prolog
Hujan sore itu turun rintik-rintik, membasahi jalan tanah menuju rumah nenek di ujung desa. Zea menarik napas panjang, memeluk tas sekolahnya erat-erat. Di usianya yang baru menginjak 18 tahun, hidupnya berubah drastis. Sejak ibunya meninggal saat ia masih kecil, ayahnya membesarkannya seorang diri—hingga pria itu menikah lagi.
Sayangnya, pernikahan itu tidak membawa kehangatan. Ibu tiri yang dingin, dan seorang anak perempuan seumuran dengan nya yang tak pernah benar-benar menerimanya, membuat rumah terasa seperti tempat asing. Ketika ayah memutuskan menitipkannya di rumah nenek yang jauh dari kota, Zea hanya bisa menelan rasa kecewa dalam diam.
Hari itu, sepulang dari sekolah barunya, Zea berjalan pulang melewati jalan setapak yang sepi. Langkahnya terhenti saat mendengar suara langkah kaki di belakang. Seseorang—atau beberapa orang—mengikutinya. Tawa pelan yang terdengar membuat bulu kuduknya berdiri.
Tak ingin terjebak, Zea mulai berlari, membelok ke jalan kecil yang tak ia kenali. Nafasnya tersengal, hujan makin deras, dan pepohonan mulai rapat menutupi jalan. Ia tak sadar sudah memasuki hutan yang asing.
Gelap mulai turun, suara dedaunan basah dan angin menderu menemaninya. Saat itulah, di tengah kabut tipis, ia melihatnya—sebuah kastil besar berdiri sunyi di antara pepohonan, seolah muncul dari cerita lama.
Tanpa berpikir panjang, Zea melangkah masuk mencari perlindungan. Ia tak tahu… bahwa tempat itu adalah sarang dari makhluk yang tak pernah ia bayangkan—seekor siluman serigala yang telah lama mengasingkan diri dari dunia manusia.