada di sini lebih lama lagi. Sendirian dalam keheningan bersama hujan yang seolah terus berusaha mencekiknya. “Ikut gue pulang?” Pertanyaan itu sontak membuat Keisha menatapnya sengit. Wajahnya yang semula tegang langsung berubah bete meskipun masih agak kaku. “Sorry, becanda,” lanjut Erlangga lagi sambil tersenyum meringis. “Ya kalau lo mau ikut nggak apa-apa, sekalian nunjukkin tempatnya, siapa tahu gue nggak nemu,” jawab Erlangga lagi. Keisha bangkit dan mendekati Erlangga. Ia berdiri di trotoar, sementara Erlangga di badan jalan, mendorong motor. Cowok itu lalu mengulurkan helm pada Keisha. “Apa?” tanya Keisha bingung. “Bawain. Gue mau dorong motor, susah.” “Hah?” “Pake di kepala. Safety first. Nggak tahu ya, aturan mengemudi yang baik?” “Kan kita nggak lagi naik motor.” “Pake ajalah. Masih hujan juga.” Setelah menimbang agak lama akhirnya Keisha memakai helm itu juga—syukurlah bagian dalam helm itu aromanya nggak apek—keduanya berjalan dalam keheningan hingga sampai ke depan bengkel. Keisha langsung masuk ke dalam bengkel berspanduk BENGKEL MULUS. Seorang cowok berpenampilan khas montir langsung menyambutnya. Erlangga menyerahkan motor pada pekerja yang senggang. “Gus, itu katanya bannya bocor. Tolong, ya,” ujar Keisha pada Agus. Keisha melepas helm dan mengambil tempat duduk. Ia menunjuk motor Erlangga. Tunjukannya terlihat gamang karena tangannya gemetar dan matanya memandang tak fokus. Nyatanya, ketakutan itu sama sekali belum hilang. Ia benar-benar bodoh jika mengira kali ini ia bisa lolos dari siksaan ini. “Oke, aman. Tumben sendirian, Kei. Fairel mana?” Agus berjalan mendekati motor Erlangga. Kembali menoleh pada Keisha saat yang ditanya tak kunjung menjawab. “Kei?” panggil Agus sekali lagi. Keisha masih duduk diam di bangku. Memandangi ujung sepatunya dengan pandangan kosong dan tangan yang saling meremas. Ia berusaha memikirkan hal lain, hal menyenangkan, lucu, dan bahagia, tapi sama sekali tidak bisa terbayang apa-apa. Telinganya menuli dan benaknya seolah berkabut antara khayal lara dan ilusi menyakitkan. “Kei?” Erlangga mengguncang pelan bahu Keisha. Berhasil membuat cewek itu sadar dan menatapnya, tapi yang didapati Erlangga hanyalah mata hitam yang nyaris menangis. “Agus nanya, Fairel mana?” “Oh? Fairel? Fairel … udah pulang duluan.” Keisha menjawab cepat-cepat. Keisha menggeleng kuat-kuat. Berusaha menyadarkan diri. Lega karena perlahan bisa menggapai kenyataan. Erlangga duduk di sebelah Keisha, melirik cewek itu dengan hati-hati. Ia mulai resah. Cewek ini kenapa? Sakit? “Temen lo?” Agus bertanya lagi, menyinggung identitas Erlangga. “Bukan. Cuma ketemu di jalan.” Keisha menjawab asal karena kepalanya menolak berpikir lebih keras. Agus memandang Erlangga dengan bingung. “Iya, emang gue ketemu dia di jalan, kok.” Erlangga ikut membenarkan meskipun agak sakit hati. Memangnya dia kucing? Yang ada Keisha tuh, yang kayak anak kucing kehujanan di tepi jalan. Agus mengangkat bahu tak acuh lalu mulai bekerja. Keisha masih berusaha menenangkan debaran jantungnya yang mengentak kuat. Hal terakhir yang bisa dilakukannya adalah menjaga agar paru-parunya tetap bernapas dengan baik. Tidak apa-apa, sebentar lagi akan normal kembali. “Lo nggak pulang, Kei? Atau mau gue anterin nanti setelah motornya kelar? Hitung-hitung terima kasih karena udah nganterin ke bengkel,” usul Erlangga. “Nggak usah. Gue bisa sendiri,” tolak Keisha tegas. Ia berdiri, tapi Keisha nyaris saja jatuh tersungkur jika Erlangga tidak memegangi sikunya. Cowok itu terlihat makin cemas saat merasakan betapa dinginnya kulit Keisha. “Lo beneran nggak apa-apa? Atau gue bisa panggilin taksi biar nganter lo pulang.” “Nggak usah.” Keisha mendesah lelah. Buru-buru menarik diri dari Erlangga. Cewek itu melangkah keluar dari bengkel dengan gerakan yang sama sekali tidak mantap. “Gus, gue duluan, ya,” pamitnya pada Agus. “Gue balik, Lang.” Setelah berpamitan singkat, Keisha langsung menyetopkan taksi pertama yang lewat. Masuk ke dalamnya dan melaju pergi. Tidak sama sekali memandang Erlangga yang menatapnya dengan pikiran penuh tanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN