Bab. 3 Malam yang Tak Terlupakan

1001 Kata
Rafian PoV. Aku mengemas diri dengan rapi. Sekali lagi kutatap pantulan bayanganku sendiri di cermin panjang yang ku pasang di dinding kamar. Dengan celana jeans hitam yang berujung ketat, kaos putih tulang berlengan pendek yang menampilkan otot lengan dan otot perutku yang sixpack ala-ala artis korea serta blazer berwarna coklat tua yang menunjang penampilan smart casualku. Cocok bagiku yang ingin bertemu klien dengan suasana santai. Klien? Mana mungkin aku mau datang ke club malam jika bukan karena ingin bertemu Mr. Roland. Laki-laki tua itu kan paling suka diajak dugem. Meskipun dia hanya suka menikmati red wine tanpa memesan seorang wanita penghibur seperti Yoga. Untuk urusan setia Mr. Roland memang patut diacungi jempol. Walau jauh dari istri dan terbiasa hidup di negara bebas, tidak dapat membentuknya menjadi pribadi yang suka main wanita. "I don't want to play with risk,"  jawabnya saat diledek oleh Yoga waktu itu. Padahal, dengan uangnya yang bejibun. Dia bisa pesan puluhan wanita panggilan seharga berapa puluh juta pun. "Jika aku jadi Mr. Roland. Aku akan datang ke Turki dan bersenang-senang dengan Bidadari di sana," canda Yoga lagi pada Mr. Roland entah berapa waktu yang lalu. Dan jawaban Mr. Roland sungguh membuatku terkejut. "If we can have fun with one woman. And have a hard time with other women. Why don't we look for women who want to be difficult and happy together." Sungguh, jawaban itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Dan memang benar kata Mr. Roland banyak wanita mau diajak senang, tapi tak semuanya mau diajak susah. Benar, kan? Kriiinggg. Kriiiing. Tiba-tiba saja ponselku berbunyi nyaring dan membuyarkan lamunanku. Ku gapai benda pipih yang bergetar di atas meja kerja dalam kamarku itu. Sebuah gambar laki-laki setengah baya berwajah bule langsung memenuhi layar ponsel pintarku. Baru saja ku pikirkan. Panjang umur juga ini orang. "Hai, Mr. Roland…. Yes, of course. I remember to it…. Yes, i'm ready now…. Okay. See you at the clubbing. Tut." Hubungan pun terputus. Ku masukkan ponselku ke dalam saku celana kemudian berjalan mendekati pintu. Sebelum keluar kamar aku meraih kunci mobil yang tergantung di samping pintu. Aku terus melangkah penuh percaya diri saat menuruni beberapa anak tangga yang menghubungkan dua lantai di rumahku. Dan di anak tangga terakhir aku melihat Papi dan Mami yang lagi nyantai di ruang keluarga sambil nonton tv. Ku sempatkan menyapa mereka sebelum pergi. "Malem Mi," sapaku sambil merangkul Mami dari belakang. "Eh. Eh. Panas. Panas," ucap Mami yang ternyata sedang membawa secangkir kopi. "Hehe," balasku hanya nyengir kuda sambil melepas pelukanku. "Ciyeee. Anak Mami tumben wangi banget. Mau kemana nich malem Minggu gini?" ledek Mami sambil meletakkan segelas kopi di meja depan Papi duduk. Papi pun menoleh ke arahku dengan senyum mengejek. "Kencan donk Mi. Masa' mau mikirin urusan kantor terus. Ntar bisa-bisa keluar kantor sudah jadi kakek-kakek. Haha," sahut Papi ikut-ikutan meledek. Aku pun mendengus kesal. "Huft. Denger ya Mi, Pi. Kalau aku udah dapetin cewek yang aku suka. Aku bawa ke sini dan kalian pasti akan ternganga," balasku tak mau kalah. Sambil membayangkan mengajak si 'dia' kesini.  "Ternganga karena cantik, kan?"" tanya Mami masih dengan nada meledek  "Jelas donk, Mi," jawabku dengan penuh percaya diri. "Tapi itu cewek bener-bener ada, kan?" tanya Papi tiba-tiba. "Jelas donk, Pi," jawabku penuh keyakinan. "Papi kirain cuma putri dalam mimpi. Hahaha," ejek Papi lagi. Mereka berdua pun tertawa di atas penderitaanku. "Liat aja ya Mi, Pi. Cepat atau lambat aku pasti akan mengajaknya ke sini," ucapku kemudian berlalu. "Kalau kesini jangan disuruh pakai sepatu kaca ya. Sulit nyarinya kalau dia ngilang di tengah malam. Haha," canda Papi dengan sedikit berteriak. 'Kalian boleh tertawa sekarang. Tapi ntar lihat aja. Siapa yang bakal ternganga,' batinku sambil menstarter mobil dan mengeluarkannya dari garasi. Tiga puluh menit kemudian aku pun sampai di tempat tujuan. Ku parkirkan mobilku di parkiran yang tersedia. Pip. Pip. Kukunci mobil sportku dari jarak yang cukup jauh sebelum meninggalkannya. Kulangkahkan kakiku memasuki ruangan tertutup itu. Setelah melalui sebuah lorong yang kurang pencahayaan, suara dentam-dentum musik pun langsung menyambutku dengan sedikit memekakan telinga. 'Mana Yoga dan Mr. Ronald?' Aku hanya membatin sambil menengok kiri kanan. Mencari sosok yang mengajakku kemari. Aku berjalan lebih ke dalam. Lalu duduk di salah satu kursi Bar yang tersedia di club malam itu. "Mau pesan apa Mas?" tanya seorang Bartender. "Coolberg aja," jawabku. Sebenarnya aku malas minum di sini. Tapi apa boleh buat. Aku juga nggak enak kalau cuma diem aja di sini, sedang aku harus menunggu Yoga dan Mr. Roland yang entah kapan datangnya. Lagian craft bir dari India itu bebas alkohol. Jadi, bolehlah buat aku yang lagi malas mabuk. Kulempar pandanganku ke arah sekumpulan orang yang tengah berjoget ria mengelilingi Dj cantik. 'Tak mungkin juga Yoga di sana. Kecuali dia sudah benar-benar mabuk,' batinku. "Ck. Dasar Yoga. Dia yang sangat bersemangat datang ke sini. Dia sendiri belum nongol sampai saat ini," gumamku setelah meneguk segelas kecil miras non alkohol pesananku. Kupicingkan mataku saat menatap seorang cewek yang tengah berjalan sempoyongan ke arahku. 'Dia kan…' Brukk!!! Ku tangkap tubuhnya yang hampir terjatuh di depanku. Aku pun segera turun dari kursi tinggi yang baru saja ku duduki. Tanpa ku sangka dia pun merangkul pundakku dengan erat. Lalu kembali melepasnya. "Siapa elo hah? Jangan mengambil kesempatan didalam kesempitan. Ngerti'," ucapnya tak sadar. Dia pun mendorong tubuhku lalu berjalan menjauh. Tapi, baru saja dua tiga langkah badannya hampir terjatuh kembali. Dengan gesit pun ku raih tubuh mungil itu sebelum sempat terbentur dengan lantai. Aku meletakkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Sebelum membopong cewek cantik itu keluar. Aku tak mau dia terjatuh lagi. Awalnya dia berontak. Meskipun tak lama kemudian dia tak lagi melakukan perlawanan. Mungkin dia pingsan. Pikirku. Kubuka pintu mobilku lalu menjatuhkan tubuh wanita itu di kursi belakang. Saat tubuhku hendak menjauh, kedua tangannya malah ia kalungkan di leherku. "Apa yang loe mau dari gue? Uang, perhiasan atau tubuh gue?" ucapnya semakin ngelantur. Aku pun tak menghiraukannya. Sebab, jika ia sadar aku yakin dia justru akan memaki diriku. Kutarik tangannya agar terlepas. Namun, dia malah mempererat rangkulannya. Membuat wajah kami semakin dekat. Deg! Jantungku pun seakan berhenti. Jujur saja, aku memang belum pernah sedekat ini dengan seorang wanita. Apalagi wanita seperti dia. Nafasku memburu saat dia semakin menutup jarak diantara wajah kami. Dan setelah ia memiringkan kepalanya ke arah kanan tiba-tiba…. Cup!!! 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN